06. Wanita Lain

272 69 26
                                    

Kenan dan Kia sama-sama membisu. Meredam suara hanya di dalam kalbu. Hening berkepanjangan mengisi ruang-ruang kosong sepanjang perjalanan pulang.

Kia menunduk. Menatap dua bungkus bakso didalam plastik putih digenggaman nya dengan perasaan hampa. Rencana makan bakso bersama sambil melihat jalanan malam berakhir menjadi wacana semata.

Genggaman tangannya semakin erat. Untuk pertama kalinya, dia melihat tindakan yang menyakiti dari kekasih sekaligus sahabatnya itu.

"Kiara," panggil Kenan lirih. Nyaris seperti bisikan.

Kia memilih diam. Membiarkan Kenan melanjutkan setiap diksi pembelaan yang mungkin sudah dia susun sedemikian rupa.

"Aku nggak kenal cewek tadi."

Kia memutar mata. Dia mendengus kesal. "Nggak kenal tapi cium pipi nya," sinis Kia dengan suara serak.

Kenan kelu. Dalam suara gadis itu tersimpan sejuta emosi yang siap meluluhlantakkan dunia yang selama ini dia jaga.

"Aku beneran nggak sengaja. Kamu harus percaya aku."

Gadis itu terkekeh. Kekehan yang terdengar janggal ditelinga Kenan. "Aku lebih percaya mata dari sekedar rangkaian kata tanpa makna."

Kenan tertegun.

Kia adalah gadis yang penuh dengan pemikiran realistis. Selalu mendahulukan otak daripada hati. Mengutamakan logika dari perasaan. Kia pernah bilang, 'cewek itu cenderung mendahulukan hati dan perasaan dari pada otak dan pikiran. Itu kenapa cewek lebih gampang sakit hati dan dipatahkan berkali-kali'.

Kenan menyetujui pemikiran itu. Tetapi disaat-saat seperti ini, Kia menjadi pribadi yang sangat sulit digapai ketika sudah merasa terkhianati.

"Tapi mata juga bisa salah, Ki. Aku bisa jelasin semuanya." Suara Kenan terdengar pelan dan putus asa.

"Iya, besok aja ya, Ken. Aku capek banget."

Kia berlalu mendahului Kenan. Sebelum masuk pagar rumahnya, dia melemparkan bakso yang dia genggam ke dalam tempat sampah.

Kenan menghembuskan napas panjang. Kia jarang sekali marah. Satu-satunya emosi yang sering dia perlihatkan adalah kemalasan.

"Maaf, Ki."

Didalam mobil yang Fikri bawa juga diselimuti hening. Fikri fokus mengendarai mobilnya, sedangkan Shilla fokus dengan pikirannya. Sesekali, Fikri melirik Shilla yang asik melihat pemandangan malam melalui jendela.

"Shill, ada yang kamu pikirin?"

Shilla menoleh, menghadap Fikri yang tampak memperhatikan jalan di depan. "Nggak ada."

"Nggak ada? Tapi setelah kamu beli gulali, kamu terlihat aneh."

Benar. Ketika Fikri pergi ke toilet, gadis itu meminta izin untuk membeli gulali disebrang jalan. Fikri mengizinkan dan meminta maaf karena tidak bisa menemani. Saat itu, Shilla mengangguk mengerti dan segera melangkah setengah berlari. Setelah memastikan Shilla sudah sampai ditempat penjual gulali dengan aman, Fikri segera melesat ke toilet. Namun sewaktu Fikri kembali, Shilla sudah duduk lagi di mobil. Tanpa ada satupun gulali ditangannya.

Gadis itu tertawa jenaka. "Aneh dari mana coba? Mungkin perasaan kamu aja."

"Tapi-"

"Cuma perasaan kamu Fikri," potong Shilla cepat.

Sial!

Ingin sekali Fikri merobek mulut Shilla yang berani menyela ucapannya. Tetapi itu tidak bisa dilakukan. Dia sudah berjanji, bahwa apapun yang terjadi, dia tidak akan pernah menyakiti gadis yang menjadi pemilik hatinya. Dia bersumpah akan menjadikan pasangannya sebagai gadis yang paling cantik dan beruntung diseluruh dunia.

"Iya, mungkin memang perasaan aku aja."

Fikri memilih mengalah. Dia tidak mau membuat hubungan mereka terlibat ketegangan. Walau jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ada tanya yang memberontak ingin diungkapkan. Ada kecurigaan yang memaksa ingin mencari kepastian.

Tapi lagi-lagi, Fikri hanya mampu membungkam semua keinginan dalam diam.

Sejak awal, sejak mereka memilih memulai sebuah hubungan, Fikri akan selalu mengalah dan meredam semua kekesalan ataupun kecurigaan, karena baginya Shilla adalah pelita yang dapat mengendalikan nya. Dia akan melakukan apapun demi membuat pelita nya terus menyala.

"Fikri?"

Fikri bergumam pelan. Dari sudut matanya, dia dapat melihat Shilla mengeluarkan sesuatu dari slingbag yang dia pakai.

"Ini oleh-oleh dari ibuk."

Gadis itu meletakkan sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan koran seadanya di dashboard mobil.

"Sorry, ya. Sebenarnya ibuk udah bungkus ini rapi, tapi aku nggak sengaja numpahin jus. Karena nggak ada kertas lain, jadi aku bungkus pakai koran. Kamu nggak marah, kan?"

Fikri menyematkan senyum tulus. "Nggak pa-pa. Bukan isi atau bungkusnya, tapi siapa yang ngasih. Itu yang lebih berharga."

"Makasih, Fikri."

Fikri mengangguk. Dia mengelus rambut Shilla perhatian.

Mobilnya berhenti tepat di pekarangan rumah Shilla. Gadis itu pamit masuk kedalam rumah, dan seperti biasa Fikri akan mencium pelipis Shilla terlebih dahulu.

Shilla tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Gadis itu melangkah riang menuju rumahnya. Hatinya sedang bahagia. Sementara Fikri memilih membuka oleh-oleh dari Shilla.

Setelah kotak itu dibuka, Fikri tersenyum tipis melihat isinya. "Gelang, ya?"

Ceklek

Shilla terkejut setengah mati ketika membuka pintu rumah dan melihat ibunya berdiri tepat di balik pintu. Dia mendadak gugup saat tatapan sang ibu terlalu mengintimidasi.

"Mantu ibuk tumben bawa mobil? Bukannya dia selalu naik motor, ya?"

•••
Bersambung
•••

a/n:

Mungkin dari sini aja udah jelas, ya, konfliknya bakalan gimana. Menurut kalian apa? Cinta segi empat? Perselingkuhan? Penghianatan?

Hmm, itu semua nggak salah, namun juga nggak sepenuhnya benar. Karena nyatanya cerita ini nggak seringan itu, hohoho.

22 Desember 2021

RepasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang