31 - melihat hujan meteor

115 13 6
                                    

"Aku butuh Ayah, aku butuh Ibu, aku butuh orang-orang yang lebih tua; orang yang cukup bijaksana untuk melihat tangisanku. Aku berbicara dengan Tuhan, tapi langit kosong."

(Sylvia Plath)

𓆰.

Seolah beban di hati Ghia baru saja dihisap oleh malaikat, Ghia tampil lebih ceria saat memasuki gerbang sekolah. Dia tidak lagi menunduk waktu melewati lorong kursinya, juga tak lagi cemberut waktu teman-teman sekelasnya mengejek fisik Ghia. Omongan Sirius tentang diri Ghia yang seperti rangkuman tata surya membuat kepercayaan diri Ghia melambung tinggi. Tak masalah meskipun teman-temannya masih berucap ketus dan menghina Ghia. Toh, omongan mereka akan masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan Ghia.

Sekolah jadi tidak suram lagi. Apalagi saat Ghia tau bahwa dia satu sekolah dengan Jay. Bagaimana Ghia tau? Saat jam istirahat, Ghia bertemu Jay di kantin. Anak lelaki itu sendirian. Dia makan rotinya dengan fokus sampai-sampai Jay tidak mendengar sapaan Ghia yang berteriak dari jauh. Atau mungkin, memang Jay saja yang tidak ingin melihat Ghia?

Bis antar jemput menurunkan Ghia pada pukul satu siang. Ghia melambaikan tangan ke arah supir bus itu sebelum dia benar-benar berbalik dan berlarian dengan riang menuju rumah.

Ghia tersenyum lebar kala dia melewati rumah Kakek, berlagak seolah Kakek duduk di beranda rumah dan tersenyum lebar ke arahnya. Mendadak, Ghia berhenti di depan rumah besar milik keluarga Druyan. Matanya tanpa sengaja melihat seorang pria tua yang tengah berjalan tergopoh-gopoh menuju kursi di lantai atas rumah. Itu pasti Tuan Druyan.

Ghia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena Tuan Druyan memakai topi baret. Dia tampak sibuk membaca sesuatu. Mungkin koran, tapi isinya yang penuh gambar tidak tampak seperti koran, melainkan peta.

Ghia terkesiap saat ia lihat Tuan Druyan mendongak ke arahnya. Dia buru-buru kabur sebelum Tuan Druyan memergokinya dan berasumsi kalau Ghia adalah seorang stalker.

"Hei, akhirnya kamu pulang."

Ghia menghentikan langkah sewaktu Sirius turun dari sepedanya.

Anak lelaki itu mendekati Ghia. "Kamu ingat malam ini malam apa?"

Ghia mengernyit. "Malam ... Sabtu?"

"Bukan, Ghia." Sirius sedikit geram. "Malam ini bakal ada hujan meteor."

Mata Ghia membulat. "Ap-apa?! Hujan meteor? Itu berarti dunia kiamat?"

"Ck, bukan juga. Kamu harus lihat itu karena ini momen langka."

Ghia tidak tau harus merespon apa karena dia sendiri pun tidak pernah melihat fenomena hujan meteor. Terakhir kali dia melihat fenomena langka, itu sudah sangat lama sekali dan hanya fenomena sekawanan burung yang berterbangan membentuk formasi yang sangat indah.

"Nanti kita lihat di rumahku, soalnya aku punya teropong," kata Sirius.

"Serius bisa dilihat?" Ghia mengernyit. "Memangnya enggak bahaya?"

Sirius terkekeh gemas. Hal itu terlihat dari tindakan refleksnya yang langsung mencubit kecil hidung Ghia. "Ya enggak dong. Kalau bahaya pun kan setidaknya ada aku."

"Ya udah. Aku mau," balas Ghia. "Tapi sebelum itu aku mau tidur dulu ya. Dah—"

"Eh, sebentar." Sirius mencegah Ghia yang hendak berjalan. "Tunggu dulu. Aku punya sesuatu untukmu."

Sebelum Ghia membuka mulut dan bertanya. Sirius sudah lebih dulu berbalik menuju sepedanya. Ghia mengernyit memperhatikan Sirius yang tampak tengah mengambil sebuah bendah pipih yang terikat di jok sepedanya.

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang