41 - cerita masa lalu

76 9 2
                                    

Pria melihat dunia melalui kacamata mars. Moto mereka adalah "Jangan diperbaiki kalau tidak rusak."

(John Gray)

𓆰.

Dulu kalau ada waktu, Ayah suka sekali mengepang rambut Ghia. Kini, setelah sebulan Ayah pergi, Ayah kembali mengepang rambut Ghia lagi dan memasang pita di ujungnya sebelum Ayah mengajak Ghia untuk turun ke lantai bawah. Ghia salah besar karena sempat mengira bahwa Ayah tak merindukannya, sebab nyatanya, Ayah sangat merindukan Ghia. Buktinya, dalam perjalanan dari kamar Ghia menuju tangga, Ayah tampak gatal dan gemas kalau tidak menyentuh Ghia, entah itu mengusap rambutnya, menggenggam tangannya, atau mencium pipinya.

"Sudah berapa lama Ayah pergi sampai rasanya kamu jadi terlihat berkali-kali lipat lebih cantik dari sebelumnya?" celetuk Ayah sembari mencubit pelan pipi Ghia.

"Sudah beberapa dekade lamanya sampai kukira Ayah enggak akan kembali," balas Ghia setengah cemberut.

"Mana mungkin." Ayah terkekeh dan saat itu juga Ayah langsung mengangkat tubuh Ghia. Ia nyaris menjerit sewaktu tubuhnya terasa seperti setengah terbang dan kakinya tidak lagi memijak lantai, tapi setelah semua itu, Ghia memukul pelan pundak Ayah.

"Aku sudah besar Ayah!" seru Ghia, kini ia bisa melihat mata Ayah tanpa perlu mendongak lagi. Bahkan, Ayahlah yang perlu mendongak kalau mau melihat mata Ghia.

"Enggak. Kamu akan tetap jadi putri kecil Ayah. Coba lihat matanya— Ah indahnya. Kalau suaranya? Biarkan Ayah mendengarnya. Bicaralah—"

"Ayaaah!"

"Sangat mengagumkan." Ayah terkekeh. "Mau Ayah daftarkan ke kelas menyanyi?"

Ghia melotot. Itu menyeramkan. Kalau pun ia benar-benar didaftarkan ke kelas menyanyi dan menjadi anggota dalam sebuah tim paduan suara, suaranya tidak akan membantu banyak dan justru malah akan terdengar seperti kesiur angin biasa.

"Itu ide yang buruk."

Ayah menurunkan Ghia sewaktu mereka telah berada di ujung tangga, di lantai bawah. Ayah bilang ia akan pergi mandi dan akan menemui Ghia lagi untuk sarapan. Jadi Ayah meninggalkan Ghia sendirian. Sorot mata Ghia sempat menyapu ke sekeliling dan mendapati Bibi Jilly yang sedang sibuk menguleni adonan roti.

Ghia menyengir lebar dan berniat berjalan ke dapur.

"Jangan mendekat!"

Tersentak, Ghia menghentikan langkah. "Aku ingin membantu—"

"Oh, tidak, tidak. Ini roti kesukaanku. Aku tidak ingin ada kesalahan sedikitpun. Jadi lebih baik kau melakukan hal lain saja," ucap Bibi Jilly, ketus seperti biasanya. "Pergi bermain, misalnya."

Ghia sudah mengenal Bibi Jilly hampir sebulan ini. Jadi, ia cukup tau bahwa ucapan Bibi Jilly sama saja seperti keputusan final dari hakim dalam sidang pengadilan. Kalau kau berusaha membantahnya, maka jangan salahkan orang lain kalau Bibi Jilly akan berteriak sangat kencang padamu, atau bahkan memusuhimu selama seminggu penuh. Itu cukup menyeramkan. Jadi Ghia memutuskan menurut saja dengan pergi ke luar rumah dan berniat langsung berlari ke rumah Sirius dengan penuh semangat.

Namun, waktu dirinya sudah membuka pintu depan, langkah Ghia mendadak berhenti. Ia rasakan ada kekecewaan yang mulai tumbuh dalam hatinya waktu melihat hujan ternyata turun dengan deras, juga rasa ketakutan karena sewaktu Ghia menoleh ke kiri, ia melihat Ibu sedang duduk dengan sepiring apel di meja sampingnya.

Ghia mendadak merasa gugup sampai tak sadar bahwa kakinya berjalan mundur sendiri. Bukan mundur ke belakang membentuk garis lurus, tapi mundur secara abstrak sampai tak sadar kalau itu membuat Ghia terpojok ke tembok di sampingnya.

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang