Chapter 114: Countdown

272 66 3
                                    

Besok adalah hari dimana istriku meninggal. Itu tidak akan menjadi kematian yang ia harapkan, dan itu juga bukan yang pantas dia dapatkan. Apa yang akan terjadi, adalah tindakan sederhana dan acak tanpa makna di luar perintah takdir.

Kami akan keluar berjalan-jalan, berpegangan tangan saat kami pulang dari hari yang melelahkan di tempat kerja. Begitu kami sampai di penyeberangan, teleponnya akan berdering. Itu ibunya, yang menelepon untuk memberi tahu bahwa kanker-nya kambuh lagi.

Itu tidak mengejutkan, dia sudah dalam terapi selama beberapa tahun, tetapi tubuhnya telah dirusak oleh rutinitas kemo dan radiasi sebelumnya. Berita itu, tentunya membuat Lucy, istriku sedih. Aku melhat ait mata mengalir di pipinya.

Dia mencoba untuk tetap kuat di depanku, berpura-pura dia bisa menangani itu semua. Setelah itu, ia mulai berjalan untuk menyebrang.

Apa yang tidak ia sadari adalah, bahwa selama jeda singkat tadi, lampunya telah berubah menjadi hijau. Saat dia mengambil langkah pertamanya untuk menyebrang, dia tertabrak mobil dan kepalanya dengan keras membentur tanah.

Dia meninggal karena benturan, dan paramedis tidak dapat melakukan apa pun untuk membantunya. Dalam waktu kurang dari satu detik itu, semua yang pernah kumiliki, akan diambil dariku, dan aku harus menyaksikannya hal tersebut terjadi secara langsung.

Maafkan aku Lucy..

Kematiannya adalah fakta yang sudah kuketahui sejak pertama kali kita bertemu saat masih kecil. Namun, aku tidak dapat melakukan apa pun untuk mencegah kematiannya hingga waktunya tiba, tidak peduli seberapa besar keinginanku untuk mengubah itu semua.

Dia mmebuatku berjanji, dan bersumpah untuk tidak mengatakan padanya kebenaran yang memang tak dapat terhindarkan di masa depan.

“Kita memang dibuat untuk tidak mengetahui akhirnya. Itulah yang membuat hidup ini indah.” katanya.

Tapi, itu hanyalah kata-kata yang tertulis di buku, kebohongan yang meyakinkan yang tak kuingat.

Itulah kenangan terakhir yang aku miliki tentang istriku ketika ia masih hidup. Begitu tubuhnya dimakamkan, dan aku pindah ke kota lain, aku akan melupakan bahwa dia pernah ada. Yang tersisa hanyalah lubang di hati yang tidak akan bisa kuisi sampai hari kematianku.

Karena itulah kutukanku, mengingat segala sesuatu dari masa depanku sendiri, dan tak dapat mengingat masa lalu.

Sejauh pengetahuanku, aku selalu seperti ini. Dari langkah pertama yang kuambil saat balita, dan dari kata-kata pertama yang dapat kuucapkan. Aku diberi setiap memori dari keseluruhan hidupku, bahkan hingga bagaimanan aku mati. Namun bayarannya adalah, memori itu akan hilang dari pikiranku begitu aku mengalaminya.

Semuanya terasa aneh, aku seperti menjalani hidup secara terbalik. Aku dibebani dengan pengetahuan tentang hari esok, mengetahui sepenuhnya tentang apa yang akan terjadi, namun aku tidak dapat melakukan apapun untuk mengubahnya.

Jadi pada usia lanjut tiga puluh lima tahun, aku telah melupakan setiap detail hidupku sejak lahir hingga detik ini. Bahkan begitu kata – kata ini kutuliskan di kertas, aku akan segera melupakannya seolah-olah hanyut dalam pikiranku yang rusak.

Tapi, sebelum melanjutkan cerita ini, izinkan aku menjawab beberapa pertanyaan yang mungkin muncul di pikiranmu. seperti:

Bagaimana aku bisa menulis, jika aku lupa pernah mempelajarinya? Bagaimana aku bisa berjalan? Bagaimana aku bisa menjalin hubungan dengan orang lain, jika detail tentang mereka selalu tak dapat kuingat hari demi hari?

Untuk dua hal yang pertama, aku akan menjawab ini:

Apakah kamu ingat tentang langkah pertamamu? Tindakan belajar bagaimana berdiri dengan dua kaki, atau apakah itu hanya sesuatu yang kamu tau begitu saja bagaimana melakukannya, sebuah keterampilan yang tertanam dalam dirimu? Apakah kamu bahkan pernah berpikir sebelum berbicara, atau malah kata-kata mengalir begitu saja tanpa diproses oleh pikiranmu terlebih dahulu?

Creepy Horror : 2ndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang