Chapter 82: Why?

330 78 1
                                    

Papa, apakah engkau masih menyimpan foto masa kecilku di dompetmu?
Mama, apakah kau akan mengenang anakmu yang teracuh ini saat bersama kekasih barumu?
Papa, mama.
Aku lelah, maafkan aku.
Aku ingin menjerit seperti wanita.
Atau lari laksana kijang.
Apapun tak masalah, meski telat sudah.
Betapa bodoh nya anakmu ini.
Maaf.

Hari abu abu selalu lengket layaknya lem di otakku. Aku tak tahu, monster apa yang menguasai kalian tempo itu. Monster bernama uang? Memori itu memang tertancap telak di ingatanku. Saat aku menjejak lorong sehabis pulang sekolah, piring-piring terhempas menyisakan suara pecahan. Kakiku yang waktu itu sangat pendek dan kecil gemetar, muka kalian sangat seram hari itu. Aku membuka pintu dengan takut-takut. Lalu, ada jeritan. Ada tangisan. Dari papa dan mama.

Kalian kini seperti Tom and Jerry yang kulihat di film kartun. Namun, kalian benar-benar menyakiti satu sama lain.

Papa, mama. Aku...

Kalian tak peduli denganku, anak kalian menonton piring dan gelas yang terlempar, dan teriakan menggema sedemikian rupa piawainya. Betapa rumitnya perasaan aku. Apa kalian sadar... Kepalaku terasa ikut mau pecah juga seperti piring dan gelas itu. Air mataku secara tak sadar berlabuh turun ke daguku.

Tiba-tiba dadaku berdarah di dalam. Kupegang detak iramanya. Kenapa berdarah? Karena sakit. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit sekali. Sebagai anak aku sakit. Tak punya perumpamaan bagus untuk mengutarakan sanubariku saat itu. Satu patah frasa untuk mewangsitkan seluruh rasa yang meracuni hati,
Sakit.

Lalu kata ‘cerai’ meluncur bak air mancur di sekolahku. Entah dari mulut siapa dulu. Aku masih lugu. Aku hanya anak mama dan papa.

Waktu itu aku belum lah paham arti dari sebuah perceraian.
Belum lah siap untuk merasa kasih sayang yang tak kesampaian.

Namun suratan takdir telah menggariskan nasib. Tak seorangpun bisa mengelak. Kalian berpisah tanpa mempedulikanku. Lalu tak pernah bertemu aku lagi.

Saat itulah aku baru paham arti perceraian sebagai seorang anak kecil. Artinya adalah ‘hancur’. Karena tak ada lagi yang tersisa dari keluarga ini.

Aku menggigil di ujung jalan kecil. Di sini bau sekali, bau yang sama seperti toilet umum. Tapi ini rumah—sarang baruku. Aku tidur, bernyanyi, buang air di sini. Banyak lalat dan air kotor di sini, rasanya sungguh buruk.

Jujur saja, kadang aku benci kalian. Sangat benci. Sampai uratan tangan menegang semua. Aku gatal ingin menusuk daging dan jantung papa dan mama. Teganya, kalian melakukan ini padaku? Pada darah daging kalian?

Tapi papa, mama. Aku juga sayang kalian. Aku cinta kalian, kalian adalah bunga paling harum dan indah di hatiku. Kalian jugalah matahariku yang paling terang. Tapi aku sedih. Apa papa mama tau aku cinta kalian berdua? Maafkan aku, anak bodoh ini, selalu membuat kalian repot. Papa mama pasti pikir aku tak sayang dengan kalian.

Tolonglah, kalau kalian bisa bersatu, aku akan melakukan apa saja. Aku akan jadi anak rajin, aku akan menyapu halaman rumah seperti yang mama inginkan, aku tak akan rewel, aku tak akan menangis lagi karena tersandung batu layaknya yang papa suruh. Aku janji. Asal kita bisa berkumpul penuh kedamaian dan kehangatan. Cuma itu yang ku minta, pa, ma... namun... kenapa kalian tidak mengabulkannya? Hatiku sangat sesak ketika mengingat wajah kalian, tawa kalian, sentuhan kalian, pelukan kalian. Bahkan aku rindu dimarahi oleh papa dan mama, berharap kita bisa mengulanginya untuk yang paling terakhir kali.

Sebelum aku melilit dan mengencangkan tali tambang ini di leherku.

 
Sc: http://bonsanz.blogspot.com/2016/03/creepypasta-indonesia-experience-why_15.html?m=1

Creepy Horror : 2ndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang