16 - hidup itu ... adil?

106 23 0
                                    

"Tidak ada satu pun manusia hidup yang benar-benar ingin mati."

(Tennyson)

𓆰.

Bibi Jilly melakukan hal-hal aneh semenjak ia datang ke rumah. Dia menata seluruh benda yang ia lihat menjadi sejajar dan mengubah hampir seluruh isi rumah. Ghia pernah membaca buku di mana karakter di dalamnya memiliki sikap serupa dengan Bibi Jilly. Baiklah, Ghia tidak merasa terganggu ketika membacanya. Namun, melihat Bibi Jilly yang kerepotan sendiri diiringi suaranya yang melengking sukses membuat Ghia nyaris gila. Masalahnya adalah ... sikap Bibi Jilly terlalu berlebihan. Dia bahkan akan menjerit histeris saat matanya menangkap sebutir debu menempel di pakaian Ghia.

Bibi Jilly bahkan, Ghia rasa, akan menangis tersedu-sedu karena seisi rumah tidak bisa menjadi sempurna dan teratur seperti yang dia inginkan. Ini aneh. Ayah tentu tidak peduli dengan semua itu sama halnya dengan Ghia. Selagi dia bisa hidup aman, nyaman, dan kenyang, Ghia tak masalah dengan hal lainnya. Namun Bibi Jilly, dari sikapnya, Ghia rasa Bibi Jilly mempunyai cita-cita ingin mengubah bumi menjadi kotak alih-alih bulat agar dia bisa menata seluruh isi alam semesta menjadi bentuk yang sejajar seperti prajurit kala menyambut kedatangan sang Raja.

"Tidak! Jangan pakai yang itu! Kulitmu gelap dan kau memakai baju berwarna terang? Ew ... tidak cocok!" seru Bibi Jilly tadi pagi.

"Tapi ini pemberian Kakek," jawab Ghia.

"Siapa itu Kakek?"

"Temanku."

"Aku tak peduli! Pokoknya, ganti! Ganti jadi warna hitam! Itu akan seragam dengan warna kulitmu dan lebih enak dipandang!"

Ghia terpaksa mengganti sweternya dengan kardigan berwarna hitam sesuai dengan apa yang Bibi Jilly inginkan.

"Nah, ini baru sempurna, seperti yang aku bayangkan." Bibi Jilly mengusap pundak Ghia dengan senyuman lebar. "Pergilah, Sayang. Hati-hati di jalan!"

Ghia tidak tahu apa yang akan Bibi Jilly lakukan lagi siang ini, tapi yang pasti, Ghia harus membersihkan tubuhnya dari noda apa pun sebelum ia masuk rumah, karena kalau tidak ... bisa-bisa Bibi Jilly akan pingsan. Oke, itu agak terlalu berlebihan.

Ghia baru saja turun dari bus. Udara di Pulau yang Terasingkan mulai dingin. Langit menggelap, menjadi pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Ghia menghela napas. Hampir setiap hari hujan turun. Ghia harus segera bergegas. Akan tetapi ....

Hei, siapa itu yang tengah berdiri di atas tembok pembatas jembatan?!

Ghia berlari mendekati wanita itu yang tengah memunggunyinya.

"Nyonya, apa kau butuh bantuan?"

Ghia mengira wanita itu mengalami kesulitan dalam menuruni tembok pembatas jembatan, tapi wanita itu tak bergerak bahkan meskipun Ghia sudah memanggilnya berkali-kali. Dia bergeming dan terus menatap ke arah sungai di bawahnya, yang airnya tengah mengalir deras.

"Nyonya!" Ghia mulai cemas karena rintikan hujan mulai jatuh membentur tanah. "Nyonya! Sebentar lagi hujan akan turun dengan deras. Kau sebaiknya turun dan segera pulang ke rumah. Ayahku bilang jangan bermain di tempat yang berbahaya, nanti kau terluka."

"Hidup ini tidak adil, bukan?" Suara parau terdengar dari wanita di hadapan Ghia, rendah, berat, dan terdengar menyeramkan.

Ghia tersentak kecil. Ia tak mengerti.

Suara kekehan pelan terdengar. "Ah, kau masih kecil. Bagimu, dunia adalah taman bermain dengan bunga-bunga. Tentu saja, hidup terlampau adil."

Semuanya hening sampai bunyi guntur terdengar dan rintikan air turun semakin banyak. Ghia tidak tahu kenapa dia harus membasahi tubuhnya sendiri dan tas sekolahnya hanya untuk memandang punggung wanita itu yang basah. Ghia merasa, dia butuh mendengarkan ujaran orang di depannya ... atau wanita itu memang butuh didengarkan.

"Apa impianmu saat ini?" Punggung itu berbicara.

"Eh? Aku ... aku ingin menjadi seorang astronom, menjadi anak yang lebih baik buat Ayah ... dan Ibu, menjadi sempurna," jawab Ghia.

"Keren." Ghia dengar suara itu gemetar. "Dulu aku pun punya banyak impian. Dan kukira, semuanya akan beres ketika aku dewasa ...."

Ghia bergeming. Ratusan tetes air jatuh di puncak kepalanya.

"Tapi, rupanya tidak semudah itu ... dan rasanya, aku ingin menata ulang hidupku. Apakah mencurangi kematian adalah satu-satunya cara untuk terlahir kembali?"

Mencurangi kematian, Ghia pernah membaca kalimat itu di sebuah buku.

"Tapi kematian enggak semudah itu untuk Nyonya curangi, mau sekeras apa pun Nyonya berusaha."

Hujan turun makin deras, mengguyur segala hal di bawahnya. Ghia mendongak menatap rambut wanita itu yang basah kuyup dan membayangkan seolah dia tengah menatap wajah sang Nyonya.

"Maaf kalau omonganku enggak masuk akal dan terkesan sok tau untuk dibicarakan oleh anak kecil berumur dua belas tahun, tapi kurasa ... kenapa Nyonya harus terlahir kembali hanya untuk menata ulang hidup, kalau Nyonya bisa memperbaiki hidup Nyonya mulai dari sekarang? Mulai dari menit ini, detik ini."

Punggung itu bergetar dan Ghia mulai kelabakan. Apa dia mengatakan sesuatu yang salah?

"Jangan salah paham, Nyonya, aku hanya ... aku──"

"Mungkin bukan sekarang." Nyonya itu berbalik badan. Sontak, Ghia refleks mengulurukan kedua tangannya dengan harapan bisa menangkap tubuh Nyonya yang jelas-jelas jauh lebih besar daripada tubuh Ghia. Wanita itu menerbitkan senyum tipis yang terlampau samar sampai Ghia hampir tak bisa melihatnya. Dia melompat turun dari tembok pembatas jembatan. Saat itu Ghia bisa melihat wajahnya.

Ghia rasa Nyonya ini seumuran Ibunya, mungkin lebih tua beberapa tahun. Wajahnya tampak sendu dengan sepasang manik mata warna biru yang terlihat seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari. Penampilan Nyonya di depannya tampak kacau.

"Aku nyaris kehilangan akal, hari ini," ujarnya sembari mengusap anak rambutnya ke belakang telinga. "Syukurlah kau datang tepat waktu."

Ghia tersenyum kecil. Kelopak matanya berkedip-kedip untuk mengalirkan air hujan yang menggenang di bulu mata.

"Jadi, siapa namamu?"

"Ghia."

"Tinggal di dekat sini?"

Ghia mengangguk. "Ya. Rumahku yang bergaya victoria."

"Ah, rumah itu."

"Aku tinggal di menaranya," sambung Ghia.

Wanita itu terkekeh. "Seperti Rapunzel?"

"Enggak. Aku enggak dikurung, kok," cengir Ghia yang langsung mengundang cengiran serupa dari nyonya di depannya.

"Maaf sudah membuatmu basah kuyup. Mari, biar aku antar pulang."

Wanita itu mengulurkan sebelah tangannya yang langsung disambut oleh Ghia. Karena tidak satu pun dari mereka yang punya payung, Ghia dan sang Nyonya berjalan menerobos hujan seolah mereka tak mengenal apa itu kebasahan.

Ghia memandang wanita di sebelahnya sebelum beralih ke arah jalanan aspal yang ia pijaki. Kening Ghia berkerut, sibuk mempertanyakan sesuatu.

Suara guntur menggelegar membelah langit di atas kepala Ghia, tetapi Ghia bisa mendengar suara jeritan di kepalanya yang membuat Ghia mendongak dan bertanya;

"Nyonya, memangnya siapa yang bilang kalau hidup itu adil?"

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang