24 - telepon dari ayah

98 15 1
                                    

"Ketika kamu lahir di rumah yang terbakar, kamu pikir seluruh dunia dipenuhi oleh kobaran api. Tapi nyatanya tidak."

(Richard Kadrey)

𓆰.

Ghia yakin, sekolah pasti akan sangat-sangat-sangat membosankan bila isinya hanya bermain dan berteman. Sama seperti hari ini, hampir semua mata pelajaran dilalui Ghia dengan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan sebab para guru sedang ada rapat. Ghia sudah berusaha untuk bergabung dengan teman-temannya, tapi mereka selalu melemparkan tatapan sinis dan mengusir Ghia begitu saja. Itu sangat menyiksa. Untungnya, siksaan itu berakhir seiring dengan langkah kaki Ghia menuju rumah.

Tadi, dia sempat berpapasan dengan Sirius. Anak lelaki itu juga sempat menyapanya sembari senyuman lebar, tapi Ghia tidak membalasnya dan berlalu begitu saja. Dia masih sebal dengan tingkah Sirius yang seolah-olah sengaja menyudutkannya dengan cermin. Padahal— ah sudahlah. Ghia tidak mau membicarakan kejadian di pelabuhan waktu lalu.

Ghia membuka pintu rumahnya dengan perlahan, mencopot sepasang sepatunya dan menaruh benda itu di rak sepatu, lalu melangkah masuk. Niatnya, Ghia ingin langsung naik ke kamar, mencuci kaki dan tangan, kemudian belajar, tapi di ruang keluarga, suara Bibi Jilly tiba-tiba mencegahnya.

"Hei, ke mari."

Ghia yang terlalu letih dan rasanya kakinya akan segera hilang bila dilanjutkan berjalan hanya menatap saja tanpa bergerak.

Bibi Jilly berdecak. "Ke mari! Ada seseorang yang ingin bicara denganmu."

Mendadak, ekspresi wajah Ghia berubah, dia berlari menuju Bibi Jilly seolah rasa letih itu menguap seketika.

"Siapa? Siapa? Apa Ayah? Atau Ibu?"

"Ck, bicara sajalah." Bibi Jilly menyerahkan ponsel genggam di tangannya pada Ghia.

Ghia meraih ponsel itu dan berbicara dengan senyuman simpul. "Halo?"

Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ghia merasa tubuhnya mulai menghangat dan sensasi menggelikan itu muncul di perutnya. Ghia sedang berharap bahwa di seberang sana, ayahnyalah yang menelpon. Atau ibunya juga tak apa. Tapi telepon terus hening, tidak ada yang menjawab ucapan Ghia.

"Ha—"

"Hai, Sayang."

Rasanya Ghia ingin meledak.

"AYAH!"

Bibi Jilly tampak tersentak.

"Ayah! Apakah ini benar Ayah? Ayah, Ayah, Ayah aku kangen Ayah , tahu! Ayah kapan pulang? Aku sangat kesepian di sini. Aku benar-benar langen Ayah. Aku pengen bercerita banyak sekali tentang apa yang aku alami selama enggak ada Ayah."

"Heii," suara gelak terdengar. "Tenang. Napas dulu, Ghia. Tenang, oke? Ayah enggak bakal memutus teleponnya secara mendadak kok sampe kamu ngomongnya cepat banget begitu."

Ghia sangat bersemangat. Dia tersenyum lebar sampai Bibi Jilly dibuat ngeri melihatnya.

"Ayah juga kangen kamu, Ghia. Ayah benar-benar kangen kamu. Sampai mau mati rasanya."

Ghia sangat merindukan suara Ayah.

"Kamu baik-baik aja kan di sana?"

"Ya! Aku baik-baik saja Ayah. Bibi Jilly mengurusku dengan baik. Bibi Jilly juga sangat menyayangiku seperti Ayah," ucap Ghia.

"Baguslah. Ayah lega mendengarnya."

"Kenapa Ayah baru menelponku sekarang?"

"Ah, soal itu ... ponsel Ayah rusak, Nak. Ayah baru sempat membetulkannya hari ini dan ... Ayah teringat padamu."

Ghia masih tersenyum lebar. "Lalu, kapan Ayah akan pulang?"

Ada hening sesaat dan helaan napas panjang terdengar dari sebrang sana. "Sebenarnya, Nak. Tujuan Ayah menelpon bukan untuk memberi kabar kapan Ayah akan pulang."

Senyuman Ghia sirna. "Jadi, Ayah enggak akan pulang?"

"Suatu saat nanti Ayah akan pulang, tapi enggak sekarang."

Ghia melirik Bibi Jilly sekilas dengan ekspresi sedihnya. "Suatu saat nanti itu kapan Ayah? Sampai kapan?"

"Ayah enggak tahu ... Ayah—"

"Sebenarnya, Ayah, aku ingin bertanya." Ghia tersekat. "Apa-apakah Ayah juga kabur dari rumah karena enggak mau tinggal denganku? Sama seperti yang Ibu lakukan?"

"Enggak, Ghia. Tentu saja Ayah enggak begitu."

"Lalu kenapa Ayah pergi begitu jauh?" Sepasang mata Ghia berkaca-kaca.

"Karena Ayah ... harus melakukan sesuatu."

"Apa? Apakah itu demi aku?"

"Ya, demi kamu."

Rasanya, suhu panas mengaliri tubuh Ghia.

"Mungkin ini terdengar enggak bagus, tapi hanya ini yang Ayah bisa lakukan untukmu."

Setetes air mata jatuh dari pelupuk Ghia.

"Satu lagi, mungkin ini akan sulit untukmu, dan akan menyakitimu. Tapi Ayah harus membicarakan dengan ini karena ini juga menyangkut hidupmu, Nak. Kamu tau kan, Ayah dan Ibu sudah tidak tinggal bersama lagi. Ada jarak yang membentang jauh di antara kami. Kami juga telah dipisahkan oleh jurang perbedaan sampai membuat ... tidak ada lagi yang sama. Semuanya sudah berubah dan Ibumu berhak bahagia dengan apa yang dia impikan. Jadi ...."

Ghia meneguk salivanya dengan susah payah. Rasanya dia ingin sekali meremas benda apa pun untuk mengurangi rasa sakit yang tiba-tiba menyerang hatinya, membuat hatinya retak, hampir-hampir patah.

"Jadi?" Tapi Ghia harus menerima segala realita.

"Jadi ... kami berpisah. Kami berencana berpisah. Ayah sudah berpikir ribuan kali sebelum Ayah memutuskan untuk membebaskan Ibumu."

Isakan pertama terdengar dari bibir Ghia. Air matanya mengalir seperti air terjun. Ia menatap Bibi Jilly dengan sorot mata terluka dan rasanya Ghia ingin sekali menghilang dari bumi, tapi ia tak mampu karena Ghia hanyalah anak kecil. Ghia tak pernah mampu melakukan itu sekalipun orangtuanya menyatu kembali, sekalipun Ghia tak pernah memegang ponsel itu dan mendengarkan ayahnya bicara bahwa dia telah menyerah dalam mempertahankan rumah tangganya.

"Mungkin ini terlalu cepat bagimu, tapi ... bakal lebih bagus kalau kita memutuskannya dalam waktu dekat ini agar tidak ada kekacauan di hari Ayah dan Ibu berpisah."

Ghia berharap ada malaikat yang datang dan membawanya ke dalam pelukan yang hangat.

"Kamu mau ikut siapa, Ghia? Ayah atau Ibu?"

Kamu mau ikut siapa? Itu tandanya Ghia harus memilih, tapi Ghia tidak bisa memilih di antara dua orang yang paling ia cintai. Ghia tak akan pernah bisa memilih karena kalau iya, itu akan menjadi ketidakadilan bagi yang lain.

Alhasil, Ghia menyerahkan ponsel itu ke Bibi Jilly dan berlari pergi. Tak disangka waktu dua puluh menit itu terasa seperti berhari-hari sampai keadaan di luar rumah telah basah oleh air hujan. Tanpa ragu Ghia menerobos rintikan air itu sambil menangis, menangis, menangis. Dia jatuh di tepi trotoar hingga tempurung lututnya terluka dan terasa nyeri, tapi Ghia bangkit dan tau-tau saja dia telah berada di depan rumah batu bata warna merah.

Pada langit yang gelap, Ghia menyerukan nama Sirius sembari menggedor-gedor pintu rumah anak lelaki itu dengan erat. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Gedoran itu semakin keras. Bunyinya bahkan meredam suara kesiur angin, tapi tidak ada yang keluar. Sirius tidak kunjung membuka pintu.

Ghia jatuh meluruh, melipat kedua kaki dan mulai menangis. menangis. menangis sampai suara deritan pintu terdengar dan seseorang keluar.

Ghia menoleh dan tangisannya semakin kencang.

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang