27. Epilog

436 34 162
                                    

Daun-daun kering berguguran kala hembusan angin bertiup semakin kencang. Mereka luruh, tanpa sempat mengucap kata pamit pada ranting tempat mereka selama ini tumbuh.

Rintik hujan perlahan turun menghujam bumi dengan derasnya. Membasahi tanah tandus yang merintih memohon setetes air. Layaknya daun, hujan pun jatuh tanpa sempat mendengar pesan dari sang mega kelabu tempat dimana rintiknya selama ini berlabuh.

Mengapa harus bertemu jika pada akhirnya berpisah?

Apa perpisahan selalu semenyakitkan ini?

Manusia datang dan pergi tanpa permisi. Meninggalkan sederet luka yang tak kunjung terobati. Meninggalkan air mata tanpa tawa. Duka tanpa bahagia. Hanya menyisakan seberkas kenangan kusam bersampul pilu yang membiru.

"Kenapa?" Si pemuda akhirnya membuka kata pertama setelah cukup lama. Suaranya bergetar diantara rintik hujan yang berisik. "Kenapa ninggalin gue, Fik?" tanya Alvin semakin terisak. Dadanya sesak. Dia yang saat itu masih berada di luar kota tiba-tiba mendapat sebuah kabar duka. Dan sungguh, hatinya belum ikhlas menerima.

"Gue bener-bener sendiri sekarang," tutur Alvin parau. Dia menyesal karena tidak bisa menghentikan semua ini terjadi.

Anggun, yang turut menemani Alvin menepuk pundak cowok itu beberapa kali –menguatkan. "Ada gue, lo nggak sendiri."

Anggun juga sama kehilangannya dengan Alvin. Meski baru mengenal Kiara beberapa tahun terakhir di SMA, bagi Anggun Kia sudah seperti adik kecilnya sendiri.

Berita mengenai kematian Kia dan Fikri cukup membuat jiwanya terpukul. Apalagi ... ketika tahu bahwa yang membunuh Kia dengan begitu kejam adalah Fikri sendiri.

Tapi disatu sisi Anggun senang. Senang karena akhirnya dia bebas dari kendali Bian. Dia lepas dari semua ancaman cowok gila itu. Karena sekarang, Bian resmi dijadikan tersangka atas meninggalnya Fikri Maharaja.

"Kalo lo lemah gini, Fikri pasti sedih di atas sana," ucap Anggun menghibur.

Alvin tak menggubris. Cowok itu hanya diam sambil menguatkan genggamannya pada mawar putih yang dia bawa sebagai salam perpisahan.

"Gue sayang lo, Fik. Sepupu terbaik yang nggak akan bisa gue lupain, bahagia disana ya, doa gue selalu menyertai," bisik Alvin lirih sambil meletakkan mawar yang dia bawa. Cowok itu juga turut meletakkan mawar pada makam yang berada tepat di sebelah makam Fikri, makam dengan nisan bertulis Kiara Chira.

Tatapan Alvin beralih pada Anggun, cowok itu tersenyum kecil. "Makasih udah nemenin gue. Gimana sama Bian?"

"Yaaa gitu, dia nggak bisa di proses lebih lanjut karna gangguan kejiwaan yang dia punya." Anggun menghembuskan napas kasar. Dia senang bebas dari Bian namun juga sedih melihat kondisi cowok itu yang jauh dari kata baik-baik saja. "Mental Bian makin down. Kondisi psikisnya rusak parah. Wajar, sih, mengingat gimana sayang dan terobsesi nya dia sama Kia selama ini. Sekarang ... Bian resmi jadi pasien di salah satu rumah sakit jiwa."

Alvin tersenyum kecut. "Gue bingung siapa yang harus disalahkan atas semua ini."

Anggun terkekeh kecil. Netranya melirik makam Fikri juga Kia bergantian dengan tatapan sendu. "Bukan salah siapa-siapa." Gadis itu menggeleng. "Ini cuma permainan takdir dan semesta."

.

Gemintang ditengah pekat malam merajut senyum luka. Cahaya bulan redup karena tertutup payoda tua. Masih dilanda rasa marah, gundah, serta ego tak terarah, Nisa berdiri di pagar pembatas rooftop sebuah hotel berlantai dua puluh lima.

Raganya putus asa.

Netra penuh derai air mata milik wanita itu menatap layar ponsel yang memperlihatkan foto putri semata wayangnya, Kiara. Nisa tidak pernah menyangka akan kehilangan Kia secepat ini. Jujur ... jiwanya belum siap sama sekali.

RepasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang