22 - rindu dan cermin

134 19 3
                                    

"Kata-kata itu penting. Kata-kata dapat menyakiti."

(Matt Haig)

𓆰.

Hujan turun pada waktu dini hari, deras disertai dentuman guntur yang seolah bisa mengguncangkan seisi dunia. Sampai pagi tiba, langit masih belum menunjukkan tanda-tanda akan munculnya matahari. Sekarang di luar sana dipenuhi air, embusan angin, dan udara dingin yang menusuk kulit. Ghia turun dari kamarnya menggunakan sweter pemberian Kakek waktu teriakan Bibi Jilly terdengar; menyuruhnya sarapan.

Kala Ghia melangkah menuju meja makan, dilihatnya Bibi Jilly sudah duduk tegak dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Wajah Bibi Jilly tampak sebal sewaktu Ghia menarik kursi dan duduk.

"Selamat pagi, Bibi Jilly." Ghia mengusahakan seulas senyum.

Namun, Bibi Jilly malah membalas ketus, "Makanlah!"

Ghia mengatupkan bibir sesaat dan mulai makan dengan tenang begitupun Bibi Jilly.

Ruang makan itu hening sesaat sampai suara Ghia terdengar, meredam suara dentingan sendok yang menubruk piring.

"Bibi, apa Bibi tau kapan Ayah akan pulang?"

Bibi Jilly mendongak. "Aku tidak tau!"

"Ayah enggak ngasih tau Bibi, ya?"

"Menurutmu apa dia akan sempat memberitahuku atau menanyakan kabarku disaat dia sedang jadi buronan polisi?" tanya Bibi Jilly, ketus.

Ghia mengernyit. "Apa itu buronan?"

"Sudahlah! Kau tidak akan mengerti."

Ghia menunduk, menatap makanannya yang tinggal tersisa setengah. "Lalu bagaimana dengan Ibu?"

"Menurutmu Ibumu akan kembali hanya demi anak sepertimu?"

Ghia tercekat. Dia tidak benar-benar mengerti sebenarnya apa kesalahan yang telah ia perbuat hingga membuat Ayah dan Ibu pergi meninggalkannya. Tapi, Ghia curiga, kedua orang tuanya pergi karena Ghia jelek dan aneh.

"Tapi ... apa Ibu enggak pernah menelpon?" tanya Ghia.

"Pernah."

Sepasang mata Ghia berbinar dengan senyuman lebar. "Benarkah? Gimana kabar Ibu? Ibu baik-baik aja kan? Lalu apa dia bertanya tentangku?"

"Tidak," balas Bibi Jilly, singkat dan penuh penekanan.

Senyuman Ghia luntur saat itu juga. Dia mengambil sendoknya lagi, tapi tidak untuk menyuap nasi, melainkan untuk dia putar-putar pada makanannya.

Helaan napas panjang keluar dari bibir anak itu. Mendadak, tubuhnya mengeluarkan asap kelabu tanda kesedihan.

"Sejujurnya, Bibi Jilly, aku sangat merindukan mereka," ujar Ghia. "... Ibu dan Ayah."

Bibi Jilly mengesah. "Yah, tapi menurutku, mereka tidak merindukanmu."

Ghia mendongak sedih. "Benarkah? Apa mereka berdua benar-benar bilang begitu?"

"Aku bisa melihat dari cara mereka memperlakukanmu."

"Tapi Ayah sangat menyayangiku. Dia mengantarku ke sekolah dan membelikanku es krim. Walaupun jarang, sih," ucap Ghia.

"Oh ayolah, berpikirlah realistis. Aku tak mau membuatmu berharap lebih bahkan pada orang tuamu sendiri. Aku kenal mereka berdua," balas Bibi Jilly. "Ibumu mencintai kebebasan. Ayahmu gila uang."

"Tapi mereka bukan orang jahat ...." lirih Ghia.

"Aku tidak bilang kalau mereka jahat. Aku hanya berusaha bilang bahwa mereka sial." Bibi Jilly menekankan kata 'sial'.

"Sial kenapa?" tanya Ghia.

"Kudengar Ibumu pergi meninggalkanmu karena kau aneh dan terlalu dewasa, ya? Sebagai anak yang terlalu cepat dewasa, seharusnya kau mengerti maksud ucapanku." Setelah mengatakan itu, Bibi Jilly bangkit dari kursinya dan pergi.

* * *

"Cangkir." Ghia berlari ke arah meja dan mengangkat cangkir.

"Celana." Sirius menyentuh celananya.

"Emm, cincin." Ghia menunjukkan cincin di jari manisnya.

"Cangkul."

Ghia menggeleng. "Enggak boleh. Di rumahmu kan enggak ada cangkul."

"Baiklah." Pandangan Sirius mengedar ke sekeliling, tampak mencari-cari benda yang berawalan dari huruf C. Ia harus segera menemukannya, karena kalau tidak, bisa-bisa ia akan kalah untuk yang kelima kalinya.

Ghia menyeringai sembari melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh menit. Dia kembali pada Sirius yang masih berdiri dengan kening berkerut dalam.

"Enggak ada lagi, kan? Kalau begitu, aku yang menang, ya?"

"Tunggu dulu," sergah Sirius. "Ada satu lagi."

"Tapi──" Sebelum Ghia menyelesaikan kalimatnya, Sirius sudah keburu berlari pergi.

Ghia berdecak. Ia bersandar di samping laci sambil menunggu kedatangan Sirius. Rumah ini tampak sepi, seolah Sirius hanya tinggal sendiri. Sejak pertama kali bertemu, Ghia tidak pernah melihat orang lain bersama Sirius, entah itu ayah dan ibunya, atau kerabatnya. Sirius selalu sendirian. Bukankah itu sedikit aneh?

Beberapa saat kemudian, anak lelaki dengan sepasang mata indahnya itu kembali dengan benda berukuran persegi panjang yang terbuat dari kayu.

"Itu bingkai foto, Sirius," kekeh Ghia. "Bingkai foto enggak berawalan dari huruf C."

"Bukan kok," desak Sirius buru-buru. Dia lalu membalikkan kayu itu yang secara otomatis langsung menampakkan refleksi wajah Ghia. Sirius tersenyum. "Ini cermin."

Ghia tersentak melihat pantulan wajahnya sendiri. Refleks, ia memalingkan wajah.

Sirius berjalan mendekat sembari menggenggam cermin itu di dadanya. "Ayo lanjut. Giliranmu."

Ghia enggan menatap Sirius. Ia terus memfokuskan pandangannya pada pintu rumah di sebelah kanan.

"Enggak ada, nih?" cengir Sirius. "Berarti aku yang menang ya."

Wajah Ghia mulai memerah mengingat pantulan dirinya sendiri di cermin. Pantulan itu terlihat sangat menyeramkan, hitam dan jelek. Terkadang Ghia berpikir, pantas saja bila orang-orang membencinya. Ghia terlihat seperti monster.

"Ghia?" Sirius memiringkan kepala. "Kamu nggak apa-apa, kan?"

Ghia buru-buru mengusap ekor matanya yang basah sebelum Sirius menyadarinya.

"Jadi, aku yang menang ya?" ujar Sirius.

"Ya! Ya! Kamu yang menang. Kalau gitu aku mau pulang." Ghia mau berbalik, tapi sudah lebih dulu dicegah Sirius.

"Eh? Kok marah? Kalau kamu mau, aku bisa kok bisikin satu benda lagi yang berawalan dari huruf C," ucap Sirius. Ghia tidak menjawab, tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Dia bahkan tidak mau menatap sepasang manik mata milik Sirius. Entah kenapa rasanya rumah ini berubah menjadi panas. Ada gelenyar aneh yang bersemayam di hati Ghia hingga rasanya ia ingin mencaci maki dirinya sendiri.

"Lihat aku dong." Sirius menarik tangan Ghia, berusaha membuat Ghia menoleh padanya. Namun, Ghia tetap kukuh pada pendiriannya untuk tidak menatap Sirius.

"Kamu marah karena aku menang, ya?" tanya anak lelaki itu. "Kalau gitu aku yang ngalah deh. Anggap aja aku enggak nemuin cermin ini dan kamu yang menang."

Kerongkongan Ghia terasa sakit. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia berusaha untuk tidak menunjukkan itu. Sementara Sirius terus mengajaknya berbicara sembari memiringkan kepala berusaha mencari-cari manik mata Ghia. Ghia terus-terusan menghindar dan akhirnya dia menyerah.

"Aku enggak mau main lagi, Sirius. Aku mau pulang!" Ghia menatap wajah Sirius yang memburam, lalu anak perempuan itu berlari pergi meninggalkan Sirius yang kini terdiam mematung dengan cermin yang masih berada di dadanya.

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang