1O - terlahir berbeda

140 26 11
                                    

"Siapa kita untuk bisa menilai warna orang lain ketika kita semua berdarah merah."

(Eve Aman)

𓆰.

Ghia salah. Ternyata ada tiga rumah yang berbeda dari kebanyakan rumah di Pulau yang Terasingkan yaitu rumah keluarga Ghia, rumah Druyan, dan ... rumah anak lelaki itu.

Pagi-pagi tadi, Ghia iseng berjalan melewatinya. Dia mencengkram tali tasnya dan pura-pura berjalan lurus ke depan sementara ekor katanya terus memindai rumah itu. Jujur saja, selama dua belas tahun Ghia hidup, dia baru sadar bahwa rumah ini ada. Rumah berlantai dua dengan tembok batu bata berwarna merah ini seolah baru saja muncul. Sebelumnya, Ghia pun tak pernah melihat anak lelaki itu di daerah sini.

Mungkin dia baru pindah setelah rumah ini direnovasi. Ya, mungkin saja.

Anak itu pernah mengiriminya banyak surat dan, mungkin saja, dia juga yang memata-matai Ghia di balik semak-semak. Ghia merasa jengkel, tapi sejenak, ada perasaan bahagia dalam hatinya. Seperti ... hei, akhirnya ada yang berani mendekati Ghia duluan! Maksudnya, selama ini Ghia selalu dijauhi teman-temannya. Mereka tidak mau dekat-dekat Ghia, bahkan enggan untuk mengetahui segala sesuatu tentangnya. Baru kali ini Ghia merasa dirinya sedikit ... apa ya sebutannya, spesial?

Yah, setidaknya anak itu kelihatan baik. Dia memberi Ghia makanan yang sudah lebih dari cukup untuk mengganjal perut selama tiga hari.

"Tapi, siapa namanya?" Ghia terus berjalan hingga tanpa sadar telah melewati rumah itu. Dia mengetuk dagu. "A CMa? Itu yang tertera di suratnya kan?"

Ghia tidak tahu apa itu a CMa. Dia selalu lupa untuk bertanya pada Ayah, padahal rasa penasarannya terhadap nama si pengirim surat itu selalu bertambah ketika membaca nama di akhir surat. Atau jangan-jangan itu bukan nama?

Sesampainya di sekolah, Ghia tanpa sadar bertanya pada teman-temannya.

"Hei, kamu tau apa itu a CMa?"

Sebagian besar menjawab dengan dengusan sinis. Sebagian lagi menjawab sembari menyeringai.

"Apa itu? Apa sejenis pasta?"

"Itu pasti makananmu sehari-hari ya? Namanya seaneh dirimu."

Ghia, entah kenapa, tiba-tiba merasa darahnya mendidih. Emosinya naik sampai ubun-ubun.

"Kenapa kalian selalu menyebutku aneh?"

Sudah bertahun-tahun ....

"Aku sama seperti kalian! Aku hanya anak perempuan biasa yang juga ingin hidup bahagia."

Ghia dikucilkan dan dihina teman-temannya.

Dan mereka tidak pernah minta maaf soal perkataan mereka yang selalu melukai Ghia. Mereka bahkan tidak menunjukkan ekspresi bersalah. Mereka tergelak dan menikmatinya, bahkan meskipun bahu Ghia telah naik turun dengan wajah semerah tomat yang telah masak.

"Hei, kenapa dia ini?" Salah satu lelaki berambut ikal berkata sembari terkekeh.

"Ya ampun. Pemarah sekali," ucap perempuan di seberang Ghia, namanya Anna, dia punya mata abu-abu yang cantik dan rambut pirang mengkilap.

"Lihatlah. Wajahnya memerah."

"Mana, aku enggak melihatnya."

Ghia mengepalkan tangan.

"Ah ya. Rona merah itu tertutupi kulitnya yang hitam dan gelap."

"Enggak bisa melihat. Dia nyaris seperti lemari kayu di belakangnya. Bahkan lebih gelap."

"Hei, hentikan!"

Ghia menoleh pada anak lelaki berambut kecoklatan yang duduk tak jauh darinya. Dia merasa anak itu akan membelanya. Makanya rasa marah itu meredup pelan-pelan, digantikan secercah harapan.

"Sebelum mengatainya hitam dan gelap. Kalian harus memberi tahunya dulu. Ghia tadi bertanya, kenapa kalian menyebutnya aneh?"

Bahu Ghia nyaris merosot. Harapannya patah. Anak itu sama saja.

Satu kelas tertawa. Ghia merasa dia telah disudutkan.

"Ayo, beritahu dia."

"Jangan aku. Ucapanku kerap lepas kendali. Aku takut Ghia menangis dan mengotori kelas ini dengan air mata dan suaranya yang menyeramkan."

"Kamu saja. Beritahu dia. Kita semua tahu keanehannya."

Ghia ingin sekali berlari dari kelas ini dan tak pernah pergi ke sekolah lagi. Sampai kapan pun. Ghia benci teman-temannya.

"Hei, tetaplah berdiri di sana. Jangan kabur, kami ingin menjawab pertanyaanmu," balas seorang anak perempuan berambut pendek.

"Baiklah."

Ghia menahan napas dan berusaha menahan air matanya yang hendak keluar. Dia salah besar. Seharusnya dia tidak bertanya dan lebih mengontrol perasaannya.

"Keanehanmu yang pertama adalah, kulitmu hitam dan gelap dan kusam. Kalau kita berada di ruang yang sama, kita jadi terlihat seperti kopi dan susu. Kamu orang Aborigin."

Ghia menggeleng. Tidak. Tidak.

"Yang kedua, sepasang matamu aneh. Sangat aneh. Satu biru terang dan satunya lagi hitam. Itu membuat wajahmu enggak simetris. Jelek sekali."

Ghia benar-benar ingin kabur, tapi anak-anak itu sekarang menghadangnya. Berdiri mengelilingi Ghia yang wajahnya telah pucat pasi.

"Keanehanmu yang ketiga, kamu seperti orang dewasa. Kamu membaca buku-buku yang biasa dibaca orang dewasa dan berbicara seperti orang dewasa. Kamu dewasa sebelum waktunya. Sampai kapan pun, kamu enggak akan pernah cocok berada di lingkungan kami. Kamu sangat aneh. Benar-benar aneh dan membosankan."

"Keanehanmu yang keempat──"

Ghia menerjang tubuh dua anak lelaki yang menghalanginya. Dia berlari kencang ke luar kelas dan pergi melewati gerbang sekolah. Ghia bersender di samping pohon, menutupi wajahnya dengan sepasang telapak tangan dan mulai menangis.

"Kamu hitam. Matamu enggak normal. Suaramu seperti suara hantu. Kamu sangat membosankan. Kami enggak mau bermain denganmu, sampai kapan pun."

Ayah sangat tampan. Ibu sangat cantik. Kulit mereka putih bersih seperti porselen. Manik mata mereka yang berbentuk elips memancarkan sinar dari irisnya yang berwarna biru. Ayah selalu menjadi orang yang paling menyenangkan di antara yang lain. Ibu sangat supel dan canggih, dia punya banyak kenalan selebriti, wali kota, seorang pilot, bahkan seseorang yang bekerja di balik satelit luar angkasa. Ibu juga sangat menyenangkan. Orangtuanya begitu sempurna.

Ghia sangat berbeda dibanding Ayah dan Ibu. Dia selalu merasa bahwa dia bukanlah anak kandung mereka. Mungkin itulah sebabnya Ayah dan Ibu pergi meninggalkannya sendirian karena Ghia bukanlah siapa-siapa bagi mereka. Ghia begitu jelek dan membosankan. Dan Ghia selalu membenci kedua fakta itu.

Sampai kapan pun. Ghia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena terlahir berbeda.

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang