2O - memilih merelakan

104 20 0
                                    

"Tiada nestapa yang lebih dahsyat ketimbang memendam kisah yang tak terceritakan dalam dirimu."

(Maya Angelou)

𓆰.

Ghia tidak mengunjungi rumah Emmy lagi semenjak ia melihat Emmy menangis sambil bersimpuh. Sebenernya, itu ide Si Tanpa Nama untuk membiarkan Emmy sendirian dulu selama beberapa waktu ke depan. Ghia tidak mengerti kenapa dia harus melakukan itu. Bukankah pada saat-saat terburuk, seseorang membutuhkan orang lain agar dia tidak merasa sendirian?

Sebagai gantinya, Si Tanpa Nama mengajak Ghia bersepeda (iya, ini sudah keberapa kali Si Tanpa Nama mengajaknya dan baru kali ini Ghia setuju). Ternyata, kalau Ghia keluar dari daerah rumahnya, Pulau yang Terasingkan tidak terlalu buruk. Yaah meskipun tetap sepi seolah tak berpenghuni.

"Bukannya justru itu membawa kedamaian?" seru Si Tanpa Nama waktu mereka bersepeda di jalan yang bersampingan dengan pesisir pantai.

"Di satu sisi juga membawa kesepian, tahu!"

"Tapi kan ada aku," serunya lagi.

Ghia mendongakkan kepalanya, merasakan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan setiap helaian rambutnya. Waktu Si Tanpa Nama mulai mengayuh sepedanya menuju bukit, Ghia mengeratkan cengkraman tangannya pada pinggang anak lelaki itu.

Mereka duduk di tepi bukit sambil membicarakan banyak hal. Awalnya, Ghia pikir Si Tanpa Nama itu anak yang menyebalkan, tapi ternyata ... tidak terlalu. Setidaknya sekarang Ghia tahu bahwa Si Tanpa Nama suka sekali memberitahunya hal-hal aneh seperti pembicaraan tentang Tuhan dan Iblis beberapa waktu lalu. Ghia mengangguk-angguk saja karena setengah tidak mengerti apa yang Si Tanpa Nama katakan.

Mengejutkan saat tahu bahwa Si Tanpa Nama tidak mudah marah bahkan meskipun Ghia suka mencuekinya atau ketika Ghia mengejeknya. Si Tanpa Nama justru banyak tersenyum, senyuman yang sangat lebar seolah dialah satu-satunya orang paling bahagia di dunia.

Ketika matahari mulai tenggelam, Ghia dan Si Tanpa Nama turun dari bukit.

"Berhenti, berhenti!" Ghia menepuk pundak Si Tanpa Nama waktu dia melihat Emmy berada di luar rumahnya dengan seorang pria.

"Siapa itu?" gumam Ghia.

"Haruskah kita bersembunyi?" celetuk Si Tanpa Nama.

"Aku rasa Emmy enggak bakal ngelihat kita."

Terjadi keheningan selama beberapa saat. Ghia dan Si Tanpa Nama fokus melihat ke arah Emmy dan pria itu yang masih asik mengobrol.

"Aku enggak bisa dengar apa-apa," ucap Ghia. "Ayo kita mendekat."

"Jangan," balas Si Tanpa Nama.

"Kenapa?"

"Emangnya ayahmu enggak ngajarin kamu ya? Kita enggak boleh menguping," ucapnya. "Itu privasi Emmy."

"Apa itu privasi?" Ghia tidak sedewasa itu untuk mengetahui banyak hal di dunia.

"Keleluasaan pribadi. Kalau Emmy marah gimana?"

"Emmy enggak bakal marah," ucap Ghia.

"Nanti saja kita tanya langsung."

"Eh, eh, ada yang datang." Ghia menepuk pundak Si Tanpa Nama lagi dengan mata yang terus tertuju pada wanita yang baru keluar dari rumah Emmy.

Wanita itu tampak menyunggingkan senyum lebar sembari berdiri di samping pria yang berdiri di depan Emmy. Mereka mengobrol sebentar, lantas kedua orang itu pergi meninggalkan Emmy yang kini tengah menghela napas panjang.

"Ayo kita tanya." Ghia menepuk pundak Si Tanpa Nama agar anak itu segera mengayuh sepedanya mendekati Emmy.

Sebelum Ghia memanggil, Emmy sudah lebih dulu menyadari kehadiran mereka. Wanita itu menyunggingkan senyum kecil sewaktu sepeda Si Tanpa Nama berhenti di depannya.

"Halo, Anak-anak."

Ghia melompat turun dan langsung berlari untuk memeluk Emmy. "Halo, Emmy. Aku merindukanmu."

"Manis sekali. Aku juga."

Ghia mendongak. "Maaf, beberapa hari ini aku enggak berkunjung ke rumahmu."

"Tidak masalah, Ghia." Emmy tersenyum, dia beralih menatap Si Tanpa Nama. "Jadi, hal seru apa yang sudah kalian lakukan?"

"Kami pergi ke bukit," jawab Si Tanpa Nama.

"Keren. Di sana pasti sangat indah, melihat laut dan rumah-rumah, kan?"

"Yaa," kata Ghia. "Oh ya, Emmy. Tadi aku dan Si Tanpa Nama enggak sengaja melihatmu sedang berbicara dengan seorang pria ... maksudku, maaf kalau aku lancang, tapi──"

"Oh itu," cengir Emmy. "Dia Will."

"Will?" Si Tanpa Nama melebarkan matanya. "Will sahabatmu itu?"

"Ya, dia berkunjung kemari sebelum pindah ke New York." Emmy tersenyum.

Ghia melepaskan pelukannya. "Kamu enggak apa-apa, Emmy?"

"Tentu. Aku baik-baik saja. Itu semua karena kalian, Anak-anak."

Ghia melirik Si Tanpa Nama dengan kening berkerut.

"Kalian benar, aku tidak benar-benar membutuhkan Will. Aku hanya butuh teman yang bersedia mendengar seluruh keluh kesahku. Setelah aku berbicara pada kalian, aku merasa sebagian besar beban di kepalaku telah hilang. Aku juga berterima kasih karena kalian tidak mengunjungiku setelah itu. Itu memberikanku waktu untuk berpikir."

Emmy mengatakannya dengan wajah tidak semurung beberapa hari lalu.

"Dan yah, aku sempat terkejut waktu Will datang. Aku bahkan bertanya padanya apakah dia masih mencintaiku, tapi lantas aku sadar bahwa aku tidak benar-benar ingin cinta. Aku hanya merindukan sahabatku," ucapnya sembari tersenyum lagi.

"Dan, wanita ... yang berdiri bersama Will?" tanya Ghia.

"Ah, dia istrinya. Will baru menikah sebulan lalu," kata Emmy. "Aku sangat senang dia bisa menemukan seseorang yang dia cintai dan bersedia mencintainya sepanjang hayat."

"Apa kamu enggak sedih?" Giliran Si Tanpa Nama yang bertanya.

"Tentu saja aku sedih, tapi tapi rasa bahagiaku lebih besar daripada itu. Entahlah, aku merasa, omonganmu benar, Nak." Emmy melirik Si Tanpa Nama. "Seharusnya aku berhenti untuk merasa kasihan pada diriku sendiri, atau pada orang lain, sambil berpikir bahwa hidup ini seharusnya adil atau suatu hari hidup ini pasti adil."

"Ya," balas Si Tanpa Nama. Sekarang dia terdengar seperti bapak-bapak. "Kau hanya perlu hidup."

Ghia memperhatikan senyuman di wajah Emmy. Setidaknya, sekarang dia tidak semenderita dulu. Emmy terlihat seperti dia baru saja menemukan cahaya yang selama ini ia cari.

Wanita itu tiba-tiba berjongkok di depan Ghia. Tangannya bergerak menyelipkan anak rambut anak perempuan itu ke belakang telinga. "Ini mungkin akan terlalu mendadak untuk kalian, tapi aku sudah memikirkannya setiap hari dan sepanjang malam."

Ghia bergeming. Menunggu kalimat selanjutnya.

"Aku memutuskan untuk tidak tinggal di sini lagi, Anak-anak."

"Apa?" Suara Ghia mulai parau.

"Maafkan aku. Kupikir aku memerlukan suasana baru. Pulau ini sangat tenang, itu bagus. Namun, untuk orang sepertiku, terus berada di pulau ini hanya akan membuatku merasa kesepian."

"Jadi, kau akan pergi?"

Emmy mengangguk penuh penyesalan. "Temanku, yang sudah lama tidak menghubungiku, dia meleponku semalam dan mengajakku untuk pergi ke Australia."

"Tapi, kita baru saja kenal ...." cicit Ghia. "Aku baru saja ingin menjadikanmu teman."

"Aku minta maaf tentang itu, Ghia." Emmy mengusap pundak Ghia. "Aku akan selalu menjadi temanmu, sampai kapanpun."

˖ ࣪ ‹ 𖥔 ࣪ ˖

IstirahatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang