29 - perfeksionis itu ....

77 7 0
                                    

Saya belum pernah menjumpai seorang perfeksionis yang hidup tenteram.

(Richald Carlson)

𓆰.

Sirius datang membawa kue sifon lemon. Itu membuat Bibi Jilly senang karena, katanya, dia sudah lama sekali tidak memakan kue sifon. Apalagi yang tebalnya seperti kue yang Sirius bawa.

"Aku membelinya tadi pagi, tapi aku enggak akan kuat memakannya sendirian. Jadi aku bawa ke mari, untuk kita makan bersama-sama." Begitulah kata Sirius.

Bibi Jilly berbicara dengan mulut penuh kue. "Memangnya keluargamu ke mana? Ibu dan Ayahmu enggak di rumah?"

Ghia mengunyah kuenya pelan-pelan, diam-diam menunggu jawaban dari Sirius. Ini aneh, dari awal Ghia kenal Sirius, dia tidak pernah melihat ibu anak itu. Ghia berani sumpah kalau kulkas di rumah Sirius isinya kosong, tapi anehnya anak itu selalu punya makanan untuk dihidangkan di meja makan. Seperti saat Ghia menginap di rumahnya beberapa waktu lalu.

Sirius tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis yang bisa Ghia artikan kalau Sirius tidak mau membicarakan keluarganya.

"Oh Ya Tuhan! Ghia, makanlah dengan rapi! Jangan sampai remahan kuemu itu mengotori meja!" Lamunan Ghia buyar waktu seruan Bibi Jilly terdengar. Ternyata, tanpa sadar Ghia menjatuhkan remahan kue dari mulutnya. Bibi Jilly sigap memunguti itu dengan tangannya, membawanya ke tempat sampah, lalu beralih ke wastafel untuk mencuci tangan.

Ghia meringis. "Maaf, Bibi!"

"Bibimu suka sekali dengan kebersihan ya?" kekeh Sirius.

Ghia berbisik. "Sebenarnya, dia mencintai kesempurnaan."

Sirius hanya beroh-ria bertepatan dengan kedatangan Bibi Jilly yang kembali duduk di sebrang Ghia dan Sirius. Sayangnya, kedua anak itu tidak bisa makan tanpa meninggalkan jejak-jejak serpihan kue, sedangkan Bibi Jilly tidak akan pernah bisa makan kalau melihat meja di depannya kotor. Alhasil, selama tiga puluh menit mereka duduk di meja, Bibi Jilly terus mondar-mandor membersihkan remahan kue, mengoceh, membuang remahan itu ke tempat sampah, lalu mencuci tangannya kembali. Bibi Jilly sampai berkeringat dan dibuat kelelahan karenanya.

"Maafkan kami," kata Sirius. "Tapi kau enggak seharusnya mondar-mandir untuk membersihkan remahan-remahan kue dari kami. Aku dan Ghia sengaja membiarkannya karena kami akan membersihkannya setelah makan."

"Mana bisa!" seru Bibi Jilly. Dia marah. "Aku tidak tahan melihatnya!"

Sirius dan Ghia berhenti makan. Ghia memungut potongan kue yang sangat kecil di depan mejanya, dan buru-buru menjatuhkannya ke lantai.

"JANGAN MENGOTORI LANTAI!" Bibi Jilly histeris.

Ghia berjengit. "Itu serpihan kecil yang bahkan enggak bisa terlihat oleh mata ...."

"Itu kan matamu! Tapi kalau mataku tidak. Aku bisa melihat objek sekecil apa pun," kata Bibi Jilly. Dia lantas berjalan menghampiri Ghia dan merunduk untuk mengambil serpihan kecil yang tadi Ghia jatuhnya. Ghia spontan bangkit dari kursi dengan ekspresi bersalah.

"Aku akan membuangnya." Bibi Jilly bangkit. Jari telunjuk dan ibu jarinya menjepit serpihan kue Ghia dan menjatuhkan itu ke dalam tempat sampah.

Sirius melongo dibuatnya. Pandangannya kemudian beralih pada kue sifon di atas meja. Bibi Jilly bahkan belum memakan satu perempatnya ....

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

Menjelang sore hari, Ghia mengajak Sirius ke kamarnya yang terletak di menara. Dia menunjukkan Sirius buku-bukunya yang tersimpan rapi di rak yang memenuhi sebagian sisi tembok.

"Buku ini aku dapat dari Kakek," kata Ghia sembari menggenggam buku karyanya Jules Verne.

Sirius terkesima. "Kamu suka baca ya?"

"Banget!" Ghia memeluk buku itu dengan senyuman sampai matanya terpejam. "Dulunya aku enggak suka baca, tapi semenjak Ayah selalu kasih aku hadiah buku karena uang Ayah enggak cukup buat beli hadiah lain, aku jadi suka baca. Bahkan sampai aku engga jajan demi bisa beli buku."

Sirius mengangguk. "Kata orang, kita bisa membaca buat melarikan diri, atau untuk menemukan diri sendiri."

"Ya, aku menemukan diriku sendiri setelah aku suka membaca," kata Ghia.

Sirius terkekeh kecil. Dia berjalan ke arah jendela, membukanya, dan melongokkan kepalanya ke luar. Sorot matanya menyapu ke arah jalanan yang kosong, pucuk pohon yang bergerak karena kesiur angin, dan bunyi debur ombak dari kejauhan sana.

Dia berbalik lagi dan tanpa sengaja melihat ke arah cermin yang menempel di dinding. Kening Sirius berkerut. Dia mendekati cermin itu dan mengusap retakannya.

"Ghia, cermin ini udah rusak," katanya tanpa menoleh pada Ghia.

Di detik itu juga ada suara buku jatuh disusul kehadiran Ghia menepis pelan tangan Sirius dari cerminnya yang retak.

Ghia menyengir. "Iya ... sebenarnya udah lama retak. Ayah belum sempat menggantinya."

Sirius mengernyit sekejap. "Mau aku gantiin enggak?"

Ghia menggeleng cepat. "Enggak usah! Enggak usah! Kamu enggak bakal bisa, soalnya cerminnya kaya udah menyatu sama tembok."

"Aku bisa kok," balas Sirius. "Aku perbaiki ya?'

"Enggak, Sirius. Aku enggak mau bikin kamu repot," tolak Ghia. "Tunggu Ayah pulang aja."

Ghia beralih ke belakang punggung Sirius dan mendorongnya pelan, menyuruh dengan halus supaya Sirius berjalan ke luar dari kamar.

"Beneran?" tanya Sirius sembari menoleh pada Ghia di belakang punggungnya. "Tapi cermin itu udah enggak layak pakai."

"Beneran. Lagipula, kalau retak-retak juga enggak apa-apa. Aku, kan, jarang bercermin," ucap Ghia. Dia menyunggingkan kekehan yang justru terdengar seperti dipaksakan. Ghia menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan berjalan mendahului Sirius.

"Ayo kita ke pelabuhan!" ucapnya, riang.

Di belakangnya, Sirius mengernyitkan kening aneh. Dia sempat melirik pintu kamar Ghia sebelum menyusul anak perempuan itu menuruni tangga.

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang