18. Alvin

201 48 198
                                    

Tiga tahun lalu ....

Alvin duduk diatas motor ninja hitam miliknya sambil menatap siswa siswi yang sedang berebut keluar gerbang. Senyumnya mengembang sewaktu melihat orang dia ditunggu berjalan ke arahnya.

"Apa kabar Bim?" tanya Alvin saat sosok itu udah berdiri tepat dihadapannya.

"Baik."

Baik ya? Alvin tertawa pelan. Dia merangkul sahabatnya sedari SD yang bernama Bima itu dengan hangat. "Baik-baik tapi muka lo kayak orang depresi."

Walau jarang bertemu, namun Alvin tetaplah Alvin yang sangat teliti dan peka. Cowok itu dapat langsung mengetahui bahwa ada yang salah dengan Bima.

"Gue putus."

"Sama pacar lo itu?"

Bima mengangguk mengiyakan. Tatapannya berubah sendu. Alvin dapat memahami betapa hancurnya perasaan Bima. Bima tipe lelaki yang sangat jarang jatuh hati. Gadis yang menjadi pacarnya sekarang saja adalah cinta pertamanya.

"Namanya Shilla, kan?"

Bima lagi-lagi mengangguk.

Alvin semakin mengeratkan rangkulannya. Dia membawa Bima ke salah satu kursi di taman yang tidak jauh dari sekolah Bima.

"Kenapa sampai putus? Lo selingkuh?"

Bima berdecak kesal. Cowok itu menampar mulut kotor Alvin dengan cukup keras. Bukannya marah, Alvin malah tertawa melihat kemarahan Bima.

"Gimana mau selingkuh kalau gue udah sayang banget sama Shilla?!"

"So? Kalian putus karna apa?"

Bima terdiam, sudut bibirnya tertarik membentuk lengkungan kecil. "Dia bilang dia bosan sama gue. Dia udah nemu laki-laki lain yang menurutnya lebih baik. Lebih pantas bersanding sama dia."

"Terus lo nyerah gitu aja?"

"Ya enggak lah!!" ucap Bima nyolot. Dia menarik napas sebelum melanjutkan, "gue udah berjuang tapi Shilla bilang gue itu annoying. Dia risih. Kalau dianya udah bilang gitu, gue bisa apa?"

Alvin tertawa kecil. Untung dia tidak pernah jatuh hati. Menurutnya cinta itu adalah hal yang sangat merepotkan. "Move-on aja lah. Atau mau gue kenalin sama salah satu pacar virtual gue?"

"Dih, pacaran kok virtual." sindir Bima sarkastik.

"Nggak pa-pa virtual, yang penting gue tetap tamvan." Alvin menyugar rambutnya kebelakang -menyombongkan diri.

Bima hanya menggelengkan kepala singkat melihat kegilaan Alvin dan memilih berdiri. Dia menatap Alvin dengan seutas senyum kecil. Senyum yang entah kenapa membuat Alvin merasakan desiran aneh didadanya. Senyum itu ... seperti senyuman selamat tinggal.

"Gue mau balik. Bokap gue mau ke Yogyakarta. Mungkin gue bakalan ikut pindah kesana."

Alvin ikut berdiri. "Lo serius? Bim, lo itu sahabat gue satu-satunya. Kalau lo pergi gue sama siapa anjir?"

"Serius." Bima mengambil tasnya. Menyandang tas itu dibahu kanan. "Kayaknya menjauh adalah cara terbaik buat nyembuhin sakit hati."

Angin yang bertiup pelan membuat Alvin merinding. Jantungnya berdegup cepat. Perasaan sesak menyerang dadanya. "Lo pulang naik apa?"

"Motor gue masih di parkiran."

"Gue anter aja, yuk! Itung-itung salam perpisahan."

Bima menggeleng. Dia mulai mematri langkah meninggalkan Alvin yang masih sibuk memenangkan jantungnya sendiri. Firasat laki-laki itu sangat tidak baik.

RepasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang