O4. si pengirim surat

210 35 8
                                    

"Hidup manusia selamanya dikendalikan oleh dua emosi: ketakutan dan ketamakan."

(Robert Kiyosaki)

𓆰.

Bayangan anak laki-laki itu muncul lagi. Dia melintas di antara semak-semak ketika Ghia dan Ayah sedang berjalan di trotoar pada sore hari. Berkali-kali Ghia sudah memberi tahu Ayah bahwa ada yang aneh di antara semak-semak itu, tapi Ayah selalu mengelak dan bilang bahwa itu hanyalah kucing atau anjing atau hewan lainnya.

"Aku yakin itu bukan hewan," celetuk Ghia agak dongkol sembari melepas sepatunya ketika sudah sampai di rumah.

"Lantas apa? Ada tetangga yang mengintipi kita begitu?"

"Ya, barangkali. Aku sudah melihat bayangan itu sejak berhari-hari lalu, Ayah," jawab Ghia. "Mungkin ada anak tetangga nakal yang berniat menjahiliku."

"Atau memang benar ada penguntit," lanjut Ghia.

Ayah hanya menggeleng dan berlalu menuju dapur. Ghia mendengar suara pintu kulkas yang tertutup disusul suara dentingan gelas yang menubruk permukaan meja.

"Sudah Ayah bilang, sebaiknya kamu mulai cari teman dan bermainlah di luar."

Ghia menoleh pada Ayah sekilas, ingin protes tapi dia sadar Ayah pasti akan sedih kalau mendengar semua keluh kesahnya.

"Setidaknya, carilah satu teman." Ayah benar-benar memohon.

"Aku udah punya banyak teman kok," cengir Ghia. Dia menaruh sepasang sepatunya ke dalam rak sepatu.

"Pengecualian buat buku-buku."

"Aku benar-benar punya teman, Ayah. Aku sering mengajaknya berbicara dan bernyanyi bersama."

Ayah berkacak pinggang. "Oh ya? Siapa dia?"

"Para bintang." Ghia mengedik dan melangkah menuju kamarnya.

Hal itu tentu mengundang kegeraman dari Ayah. Pria itu sudah senang mendengar ujaran Ghia soal memiliki teman, tapi ketika mendengar perkataan itu, sukses membuat Ayah menggeleng tak habis pikir.

"Dia memang anak kecil yang terlalu dewasa ...."

  ˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

Kengerian ini harus dihentikan. Surat-surat dan bayangan anak lelaki itu harus dihilangkan sebab boleh jadi mereka akan menimbulkan masalah bagi Ghia dan Ayah. Ghia tidak bisa memprediksi hal-hal buruk apa yang akan terjadi bila dia terus-terusan diam saja dan membaca surat-surat yang berdatangan, serta terus mengesampingkan rasa cemas dan penasarannya hanya karena Ayah bilang bahwa tidak ada apa-apa.

Ayah menolak rumah ini dipasang kamera pengintai. Baiklah, Ghia agak kecewa, tapi jika satu jalan tertutup, bukan berarti jalan lainnya juga tertutup 'kan? Masih ada satu cara untuk menguak siapa si pengirim surat itu dan hubungannya dengan bayangan anak lelaki yang kerap kali bersembunyi di semak-semak.

Di pulau yang terasingkan, orang-orang terlalu sibuk untuk melakukan itu semua 'kan? Apalagi bila sasarannya ada anak perempuan seperti Ghia, yang bahkan tidak memiliki keistimewaan dan takut kaca.

Malam kemarin, Ghia sudah menyusun rencananya lengkap dengan rencana alternatif. Bila surat-surat itu terus berdatangan setiap hari, dengan catatan pada waktu yang abstrak alias bisa siang, pagi, atau malam, maka hari ini pun surat itu pasti akan datang lagi.

Ghia sampai menolak ajakan Ayahnya soal pergi ke taman kota dan membeli beberapa es krim karena ... "Hei, ini hari Minggu. Semua orang pergi liburan di hari ini." begitu kata Ayah.

Namun, jika Ghia ikut bersama Ayah, dia akan mati penasaran setiap harinya serta merasa tidak aman soal surat-surat dan bayangan.

Tentu saja, Ayah pergi pagi tadi. Ayah tidak berpesan banyak hal, hanya menyuruh Ghia untuk berhati-hati dengan kompor, api, listrik, dan berhenti baca buku untuk sementara waktu. Ghia menurutinya karena dia pun tidak berencana untuk menyentuh buku apa pun hari ini── setidaknya sampai dia tau siapa si pengirim surat itu.

Dari pagi Ghia sudah setia duduk di depan jendela yang tirainya ia buka sedikit tepat di bagian mata. Dia terus mengawasi keadaan di luar dan bersiap sedia kalau-kalau si pengirim surat itu datang.

Berjam-jam telah terlewat. Udara terasa semakin panas dan bosan menyerang Ghia. Pada siang hari, Ghia terkantuk-kantuk dalam posisi menopang dagu. Si pengirim surat belum kunjung datang.

Menjelang sore, beranda rumah belum didatangi siapa pun. Ghia mulai mengesah kecewa, sepertinya surat itu tidak akan datang hari ini. Dia sudah berniat untuk berbalik masuk ke kamarnya ketika suara rumput kering yang diinjak terdengar.

Pupil mata Ghia membesar. Dia berbalik dan mengintip di balik celah tirai gorden.

"Itu dia si pengirim suratnya."

Laki-laki. Pakai topi. Jaketnya terlihat begitu hangat, seolah dia tahu bahwa setelah ini hujan akan turun. Wajahnya tidak kelihatan. Anak itu menaruh suratnya tepat di depan pintu.

Ghia spontan berlari dan menyibak pintu.

"HEI!"

Tapi semua itu terjadi begitu cepat, sampai-sampai yang bisa Ghia lihat adalah punggung si pengirim surat itu yang telah berlari menjauh.

Ghia berniat mengejarnya, tapi dia kehilangan jejak anak itu.

"Setidaknya aku tau bahwa ini semua bukan kerjaan om-om atau kakek-kakek yang sedang suka padaku," celetuk Ghia sembari menghela napas pendek.

Ghia memungut secarik surat yang tergeletak di depan pintu, tapi tidak untuk ia baca isinya. Karena setelah dia tahu perwujudan si pengirim surat ──tanpa melihat wajahnya── Ghia berhenti membaca surat-surat yang berdatangan.

"Aku takut dia enggak lebih dari seorang anak nakal yang berniat melukaiku, seperti teman-teman di sekolah."

Ghia mendengkus sebal sembari menutup pintu. "Huh, anak zaman sekarang memang jahil."

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang