22. Berakhir

242 42 285
                                    

Kenan melambaikan tangan ketika netranya menangkap sosok Kiara di pintu gerbang sekolah. Dari tempatnya berdiri, Kenan dapat melihat dengan jelas senyum manis gadis itu. Hatinya menghangat. Tidak ada yang memiliki senyum semanis Kia. Bahkan Shilla sekalipun.

"Kenan!"

Kia menghambur memeluk tubuh tegap Kenan. Laki-laki itu tersenyum tipis, membalas pelukan Kia tidak kalah erat. Mungkin, dia tidak akan pernah merasakan dekapan hangat ini lagi. Mungkin, ini adalah hari terakhir dia bisa sedekat ini dengan Kia. Mungkin ... ada banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi setelah dia melepas kedekatan ini.

Sampai-sampai, dia sendiri takut untuk membayangkan. Tanpa sadar setetes air jatuh menyusuri pipi Kenan.

"Kamu kemana aja? Aku kangen tau. Liat," Kia melepas pelukannya, mengambil dua langkah mundur dan menunjukkan luka yang dia dapat di lengan kiri dan dahinya. "... karena kamu tinggal, aku jadi luka-luka."

Kenan menarik napas panjang sebelum menyorot Kia dengan dingin. "Nggak usah lebay. Luka kecil doang."

Ada ekspresi terkejut yang kentara dari wajah Kia. "Kenan, oke?"

"Menurut lo?!" jawab Kenan ketus. Kia terkesiap. Wajahnya mendadak pucat. Dia hendak menyentuh lengan Kenan namun segera ditepis kasar oleh cowok itu.

"Akh... sakit, Ken! Kamu kenapa kasar gini, sih?!"

"Bacot. Masuk cepet," Kenan mengode Kia agar masuk ke dalam mobilnya. Walau bingung dan kesal, Kia tetap menuruti Kenan tanpa banyak kata. Matanya tidak lepas sedikitpun dari wajah Kenan yang terlihat datar.

Perjalan pulang kali ini hanya diisi hening. Wajah Kenan tidak pernah sedatar ini. Lelaki dibalik stir kemudi itu bahkan tidak melirik sedikitpun. Dia hanya fokus ke depan, menatap jalan.

"Kia ada salah sama Kenan?" cicit Kia pelan.

Hanya dengusan yang dapat Kia dengar. Kenan tidak menjawab sama sekali. Kia berusaha mengingat-ingat lagi apa yang sudah dia lakukan. Tetapi sayang, otaknya yang pintar tidak dapat menyimpulkan apapun saat ini.

Gadis dengan rambut tergerai itu mengalihkan pandangan keluar jendela. Menatap rintik-rintik hujan yang sedang terjun bebas menghantam apapun yang lebih rendah darinya. Sumpah demi apapun, Kenan tidak pernah bersikap seperti ini. Bahkan rasanya, Kenan jauh lebih dingin dari rinai hujan yang sedang membasahi bumi di luar sana.

.


Nisa baru saja sampai di bandara. Yoga dan dirinya berpisah saat di Surabaya. Yoga bilang dia harus segera kembali ke Amerika untuk mengurus bisnisnya. Dan Nisa sendiri sama sekali tidak berniat menghalangi. Karena hubungan mereka murni hanya sebatas sahabat lama.

Mata lentiknya memperhatikan sekitar. Menunggu supir yang akan menjemputnya.

"Hai..."

Seruan yang terdengar familiar. Dia membalikkan tubuh dan seorang laki-laki berseragam SMA sedang tersenyum lebar ke arahnya.

"Sendirian aja, Kak?"

Nisa mendengus kesal. "Kak? Saya sudah bilang, saya lebih pantas jadi mama kamu. Stop panggil saya kakak-!!"

Cowok itu, Alvin, tersenyum semakin lebar. Perempuan ini sangat menarik perhatian. "Aku panggil Manis aja kalau gitu,"

"... singkatan dari Mama Nisa." ujar Alvin lalu tergelak. Hanya Nisa yang mampu membuat hatinya berdesir hanya dengan senyuman kecil. Hanya Nisa yang mampu membuat jantungnya menggila hanya dengan mendengar suara merdunya.

RepasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang