LMA 03.00

517 127 145
                                    

Alarm dari ponsel Sisi berdering. Seperti biasa, setiap pukul enam pagi Sisi langsung bangun dan bersiap untuk sekolah. Padahal Sisi baru tidur jam tiga dini hari karena semalaman merasakan lengannya yang nyeri karena pukulan orang yang dia panggil Ayah. Meski tidak berlaku seperti Ayah pada umumnya.

"Yah, kata bu guru—"

"Jangan ganggu Ayah!"

"Tapi, Yah. Besok Sisi pembagian raport di sekolah."

"Ajak Bi Jemi,"

"Ayah nggak mau—"

"Saya sibuk, kamu jangan pernah meminta hal yang tidak akan saya lakukan."

Sejak saat itu Sisi tidak pernah berani mengajak Ayahnya berbicara, dan sejak saat itu juga Ayahnya lebih sering membentak Sisi. Padahal Sisi masih duduk di bangku sekolah dasar.

Meski Sisi tidak tahu dan tidak pernah mencari tahu kenapa ayahnya seperti membencinya. Yang Sisi tahu, ayahnya tidak mencintai ibunya, dari buku harian yang dia temukan di gudang.

***

"Kenapa sih lo harus cengeng begini, Si? Ingat kata Nana, semua orang berhak bahagia. Lo harus tetep bahagia dengan diri lo sendiri, okey?"

"Argh!" Sisi menggeram saat hendak memakai seragam.

Lengannya terasa sakit, meski sudah biasa tapi bersamaan dengan rasa nyeri itu, ada rasa sakit yang lebih dari sekedar nyeri akibat memar di tubuhnya, yaitu sakit di hati Sisi, sakit yang teramat sakit sehingga air mata Sisi lolos begitu saja tanpa bisa di cegah.

Sambil memaksakan diri, Sisi tetap mengenakan seragam, menyisir rambut kemudian memoles wajahnya dengan sedikit sunscreen dan polesan lip balm di bibirnya.

Dengan langkah kaki cepat, Sisi berjalan menuruni anak tangga tanpa melihat seseorang yang sedang menatapnya tajam di meja makan.

"Non Sisi sarapan dulu ya, Non?" kata Bi Jemi.

"Makasih, Bi. Sisi buru-buru takut terlambat," jawab Sisi kemudian dia menyalimi Bi Jemi yang sudah dia anggap seperti orang tuanya sendiri.

"Sisi! Duduk!" titah Hermawan.

"Sisi berangkat, Bi." Tanpa memedulikan perintah ayahnya.

Sisi pergi begitu saja melewati ayahnya.

"Sivana Amelia!"

Sisi menggeram tertahan, dia mengepal tangan tapi berusaha tidak memedulikan dan berjalan seperti biasa.

"Sivana Amelia!"

Rasanya sangat menjengkelkan mendengar nama orang yang dibencinya selalu disebut-sebut bersama nama lengkapnya.

"SIVANA AMELIA!"

"CUKUP! CUKUP, YAH!"

Sisi tidak kuat. Kenapa ayahnya selalu saja memanggil dia dengan sebutan Amelia?

"Kenapa? Nama kamu memang Sivana Amelia Putri Hermawan. Iya, kan?" kata Hermawan dengan tatapan sarkas, tidak seperti tatapan hangat ayah pada putri yang disayangi.

Sisi berdecih sambil tersenyum getir. "AMELIA JALANG!" umpatnya menahan geram.

"Sisi! TUTUP MULUT KAMU!" sentak Hermawan.

Satu pukulan cukup kuat diarahkan ke bahu Sisi hingga terdengar jeritan dari Sisi. "Argh!"

"AYAH JAHAT!"

Love Me Again (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang