38 - suara tangis sesak

97 13 2
                                    

"Mari pergi, hai Anak Manusia: ke perairan dan alam liar dengan peri, bergandengan tangan, karena dunia lebih penuh dengan tangisan daripada yang bisa kau pahami."

(William Butler Yeats)

𓆰.

Sirius mengantarkan Ghia sampai ke depan orang tuanya. Dia benar-benar menghentikan sepedanya di samping Ayah dan Ibu Ghia. Mereka bahkan sempat menyadari kedatangan Sirius, tapi perhatian itu cepat-cepat teralih waktu Ghia melompat turun dari sepeda.

"Aku enggak apa-apa," kata Ghia agar itu bisa membuat Sirius yakin untuk benar-benar pergi dan pulang ke rumahnya.

Satu-satunya orang yang tampak bahagia adalah Ayah. Ayah langsung menjatuhkan tas di tangannya, berlari menghampiri Ghia  dan berlutut dan memeluk Ghia dengan erat.

Ayah. Ayah. Ayah.

"Syukurlah kamu baik-baik aja."

Ghia tidak mengharapkan kalimat itu muncul pertama kali dari mulut Ayah. Ia kira Ayah akan bilang, "Ayah sangat, sangat, sangat merindukanmu."

Ghia bergeming. Dia tidak membalas, juga tidak merespon waktu Ayah menangkup wajahnya dan mulai menciuminya dengan mata berkaca-kaca.

Aku sangat merindukan Ayah. "Ayah ke mana aja?"

Aku pengen peluk Ayah. "Selama Ayah enggak ada, aku kesepian."

Tolong, Ayah jangan pergi lagi. "Ayah udah enggak sayang lagi padaku ya?"

"Ayah sangat menyayangimu." Ayah kembali memeluk Ghia. Aneh rasanya karena sekarang Ayah jadi tampak asing. Ayah banyak berubah. Wajahnya tampak lebih tirus dari sebelumnya dan lingkaran hitam di bawah matanya begitu terlihat menyeramkan. Ghia merasa asing. Dia merasa orang-orang ini bukan orangtuanya. Ghia bertanya-tanya, kenapa?

Kenapa? Kenapa? Kenapa? Ghia tidak kunjung mendapatkan jawabannya. Padahal seharusnya Ghia tau jawabannya. Padahal seharusnya Ghia tau karena Ghia adalah anak mereka. Ketidaktahuan itu membuat dadanya sakit, kerongkongannya perih, suhu tubuhnya menurun drastis, dan matanya berair.

"Ayah membawa Ibumu ke mari," ucap Ayah setelah melepaskan pelukannya.

Cairan bening pertama meluncur bebas dari pelupuk mata Ghia yang langsung cepat-cepat Ghia usap. Pandangannya beralih pada wanita berambut panjang dengan tinggi semapai di depannya. Ibu masih tampak sama. Dia masih enggan menatap Ghia dan malah sibuk meratapi kuku-kuku cantiknya yang berwarna merah darah.

Keinginan besar untuk memeluk Ibu muncul dalam benak Ghia, tapi tentu saja dia tidak bisa melakukan itu.

"Ayo masuk. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan," ucap Ibu dengan nada setengah ketus.

Padahal langit terang benderang. Ibu pasti enggan untuk berhadapan dengan Ghia. Ya, tentu saja. Dari dulu, Ibu kan tidak suka Ghia.

Setetes cairan keluar lagi dari pelupuk mata yang langsung Ghia usap dengan telapak tangan, tapi lama-kelamaan Ghia kewalahan. Ghia tidak bisa menghalau air-air itu yang mengalir deras di pipinya. Dia benci dirinya sendiri karena tidak bisa menyembunyikan air mata dan suara tangisnya di samping Ayah.

Ayah menyadari itu sewaktu mereka hendak melewati pintu utama, tapi Ayah tidak memberikan tanggapan apa pun. Ayah tau Ghia menangis, tapi Ayah malah berpura-pura tidak tahu dan lanjut berjalan sembari merangkul pundak Ghia. Kalau Sirius ada, dia pasti akan cepat-cepat menghapus air mata Ghia dan mulai merapalkan mantra berupa kata-kata indah yang lebih terdengar seperti mimpi.

Rasanya sesuatu dalam diri Ghia ingin meledak. Keinginan ingin muntah muncul kala Ayah menggiring Ghia untuk duduk di sofa bersama Bibi Jilly dan Ibu yang tengah menatapnya dengan sorot mata sukar diartikan. Ghia ingin masuk ke kamar. Ghia ingin menangis di bawah bantal.

"Kamu tau, enggak? Ayah membelikan ini buatmu." Ayah berucap riang sembari mengeluarkan sesuatu dari tas jinjingnya. Sebuah bulan yang diletakkan di atas rakitan kayu. "Ini lampu tidur."

Itu sangat cantik, tapi itu tidak membuat perasaan Ghia jadi lebih baik. Dia malah merasa bertambah sesak dan gejolak aneh itu makin meletus-letus, menjalar naik dari perut, dada, dan kini menuju leher sampai kerongkongan Ghia kering kerontang.

"Kamu akan menaruh ini di samping tempat tidurmu. Tadinya Ayah mau beli yang bentuk bintang, tapi barangnya sudah habis sebelum Ayah datang." Ayah terus berbicara seolah tak terjadi apa-apa, seolah benar-benar tak sadar bahwa anak perempuannya tengah tersiksa.

"Kalau ini hadiah dari Ibu."

Itu semua pasti berhubungan dengan persetujuan Ghia atas perceraian mereka.

"Ibu yang memilih sendiri untukmu." Ayah mengeluarkan barang lain dengan ekspresi masih tampak bahagia. Tidak. Seharusnya Ibu yang mengeluarkan barang itu. Seharusnya Ibu yang bicara.

"Ibu punya selera bagus dalam memilih baju."

Ibu menganggap Ghia orang asing. Ibu ada di sampingnya, tapi Ghia merasa Ibunya tidak ada di sini. Mungkin, mungkin ini yang dimaksud Sirius.

"Sirius, ternyata aku sama kayak kamu," batin Ghia sambil berusaha menahan sesuatu yang ingin meledak. "Ternyata aku sama kayak kamu. Ibuku enggak ada. Ibuku enggak pernah ada, Sirius. Enggak pernah ada ....."

"Kamu mau mencobanya?" Ayah mengangkat baju itu di depan Ghia dan saat itu juga sesuatu dalam diri Ghia meledak bersamaan dengan suara tangisan nyaring dan air mata yang mengalir deras seperti air bah.

"Aku enggak bisa ...."

"Aku enggak bisa ...."

Ghia menggeleng-geleng sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, sementara air mulai merembes dari sela-selanya dan menetes ke rok yang anak itu kenakan.

"Aku enggak bisa ...."

Ketiga orang dewasa itu enggan bicara. Suasana rumah yang lengang, mulai dipenuhi dengan suara tangisan. Tangisan yang waktu demi waktu menjelma menjadi sebuah raungan kesakitan, seolah anak kecil itu benar-benar tersiksa, seolah anak kecil itu benar-benar sekarat, seolah anak kecil itu meronta-ronta,

mencari pertolongan,

tapi tidak ada yang datang.

Yang ia dapatkan justru suara tangisnya yang memantul-mantul di balik dinding, lemari, dan tangga, saling bersahutan tanpa ada seseorang yang berniat menghentikannya.

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

Ghia kabur lagi pada malam hari dan menggedor-gedor pintu rumah Sirius sambil bersimbah air mata. Tubuhnya langsung ambruk, bersimpuh, dan air mata mengalir deras dari pelupuknya waktu pintu terbuka dan menampakkan batang hidung Sirius.

"Mereka jahat. Mereka kejam. Mereka enggak ngerti aku ...."

Sirius bersimpuh. Ikut terjatuh bersama Ghia.

"Aku enggak mau kembali ke rumah, Sirius. Aku enggak mau pulang. Aku enggak akan pernah pulang."

Malam itu, suara tangis sesak memenuhi rumah Sirius.

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang