26. Usai (END)

408 29 264
                                    

Pukul empat pagi.

Bintang bertaburan menghiasi langit kelam. Dersik angin membelai pelan kulit dua insan yang sedang merebahkan diri di sebuah jembatan tua. Keduanya menatap pada hal yang sama, langit hampa.

Keheningan mendominasi. Tenang dan damai. Diantara sunyi dan sepi, Kia tersenyum tipis menatap hamparan gemintang di atasnya. Kata orang, seseorang yang lebih dulu pergi akan menjadi salah satu bintang di langit. Apa sekarang Kenan juga telah menjelma menjadi salah satu bintang terang di langit sana?

"Sampai disini ya, Ki?"

Kia menoleh menatap Fikri yang berada tepat disebelah kirinya. Gadis itu berkedip. "Iya, sampai disini."

Fikri mengubah posisinya menjadi menghadap Kia sepenuhnya. Cowok itu berdehem sebelum bertanya, "Lo nggak ngerasa nyesel udah ngilangin nyawa sahabat kecil lo sendiri?"

"Kalau lo nyesel udah bunuh Shilla?" tutur Kia membalikkan pertanyaan.

Fikri menggeleng. "Sejak dulu gue selalu ngilangin nyawa siapapun yang berani ngomongin Shilla, dan saat gue tau cewek itu justru balik ngehianatin gue, rasa gue buat dia ilang. Nggak ada kata nyesel." Ada jeda disana sebelum Fikri kembali bertanya, "jadi elo sendiri gimana? Nyesel udah bunuh Kenan?"

"Untuk apa nyesel?" Kia menggelengkan kepala. Kembali fokus menatap bintang. "Kenan pasti seneng sekarang. Jiwanya udah bebas. Dia nggak akan ngerasa sakit lagi."

"Sakit?"

Kiara tertawa. Gadis itu menunjuk salah satu bintang yang paling terang. "Saat ngeliat bintang itu, gue kayak ngeliat Kenan yang lagi senyum. Jadi pengen cepet-cepet nyusul."

"Lo belum jawab pertanyaan gue, Ki. Kenan sakit?" tanya Fikri kembali mengulang pertanyaan.

Lagi-lagi Kiara tertawa. Tawa yang bagi Fikri terdengar begitu terpaksa. "Bukan sakit medis. Tapi batinnya yang udah kronis. Lo tau?"

Fikri menggeleng. Cowok itu fokus pada wajah Kia yang berubah sendu. Dia tidak pernah menduga kalau Kia ternyata memiliki raut seperti itu.

"Emm menurut lo, apa yang bisa diharapkan dari seorang anak yang bahkan nggak tau nama ibu kandungnya sendiri. Seorang anak yang nggak pernah liat wajah ibunya, bahkan apakah ibunya masih hidup atau enggak ... Kenan nggak pernah tau itu. Dalam hidupnya, Kenan cuma punya mama Nisa.

Papanya gila kerja. Papa Yoga pulang bahkan bisa dihitung pakai jari. Papa nggak pernah bener-bener sayang sama Kenan. Dan lebih parah lagi, Kenan tau itu. Dia tau kalo papanya nggak sayang sama dia."

Kiara tersenyum hampa. Bercerita tentang Kenan adalah definisi luka. "Waktu itu umur kami masih tujuh tahun, Fik. Kami denger semua omongan mama Nisa dan papa Yoga tentang kepulangannya ke Indonesia dengan rasa terpaksa. Mama Nisa yang maksa papa pulang. Papa bilang, dia nggak akan mau nemuin Kenan kalo bukan karena mama. Papa benci Kenan.

Hancur? Pasti. Hati anak yang mana, sih, yang tetep baik-baik aja setelah denger sosok pahlawannya ngomong kayak gitu? Disaat itulah, gue yang jadi saksi gimana Kenan kecil nangis sepanjang hari dikamarnya.

Kenan frustasi sejak dini. Dia nggak pernah paham letak kesalahan dia dimana sampai-sampai papa kandungnya sendiri nyimpen rasa benci. Bayangin aja, anak umur tujuh tahun yang harusnya main dan seneng-seneng, udah dipaksa mikir apa kesalahan dan apa yang kurang dari dalam dirinya.

Dari kecil Kenan udah nggak baik-baik aja. Batinnya terluka. Sejak itulah, Kenan terus berusaha jadi anak yang sempurna agar bisa  diakuin sama papanya.

Tapi ... harapan cuma harapan. Papa nggak pernah bener-bener ngakuin keberadaan Kenan. Mau Kenan menang lomba sekalipun, papa nggak pernah peduli. Paling-paling ... papa Yoga ngucapin kata selamat kosong tanpa makna. Sebatas formalitas, atau paksaan dari mama Nisa.

RepasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang