O2. kedatangan ibu

340 38 17
                                    

"Di dalam mimpi, aku melihat ibuku dengan cinta dalam hidupnya dan tanpa anak. Itu adalah hal paling bahagia yang pernah aku lihat darinya."

(Rupi Kaur)

𓆰.

Ghia lupa kapan terakhir kali dia bertemu Ibu. Mungkin saat dia berusia sepuluh tahun? Ayah tidak pernah membicarakan soal Ibu lagi semenjak itu. Ghia juga tidak banyak bertanya soal ke mana Ibu pergi, apa yang Ibu lakukan di sana, atau apa Ibu merindukannya atau tidak. Ghia terlalu takut menanyakannya.

Ayah belum pulang dari kemarin. Ayah juga tidak menelpon ke rumah. Ghia selalu ingin menghubungi nomor Ayah, tapi selalu berakhir ia urungkan sebab Ghia tahu bahwa itu sia-sia. Ayah jarang mengangkat telepon dari rumah kecuali dia duluan yang menelponnya. Ghia berpikir mungkin Ayah sibuk bekerja. Bekerja untuk dirinya. Bekerja ... yang sebenarnya tidak Ghia tahu bekerja apa.

Ghia mengembalikan bingkai berisi foto pernikahan Ayah dan Ibu ke meja belajar yang menjadi satu-satunya tempat yang paling sering Ghia kunjungi. Dia tiba-tiba teringat kembali akan surat-surat itu dan bayangan anak lelaki di semak-semak. Selama dua belas tahun ia hidup, Ghia tidak pernah melihat ada anak lelaki di sekitar sini. Seluruh tetangga rumahnya, kebanyakan, adalah para jompo. Tidak ada anak kecil yang berusia hampir sama dengan Ghia. Lantas, siapa dia?

Ghia menghela napas. Tidak terlalu tertarik dengan bayangan anak lelaki itu, alih-alih tangannya meraih tumpukkan surat yang dia taruh di sebuah kotak berukuran sedang. Surat-surat itu banyak sekali. Tulisan tangan panjang tercetak di kertas-kertas warna-warni. Seringnya, isi di dalamnya menanyakan kabar Ghia, memberi Ghia semangat, menyalurkan afeksi dalam serangkaian kalimat.

Ghia meraih salah satu surat dan rasa penasaran dalam dirinya kembali mencuat. Sudah cukup lama surat-surat ini terus berdatangan dan Ghia masih belum tahu siapa si pengirim sebenarnya. Ghia rasa, tidak ada gunanya kalau Ghia mengirim surat balik yang berisi pertanyaan, "Siapa kamu?" Orang itu sudah pernah menjawabnya kan? Dia tidak akan pernah memberi tahunya.

Rasa penasarannya tidak akan hilang jika Ghia hanya terus menebak-nebak. Ghia harus melakukan sesuatu. Sesuatu yang bisa menguak identitas si pengirim surat. Setidaknya, Ghia harus tahu jenis kelamin si pengirim surat itu.

Ghia kembali memasukkan surat-surat itu ke dalam kotak ketika dia mendengar suara pintu yang terbuka. Senyuman Ghia mengembang seiring dia melompat dari kursi dan berlari menuruni tangga.

"Ayah! Ayah!"

Tapi yang ia dapat adalah figur seorang wanita dengan sepatu hak tinggi dan gaun merahnya yang berwarna seperti darah. Senyuman Ghia hilang sejenak. Dia berhenti, mematung di bawah tangga. Tak lama setelah kedatangan Ibu, sosok Ayah muncul.

Ayah tampak tercenung ketika melihat Ghia, bergantian dengan punggung Ibu yang membelakanginya.

Ghia mengerjap sejenak, lantas tersenyum lebar dan berlari sembari kedua merentangkan tangannya. "Ibuu!"

"Tolonglah, Zac, aku terlalu sibuk untuk berpelukan." Ibu memutar bola mata malas sembari menghela napas gusar. Dia melangkah melewati Ghia begitu saja yang membuat senyuman Ghia luntur seketika.

Ayah mengela napas letih. Dia menghampiri Ghia dan menepuk puncak kepalanya beberapa kali. "Masuklah ke kamarmu."

"Tapi aku mau memeluk Ibu ...." ujar Ghia, memelas.

"Lain kali saja, ya? Ibumu enggak akan pergi jauh, Ghia."

Ghia tahu Ayah berbohong. Dia selalu tahu dan selalu berpura-pura percaya.

"Aku akan belajar di kamar." Ghia menunduk dan berbalik memunggungi Ayah yang sempat menyunggingkan senyum kecil.

Baru tiga anak tangga yang Ghia pijaki, anak perempuan itu sudah berhenti dan merapatkan tubuhnya ke samping tembok. Dia melirik Ibu yang telah kembali, namun dengan dua koper berukuran besar di tangannya.

Ghia mendengarkan percakapan antara Ayah dan Ibu. Bagaimana Ayah berusaha untuk membujuk Ibu. Bagaimana Ayah menahan tangan Ibu dan mencegahnya agar tidak pergi, tapi Ibu sama sekali tidak mendengar. Ibu tidak pernah berusaha untuk mendengar keinginan Ghia dan Ayah. Ibu selalu mendengar keinginannya untuk pergi dari rumah ini dan mencari kebebasan di luar sana.

Ayah meyakinkan Ibu. Terus meyakinkannya dengan menyebut-nyebut nama Ghia sebanyak tiga kali, lima kali, sepuluh kali, sampai-sampai panggilan itu terasa sangat menyakitkan bagi pendengaran Ghia.

"Lepaskan aku!" Ibu menghentakkan tangan Ayah yang mencengkram pergelangannya.

"Aku bersumpah. Aku sama sekali tidak ingin terdengar jahat ... tapi aku benar-benar tidak sanggup memandang anakku sendiri── dia seolah-oleh bukan anakku," ucap Ibu dengan nada gusar.

"Anak itu terlalu aneh. Dia tidak bertingkah sewajarnya seorang anak berusia dua belas tahun. Dia bahkan tidak mirip kita berdua, Zac."

Ghia merasakan matanya mulai perih, seiring dengan pandangannya yang mengabur. Udara terasa lembap, berat, hampir-hampir padat.

"Umurku belum menginjak 35 tahun tapi aku merasa sudah jauh lebih tua. Waktuku terbuang percuma dan terjebak bersama bocah yang terlalu cepat dewasa──"

Sorot mata Ibu tak sengaja terarah padanya. Ghia buru-buru mengusak ekor matanya barangkali ada air di sana. Dia tersenyum. Entah kenapa dia malah tersenyum pada Ibu yang menatapnya seolah Ghia adalah orang asing, pada Ayah yang menatapnya iba seolah Ghia adalah anak kucing terlantar yang sakit-sakitan.

Ibu tidak menghampiri Ghia. Dia hanya menatap Ghia masih dengan posisi tegak nan anggun tanpa perubahan ekspresi pada wajahnya yang datar dan dingin.

"Dengar, kau akan tinggal di sini. Percayalah, aku bukan Ibu yang baik."

Setelah itu Ayah tidak meyakinkan Ibu lagi. Ayah tidak berusaha mencegah Ibu lagi dan membiarkan pintu depan tertutup kembali.

Ghia menghirup oksigen banyak-banyak dan mengembuskannya secara perlahan. Sorot matanya sempat menangkap ekspresi pasrah dan sendu dari Ayah, sebelum akhirnya Ghia berlari menaiki anak tangga dan mengunci diri di dalam kamar.

Si pengirim surat itu benar. Malam ini bintang-bintang bermunculan, tapi pandangan Ghia tidak cukup jelas untuk melihat para bintang itu.

Bintang-bintang itu ... kehilangan sang pengagumnya malam ini. Sedangkan bantal ... sedang diguyur hujan.

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang