12 - kakek yang baik

118 25 8
                                    

"Pejamkan matamu dan tahan napas. Semuanya akan berubah menjadi sangat indah."

(Steven Spielberg)

𓆰.

Pulau yang Terasingkan mendadak berubah selayak taman surga. Pohon-pohon besar yang sebelumnya dianggap keramat sekarang berubah menjadi tempat bermain para peri cantik. Sungai yang sebelumnya tampak menyeramkan karena airnya mengalir begitu deras sehingga bisa melahap siapa pun yang berdiri di pinggirnya sekarang terlihat berkilauan dengan air beraroma madu. Bunga-bunga pansy,  rumah-rumah, bahkan kesunyian, jadi tampak menarik berkali-kali lipat. Setidaknya, itulah yang Ghia lihat dari pandangannya.

Mengenal Kakek adalah anugerah. Ghia tidak pernah merasa kesepian terasa sangat membosankan sebelum ia bertemu dengan Kakek. Kakek memberikan Ghia segalanya selama beberapa hari terakhir. Ghia boleh makan dan bermain di tempat Kakek. Terkadang, Ghia membantu Kakek merawat tanamannya, memangkas ranting-ranting pohon, memetik bunga mawar untuk dijadikan selai. Kakek juga memiliki banyak sekali buku. Buku-buku itu tampak tua dan antik yang langsung membuat mata Ghia berbinar dibuatnya.

Suatu hari Ghia bertanya, "Apa aku boleh meminjam yang ini?"

Kakek terkekeh. "Boleh saja. Itu karangan penulis favoritku."

"Kalau yang ini?"

"Ambillah."

"Apa aku juga boleh meminjam yang ini?" Ghia memicingkan mata. "Journey to the Center of the Earth."

Kakek terkekeh lagi. "Mulai sekarang buku-buku itu milikmu."

Ghia sangat ingat, hari itu dia melompat-lompat kegirangan dan spontan memeluk Kakek dengan erat. Saking eratnya, sampai membuat Kakek terbatuk-batuk dan mengeluh bahwa tulang-tulang rusuknya akan segera hancur di dalam pelukan Ghia. Ghia tertawa dengan mata berkaca-kaca, lalu ia dan Kakek membaca bersama di beranda rumah.

Baru Ghia tahu bahwa Kakek juga bisa merajut. Dia tak segan-segan untuk mengajarkan Ghia teknik-teknik merajut hingga Ghia bisa membuat sapu tangan berukuran 15 x 15 cm.

"Nah, bagus. Kau harus memutuskan benangnya di titik ini," ujar Kakek sembari terus memicingkan mata pada sehelai kain di tangan Ghia.

"Aku akan membuat nama Kakek di bawah sini." Ghia tersenyum lebar.

"Benarkah?"

"Ya! Sapu tangan ini untukmu!" Ghia meringis. "Walaupun enggak terlalu bagus untuk disebut sebagai sapu tangan."

"Apa yang sedang kau bicarakan, Anak Manis? Sapu tangan buatanmu sangat bagus. Begitu bagus sehingga aku ingin mengantunginya setiap detik."

Ghia terkekeh kecil.

"Baiklah. Siapa namamu?"

Mendadak Kakek terbatuk-batuk. "Namaku ... uhuk! Uhuk! Na── uhuk!"

Kakek terus terbatuk-batuk dengan tangan berada di depan mulut. Ghia yang merasa cemas pun buru-buru berlari ke dapur dan kembali dengan segelas air.

"Terima kasih── uhuk!"

Ghia memperhatikan Kakek mulai menenggak air dalam gelas dan perlahan-lahan mengembuskan napas lega sebab batuknya berangsur mereda.

"Namaku Jules Gabriel."

Ghia mengangguk-angguk. Dia bilang bahwa dia akan lanjut merajut di rumahnya. Sementara itu, Kakek meneruskan pekerjaannya yang tadi belum sempat terselesaikan. Ghia menebak Kakek tengah merajut sebuah sweter. Sweter berwarna putih linen yang sangat cantik.

"Itu untuk siapa?" Ghia spontan bertanya.

Kakek mendongak dan menyunggingkan senyum. Dalam sekejap, gigi-giginya yang telah tanggal pun tampak. "Untuk cucuku."

"Wah! Dia sangat beruntung. Sweter rajutanmu sangat bagus!" puji Ghia.

Kakek terkekeh-kekeh. "Aku yang beruntung memilikinya."

Langit mulai kehilangan cahayanya. Awan berarak menutupi sang mentari. Burung-burung bergegas terbang menuju sarangnya dengan membentuk huruf V, tetapi Ghia masih ingin terus bersama Kakek. Menyenangkan rasanya membantu Kakek di kebun; memetik sayuran, buah, juga mengambil telur di kandang ayam. Setelah itu Ghia akan mencuci semuanya dan menaruhnya di meja makan.

"Aku yang akan memasak, kau lihat saja," kata Kakek sembari memotong-motong sayuran. Ghia memperhatikan dengan lekat.

"Aku dulunya chef," celetuk Kakek.

Pupil mata Ghia membesar. Sebuah senyuman seketika terbit. "Benarkah?"

"Tidak."

Senyuman itu mendadak sirna.

Kakek menyengir. "Setidaknya masakanku tidak membuat para kucing lari terbirit-birit."

Baiklah. Masakan Kakek memang tidak terlalu buruk. Ghia melahap telur mata sapi buatan Kakek tanpa menyisakan noda sedikit pun di piring. Salad yang Kakek buat juga rasanya sangat pas; tidak terlalu hambar, tapi juga tidak terlalu masam. Kakek, bisa dibilang, memang betul-betul seorang chef. Ghia suka masakannya. Itu mengingatkan Ghia pada Ayah.

Ah ya, Ayah. Entah sudah berapa lama Ayah telah pergi. Ghia sudah tidak lagi menghitung hari.

"Nah, sekarang aku akan memasaknya."

"Aku mau lihat." Ghia melompat turun dari kursi dan bergegas berdiri di samping Kakek, tak jauh dari kompor.

Malam itu Ghia makan di rumah Kakek. Dia juga mendapat makanan tambahan untuk ia bawa pulang. Tentunya, Kakek tidak membiarkan Ghia pulang sendirian waktu gelap begini. Kakek mengantar Ghia menuju rumahnya, tak lupa menggenggam tangan mungil Ghia menggunakan tangannya yang telah keriput. Ketika melewati rumah keluarga Druyan, Ghia mengerutkan kening.

"Seperti apa rupa Tuan dan Nyonya Druyan?" tanya Ghia pada Kakek.

"Entahlah. Sudah lama sekali aku tidak melihat mereka."

"Tapi Kakek tetangganya. Tak pernahkah mereka ke luar rumah?"

"Dunia mereka ada di dalam rumah, Anak Manis. Gerbang itu adalah pembatas antara dunia mereka dan dunia luar."

Ghia tidak mengerti.

"Kurasa mereka tidak terlalu tertarik untuk melihat dunia luar," lanjut Kakek.

Ghia ingin bertanya lagi, tapi Kakek sudah lebih dulu menginterupsi.

"Ayo, berjalan lebih cepat. Esok hari kau sekolah kan?"

Ghia mengangguk, namun matanya masih tak luput dari rumah besar milik Tuan dan Nyonya Druyan sekalipun rumah itu sudah tertinggal jauh di belakang.

"Kau harus cepat-cepat beristirahat," ujar Kakek dengan suaranya yang parau.

Ghia mengangguk-angguk. "Kakek juga."

Ketika mereka sudah sampai di depan rumah Ghia, Kakek melambaikan tangannya dengan cengiran polos yang terkesan naif. Ghia sangat sedih harus berpisah dengan Kakek. Dia bahkan nyaris ingin berlari dan memeluk Kakek sembari merengek agar Kakek menginap di rumahnya. Akan tetapi, Kakek tidak bisa melakukan itu. Kakek bilang dia punya pekerjaan penting dan Ghia tidak bisa memaksanya.

Kakek berbalik pergi dengan langkah tergopoh-gopoh. Tubuh ringkihnya segera tertelan oleh kegelapan setelah melewati lampu jalan. Ghia masih berdiri di depan pintu rumahnya. Meratapi bayangan Kakek yang telah menghilang. Dia mendongak ke atas dan baru tersadar ....

"Ah ya, bintang. Aku belum pernah mengenalkanmu pada Kakek."

Ghia menghela napas panjang dan tersenyum simpul. "Percayalah, Kakek benar-benar orang yang baik."

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang