19 - penyesalan dan iblis

117 24 3
                                    

"Tidak ada standar normal. Normal itu subjektif."

(Matt Haig)

𓆰.

Jadi begini singkatnya, Emmy berasal dari sebuah kota kecil di Jerman. Saat masih kecil, Emmy begitu terobsesi pada kegiatan berenang sampai hampir setiap hari ia habiskan untuk berkecimpung di kolam renang. Ketika ia beranjak dewasa, Emmy mulai mengikuti olimpiade-olimpiade yang selalu membawanya kepada kemenangan. Adalah sifat alami manusia dalam memiliki rasa iri dengki, hal itulah yang membuat Emmy cedera pada suatu hari. Temannya sendiri mencuranginya dengan mendorong Emmy dengan keras hingga lutut Emmy terluka dan ligamennya robek. Emmy didiagnosa tisak bisa berenang dengan baik lagi. Semua kemenangan, ketenaran, dan kebebasan yang ia dapat, terpaksa harus direnggut seiring Emmy pindah ke Pulau yang Terasingkan.

"Bukan itu yang membuatku begitu sedih."

Ghia mendongak dan spontan saling bertatapan dengan Si Tanpa Nama. Sore itu Ghia dan Si Tanpa Nama berkunjung lagi ke rumah Emmy, duduk di ruang tamu, mendengarkan cerita hidup Emmy yang berhasil membuat sepasang netra Ghia berkaca-kaca.

Emmy berdiri di depannya sembari berkacak pinggang dengan wajah semerah kepiting rebus. Ada air yang menggenang di pelupuk matanya. "Aku mulai mengikuti olimpiade renang pada umurku yang ke dua puluh. Sesuatu yang terlambat untuk memulai."

"Aku bisa sampai di sini, karena sebelum itu aku mengambil keputusan yang salah. Aku mengorbankan sesuatu yang teramat berharga demi bisa ikut olimpiade. Dan sekarang aku menyadarinya bahwa aku benar-benar bodoh."

"Keputusan apa?" Ghia bertanya.

Sekarang Emmy kelihatan kebingungan. Dia berbalik dan mendongakkan kepalanya ke atas. Kala Emmy berbalik menghadap Ghia lagi, Ghia bisa merasakan pasti napas wanita itu tersekat.

"Aku punya sahabat laki-laki. Namanya Will. Kami sudah berteman sejak aku berusia lima belas tahun. Dan ya, ya, dia sangat baik dan tampan. Suatu hari, dia mengajakku menikah."

Mata Ghia melebar. Dia menepuk paha Si Tanpa Nama. Cerita ini akan menjadi serius.

"Tapi aku menolaknya."

"K-kenapa?"

Saat itu juga air mata Emmy jatuh. "Karena aku ingin kebebasan dan aku ingin mengejar impianku. Aku tidak pernah membayangkan diriku menjadi seorang istri dan ibu. Jadi aku menolaknya. Tentu itu sangat menyakitinya dan tentunya menyakiti kedua orangtuaku karena mereka pun berharap agar aku bisa menikah dengan Will.

"Will sempat bilang bahwa dia akan mengubah dirinya menjadi apa yang kumau, lalu aku menjawab bahwa itu tidak perlu. Kau akan mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku ...."

Ghia tersentak melihat Emmy jatuh meluruh dan menangis sembari menutup mukanya dengan sepasang telapak tangan. " ... lalu dia pergi. Sahabatku Will pergi dan tidak kembali lagi."

Ghia beringsut mendekati Emmy hanya untuk mengusap pundak wanita itu yang gemetar hebat. Ghia mengerti Emmy banyak mengalami hal-hal buruk, tapi Ghia rasa yang satu itu adalah hal yang paling menyakitinya.

Emmy tiba-tiba beranjak berdiri. Dia menatap Ghia dan Si Tanpa Nama dengan sepasang mata berkaca-kaca.

"Kalian tau, aku membenci anggapan bahwa wanita selalu bergantung pada pria, bahwa wanita harus menikah seolah itu adalah kewajiban, bahwa hidup wanita hanya tentang percintaan dan isak tangis. Aku membenci stereotip yang selama ini bersemayam di pikiran manusia. Tapi, ketika aku melihat wanita seumuranku sudah menikah dan bahagia bersama suami dan anaknya, aku merasa sangat kesepian. Begitu kesepian sampai rasanya aku ingin menyesali kata-kataku."

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang