Laki-laki dan perempuan tidak bisa bersahabat!
Aku sering mendengar pendapat ini dari banyak orang, membacanya dalam salah satu dialog pada novel favoritku dan menonton film yang menanyangkan tentang persahabatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Ada begitu banyak hal dapat digambarkan sebagai akibat jika kedua mahkluk berbeda jenis kelamin ini bersabahat, salah satu yang paling banyak dibicarakan adalah : satu dari mereka akan jatuh cinta.
Banyak sekali kisah tentang bagaimana seorang gadis yang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri, ataupun sebaliknya. Yang paling tragis adalah, mereka saling jatuh cinta, namun terlalu takut untuk melangkah lebih jauh hanya karena mereka ingin menjaga persahabatan mereka tetap utuh. Tetap ada dan tidak rusak hanya karena masalah cinta yang sepele.
Di dunia nyata, hal ini juga terjadi. Bahkan lebih sering dari yang kupikirkan. Ada begitu banyak gadis atau lelaki yang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Aku percaya mereka pasti sangat tersiksa, berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja dan menyimpan rasa cinta itu untuk diri mereka sendiri.
Dalam hidupku, aku belum pernah jatuh cinta pada seorang lelaki. Menyukainya, mungkin. Tapi cinta? Kurasa itu terlalu dalam untuk gadis yang baru saja berumur delapan belas sepertiku. Aku juga tidak bersahabat dengan para lelaki, hanya sekedar mengenal dan saling menyapa jika bertemu. Para lelaki tidak pernah benar-benar menjadi temanku baik di sekolah khusus ataupun sekolah umum, walaupun terkadang aku harus meminta bantuan mereka di sekolah dan mereka selalu membantu, kami tidak pernah benar-benar berteman apalagi bersahabat.
Tapi sekarang, lihat apa yang terjadi padaku. Aku bersama Justin, hanya berdua dengannya di dunia yang kini terasa seolah milik kami berdua. Kami berteman, tentu saja. Setelah apa yang kami lakukan bersama, setelah segala hal yang dia lakukan untuk membantuku, aku merasa kejam jika tidak menyebutnya seorang teman.
Dan aku menyukainya. Sangat menyukainya.
Baiklah, mungkin beberapa kali aku pernah berkata bahwa aku jatuh cinta padanya, bahwa aku mencintainya, namun itu hanyalah cara lain untuk mengungkapkan perasaanku terhadap Justin. Kata suka terlalu dangkal untuk menilai perasaanku terhadapnya. Namun, aku juga tahu bahwa perasaanku tidak sedalam perasaan cinta Mom kepada Dad, jadi itu tidak bisa disebut cinta. Mungkin perasaanku terhadap Justin berada di antara keduanya, dan aku tidak tahu harus menyebut dengan apa perasaan ini.
“Barry!” Sebuah tangan melambai di depan wajahku dan aku harus menjaga agar tubuhku tidak jatuh ke belakang. Kini aku sadar bahwa sejak tadi, aku terus memperhatikan Justin yang berjalan di depanku lantas melamunkan tentangnya tanpa sengaja. “Kau dengar aku atau tidak?” dia berkata dengan kesal.
Oh Tuhan, apa yang dia ucapkan sebelumnya? “Aku...tidak. Aku tidak mendengar apa yang kau ucapkan.” Aku menjawab dengan ragu dan takut, aku takut dia akan marah dan kami kembali saling mencaci. Tapi di luar dugaan, dia malah memasang ekspresi khawatir dan memiringkan kepalanya untuk menatapku dengan alis yang bertautan.
“Apa pendengaranmu terganggu karena teleportasi yang buruk itu?”
“Tidak!” aku menjawab dengan cepat dan langsung menyesalinya. Alasan apa yang harus aku katakan sekarang?
“Lalu? Aku sudah menjelaskan banyak hal padamu dan kau hanya berjalan dengan tatapan kosong dan tidak menggubrisku.”
“A- aku..” gigiku menekan bibir bawahku dengan keras, percaya atau tidak, Justin memperhatikan apa yang aku lakukan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Freezy Time
FanfictionIni kisah tentang gadis yang tanpa sengaja membuat dunia berubah dalam hitungan detik. Dan di sisa waktunya, Barry berusaha untuk menguasai bakat dan sihir yang ia miliki. Berusaha memperbaiki kesalahannya dan mengembalikan seisi dunia seperti semul...