Chapter 65: Pen Pal (part 3)

293 74 3
                                    

Pen Pal : Boxes

Jika kau belum membaca Langkah Kaki atau Balon, silakan lakukan sebelum membaca cerita di bawah agar kau mengerti.

Bagi kalian yang sudah membaca ceritaku yang lain dan bertanya apakah ada cerita lagi dan menerima jawaban samar dariku, aku ingin minta maaf karena tidak jujur. Aku mengatakan beberapa kali dalam komentar bahwa tidak ada hal penting terjadi setelah “Langkah Kaki”, tetapi itu tidak benar. Peristiwa-peristiwa dari kisah berikut ini tidak terkunci di ceruk pikiranku; aku selalu mengingatnya. Baru setelah aku mengingat “Balon” dan berbicara dengan ibuku tentang peristiwa-peristiwa berikut ini, aku menyadari betapa terjalinnya cerita ini dengan yang lainnya, namun pada awalnya aku tidak benar-benar berencana untuk membagikan ini. Keinginanku untuk menahan ingatan ini sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa kukira aku tidak menunjukkan keputusan yang baik di dalamnya; aku juga ingin meminta izin dari orang lain untuk menceritakannya, agar tidak salah menggambarkan apa yang terjadi. Aku tidak berharap akan ada banyak minat pada ceritaku yang lain, jadi aku tidak pernah berpikir akan memaksakan detailnya, dan aku akan senang menyimpan ini untuk diriku sendiri selama sisa hidupku. Aku belum dapat menghubungi pihak terkait, tetapi aku akan merasa tidak jujur jika menahan cerita ini dari mereka yang menginginkan lebih banyak informasi karena aku sudah berbicara dengan ibuku dan garis penghubung lain sudah tergambar. Kisah berikut ini seakurat yang bisa kuingat. Maaf untuk panjangnya.

Aku menghabiskan musim panas sebelum tahun ajaran pertama SD dengan belajar memanjat pohon. Ada satu pohon pinus tepat di luar rumahku yang seolah dirancang khusus untukku. Pohon itu punya cabang yang sangat rendah sehingga aku dapat dengan mudah meraihnya tanpa perlu didorong, dan untuk beberapa hari pertama setelah aku belajar cara menarik diriku, aku hanya akan duduk di cabang terendah, menggantung kakiku. Pohon itu berada di luar pagar belakang kami dan mudah terlihat dari jendela dapur tepat di atas wastafel. Tak lama berselang, aku dan ibuku punya rutinitas di mana aku akan bermain di pohon ketika dia mencuci piring karena dia dapat dengan mudah mengawasiku sementara dia melakukan hal-hal lain.

Setelah musim panas berlalu, kemampuanku berkembang dan tak lama berselang aku bisa mendaki cukup tinggi. Saat pohon semakin tinggi, cabang-cabangnya tidak hanya menjadi lebih tipis tetapi jaraknya pun semakin jauh. Aku akhirnya mencapai titik di mana aku tak bisa naik lebih tinggi lagi, sehingga permainan harus diubah; aku mulai berkonsentrasi pada kecepatan, dan akhirnya aku bisa mencapai cabang tertinggiku dalam dua puluh lima detik.

Aku menjadi terlalu percaya diri dan suatu sore aku mencoba melangkah dari cabang sebelum aku berhasil menggenggam kuat cabang berikutnya. Aku jatuh sekitar enam meter dan lenganku patah sangat parah di dua tempat. Ibuku berlari ke arahku berteriak dan aku ingat dia terdengar seperti sedang berada di bawah air—aku tidak ingat apa yang dia katakan tetapi aku ingat terkejut oleh betapa putih tulangku.

Aku akan masuk sekolah dengan gips dan bahkan tak akan punya teman untuk menandatanganinya. Ibuku pasti merasa bersalah karena sehari sebelum aku mulai sekolah dia membawa pulang seekor anak kucing. Dia masih bayi dan punya belang cokelat dan putih. Begitu ibuku menurunkannya, dia merangkak ke dalam wadah soda kosong yang ada di lantai. Aku memberinya nama Boxes.

Boxes hanya kucing liar ketika dia melarikan diri. Ibuku sudah memotong kukunya agar dia tidak menghancurkan perabot, sebagai hasilnya kami harus melakukan yang terbaik untuk menjaganya tetap di dalam. Dia sering keluar rumah, dan kami akan menemukannya di suatu tempat di halaman belakang mengejar entah serangga atau kadal, meskipun dia hampir tidak pernah bisa menangkapnya karena tidak punya cakar depan. Dia suka mengelak, tapi kami selalu menangkapnya dan membawanya kembali ke dalam. Dia akan berjuang untuk menoleh ke belakang bahuku—aku bilang pada ibuku bahwa itu karena dia sedang merencanakan strategi untuk kesempatan berikutnya. Begitu berada di dalam, kami akan memberinya ikan tuna, dan dia mulai mengenali suara pembuka kaleng sebagai sinyal; dia akan datang berlari setiap kali mendengarnya.

Creepy Horror : 2ndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang