Elang tersenyum kala melihat lampu di kamar Maurin sudah dimatikan. Cowok itu memilih duduk di balkon kamarnya sendiri seraya menyalakan sebatang rokok.
Dia bersandar pada kursi dan menatap langit malam. Sesekali, dia mendesis pelan merasakan perih dibagian wajah dan seluruh tubuhnya.
Dia menunduk, menatap tangannya sendiri yang kini sudah terdapat plester yang dipasang oleh Maurin.
Senyum di bibirnya perlahan mengembang. Namun, detik selanjutnya kembali luntur.
"Gue bisa jaga Maurin, tapi gue enggak akan pernah bisa buat milikin dia untuk diri gue sendiri." Mengingat kenyataan itu, membuat dadanya sesak seketika.
Elang kembali menyesap rokoknya. Kini, matanya kembali menatap ke arah balkon kamar Maurin.
Setelah menemani gadis itu bermain petasan, Elang langsung menyuruhnya untuk beristirahat. Namun, sebelum itu, Maurin bersih keras ingin mengobati luka Elang terlebih dahulu.
Selalu saja begitu.
Elang beralih menatap telapak tangannya yang terbuka. Dia selalu menghalangi siapapun yang mendekati Maurin. Tapi, dia sendiri tak ada niatan untuk menjalani hubungan lebih dengan gadis itu.
Elang bersikap posesif pada Maurin, semata-mata karena dirinya ingin Maurin mendapatkan lelaki yang baik. Walaupun dirinya sendiri sadar betul bahwa dia tidak akan pernah bisa ikhlas melihat Maurin bersama lelaki lain nantinya.
"Rumit," gumam Elang.
Cowok itu memilih mematikan rokoknya dan dia buang pada asbak. Dia berdiri, menatap kamar Maurin sebentar, sebelum akhirnya memilih masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Baru saja dirinya menutup pintu balkon, dia dikejutkan dengan kehadiran Papanya di ambang pintu masuk.
Elang berdecak kesal. "Ngagetin, Pa," katanya.
"Papa ngecek doang, Lang. Kirain udah tidur," ujar pria itu.
Namanya Anggara. Biarpun rambutnya sudah ditumbuhi uban, wajahnya masih terlihat tampan. Badannya juga terlihat sehat karena setiap pagi masih suka berolahraga.
"Muka kamu kenapa?"
Elang diam kala Papanya masuk ke dalam kamar dan memperhatikan wajah Elang yang dipenuhi oleh lebam dan beberapa plester yang menempel.
Cowok itu menghela napas pelan. Dia memilih duduk di tepi kasur dan menunduk. "Gak papa. Kayak enggak tahu anaknya aja. Elang kan jagoan, Pa."
"Jagoan sih, jagoan. Kalau tiap hari muka kamu bonyok terus, bukan jagoan namanya." Anggara ikut duduk di samping putranya.
"Lagian kamu ributin apa sih sampai bisa dapet lebam gini terus-menerus?" tanya Anggara lagi.
Elang diam beberapa saat. Elang lantas tersenyum lebar. "Ributin yang enggak ada, Pa. Olahraga, biar kuat!"
"Kamu ini. Berhenti main-main. Kalau kamu jelek, Enggak akan ada yang mau sama kamu nanti." Anggara beranjak, tangannya mengacak puncak kepala putranya beberapa kali.
Elang tertawa pelan. "Iya, Pa. Enggak janji. Habisnya, dia tuh yang iri sama Elang. Kayak enggak puas kalau muka Elang mulus, glowing, kayak keteknya Isyana Sarasvati."
Anggara ikut tertawa. Ya, yang dia tahu ... Elang bukanlah anak yang rajin di sekolah. Dia memaklumi karena dulu, dia pun sama seperti Elang. Dia membiarkan anaknya mencari jatidirinya sendiri.
Namun, asal muasal luka yang sering Elang bawa pulang, Anggara tidak tahu ini betulan karena putranya sering bertengkar atau bukan. Elang tidak pernah membuka mulut soal itu, dia selalu bilang 'dia'. Sampai sekarang, Anggara sendiri tidak tahu dia yang dimaksud Elang itu siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG [End]
Teen FictionKehidupan Elang, awalnya berjalan layaknya seorang remaja. Nongkrong, sekolah, pulang. Namun, semuanya berubah 180° semenjak hari di mana ia datang ke acara makan malam keluarga. Kejadian masa lalu yang menimpanya, ternyata belum bisa diterima oleh...