25 - di atas bintang jatuh

105 15 2
                                    

"Aku memikirkan keluarga bahagia dan betapa itu sering kali tidak lebih dari sekadar fatamorgana."

(Torey)

𓆰.

Berjam-jam lalu Ghia menangis sangat keras sampai sakit kepala. Memang tak seharusnya Ghia kabur ke rumah Sirius, tapi anak itu tidak terpikirkan hal lain selain berlari dan bersimpuh di depan pintu anak lelaki itu dengan sekujur tubuh basah kuyup. Sirius tentu terkejut melihatnya, tapi dia tidak banyak bicara, selain bersimpuh dan memeluk Ghia di bawah hujan.

Sekarang, anak perempuan itu tengah tidur di salah satu kamar di rumah Sirius setelah mengganti pakaiannya yang basah. Tampaknya, dia teramat lelah sebab menangis terus-terusan. Sampai sore tiba pun, Ghia belum juga membuka mata.

Menjelang malam, sepasang kelopak mata Ghia bergerak dan samar-samar ia melihat batang tubuh Sirius yang tengah membetulkan letak selimutnya sembari menyenandungkan sepenggal lagu.

"Lama sudah kunanti ...." Suaranya sangat merdu. "Hari 'tuk istirahatkan bumi."

Saking merdunya, sampai Ghia terlelap lagi dan jatuh ke dalam mimpi. Mimpi yang gelap, namun dipenuh banyak bintang. Ghia ada di sana, duduk di atas bintang yang bersinar terang bersama ... seseorang dengan sayap berwarna putih bersih. Konon,  luar angkasa itu lebih dingin daripada kutub utara, tapi yang Ghia rasakan hanyalah kehangatan. Mungkin karena ia duduk bersama malaikat. Tapi kehangatan dan keindahan itu tiba-tiba pupus kala Ghia menoleh ke arah bumi. Entah datang dari mana, pusaran awan hitam tiba-tiba muncul dan menyeret tubuh Ghia masuk ke dalamnya. Ghia menjerit-jerit dan meminta pertolongan kepada malaikat. Tangannya menggapai-gapai, tapi malaikat tak kunjung datang. Sebelum pusaran awan hitam itu benar-benar melahapnya, samar-samar Ghia melihat bahwa malaikat telah hilang dan digantikan dengan bintang jatuh. Bintang, yang semula menjadi tempat ia duduk, itu jatuh dan masuk ke dalam pusaran awan hitam. Namun, sebelum Ghia menyadarinya, dia sudah lebih dulu lenyap dan mati di dalam bumi.

Ghia membuka kelopak matanya sebelum ia sempat menjerit. Dia menemukan baju tidurnya tertumpuk rapi bersama handuk, sikat gigi, dan sepasang sandal kelinci berbulu di bawah kaki tempat tidur. Ghia menyambar semua itu sebelum pergi ke kamar mandi. Setelahnya, ia bergegas menuju dapur. Di sana, Sirius sudah duduk di depan semua makanan yang masih mengepulkan uap panas. Dia sedang melamun dengan wajah ditopang kedua tangan.

Sirius terlonjak kaget saat Ghia menarik kursi hingga berderit, padahal Ghia sudah melakukannya dengan sangat pelan.

"Baguslah kamu udah bangun. Sekarang, makan yang banyak. Jangan sampai kamu sakit. Jangan khawatir soal stok baju, tadi aku udah ke rumahmu dan bilang pada Bibi Jilly kalau kamu butuh beberapa baju. Untuk malam ini, kamu menginap dulu aja. Besok pagi-pagi, aku akan mengantarmu ke sekolah. Atau kamu enggak mau sekolah dulu?" cerocos Sirius.

Ghia yang duduk di seberang Sirius pun menghela napas panjang. "Bibi Jilly bilang apa?"

"Dia enggak bilang apa-apa," jawab Sirius.

Ghia mengesah pelan. Dia merunduk dan mulai memakan makanannya tanpa banyak suara. Kalau ini dalam kondisi biasa, Ghia mungkin akan terlihat sangat tidak sopan karena makan lebih dulu daripada si pemilik rumah. Tapi sekarang, Ghia benar-benar lapar.

Sirius tengah mencuci tangan di wastafel ketika Ghia bertanya. "Makanannya sangat enak. Ibumu yang buatkan?"

"Bukan," jawab Sirius, tenang.

Akan tetapi, Ghia tak bisa mendengar suaranya dengan jelas hingga dia pun bertanya lagi. "Tapi kok aku enggak pernah melihat Ibumu ya. Ibumu ke mana?"

"Dia enggak ada." Sirius berbalik.

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang