Suara bel istirahat menggema kuat di SMA Pelita. Seluruh murid langsung berhamburan menuju surga sekolah, kantin. Tempat ternyaman dan paling menyenangkan saat di sekolah selain ubin mushala dikala siang.
"Bian, lo temenin Kia ke kantin dulu." Perintah itu sontak membuat Bian mengernyit bingung. Bukan hanya Bian, Anggun dan Kia juga sama bingungnya.
"Lo ... nggak salah?" tanya Anggun heran dan dibalas anggukan mantap oleh Kenan.
Respon yang diberikan Kenan membuat Bian mengembangkan senyuman lebar. Dia langsung memegang tangan Kia, menyeret gadis itu menuju kantin. Kapan lagi dia bisa bebas dekat dengan Kia tanpa ada Kenan yang terus mengawasinya? Berbagai rencana indah sudah tersusun rapi di otaknya.
Bian mengeratkan genggamannya pada tangan mungil Kia. Senyumnya masih sama. Namun sayang beribu sayang, ekspektasi indah yang sudah dia bangun terpaksa roboh ketika realita menamparnya dengan tak berperasaan. Karena nyatanya ketika baru satu langkah berjalan, Bian terpaksa berhenti kala Kenan memegang pundaknya dan menatap tajam. "Nggak usah sentuh cewek gue."
Bian berdecak dan melepaskan tangan Kia dengan perasaan tidak rela. Laki-laki tinggi itu menyilangkan tangannya di depan dada sambil memutar bola mata malas. "Tadi lo yang nyuruh bawa Kia ke kantin. Masa pegang tangan doang nggak boleh? Kalau cewek lo ilang gimana?" cerocos Bian panjang dengan menekan kata 'cewek lo' sebagai bentuk sindiran.
"Gue cuma nyuruh bawa, bukan Pegang-pegang. Kia itu aset gue yang berharga!"
Bian mengangkat kedua tangannya di atas kepala. Tanda menyerah dan enggan melanjutkan debat dengan makhluk se-posesif Kenan. Dia memilih berjalan lebih dulu. Diikuti Kia yang berjalan malas dibelakangnya.
"Tumben banget cowok lo nitipin lo sama orang lain, Ki. Dia tambah aneh, kan?" tanya Anggun memecah sunyi.
Kia mengangguk lesu. Seharian ini sifat Kenan sangat membingungkan. Dia hanya berbicara singkat dengannya. Cowok itu lebih banyak diam. Apakah Kenan banyak pikiran? Jika iya, lalu apa. Haruskah dia meminta bantuan mamanya?
"Duduk disini aja, Ki. Biar gue sama Anggun yang pesen makan."
Anggun dan Bian berlalu. Kia ditinggalkan seorang diri. Mata gadis itu menyapu seluruh isi kantin dengan tatapan malas. Sampai akhirnya, matanya berhenti tepat disatu titik. Di meja sudut, ada dua orang yang sedang memperhatikannya.
Itu Fikri dan Alvin.
"Ayo pindah," ajak Fikri pada Alvin. Mereka mengambil duduk tepat di depan Kia.
"Hai Ki," sapa Fikri ramah. Kia hanya mengangguk sekali. Tatapan Kia tak lepas dari sosok Alvin. Sebuah smirk samar terukir dibibir mungilnya.
"Hai, gue Al-"
"Alvin, right?"
"Kealvin Bratadiskasara," lanjut Kia tersenyum puas saat melihat wajah pias Alvin.
"L-lo tau?" tanya Alvin kaget. Bagaimana mungkin Kia bisa mengetahui nama lengkapnya?
"Gue bisa tau semua hal yang ingin gue ketahui."
"Gimana bisa?"
Kia menggerakkan kepalanya ke kiri-kanan dengan pelan. "Lo lupa gue?"
Alvin mencoba mengingat-ngingat. Wajah Kia memang terlihat tidak asing. Saat pertama kali Fikri menyuruhnya memotret Kia diam-diam, Alvin merasa sudah pernah bertemu Kia sebelumnya. Tetapi kenapa dia tidak bisa mengingat?
"Gue beneran lupa," ujar Alvin frustasi. Dia mengacak rambutnya sendiri saat tidak kunjung mengingat siapa Kia.
"Gue Kia, Kiara Chira,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Repas
Novela Juvenil"Maaf sayang, gue mau buat lo gila sampai lo sendiri bosan buat buka mata." Kisah cinta seorang Kiara Chira berjalan sebagaimana remaja pada umumnya. Memilih berpacaran dengan sahabatnya sendiri bernama Kenan Angkasa, selama hampir 4 tahun. Selama i...