Déka

2.6K 240 1
                                    

Acara masih belum selesai, namun Azka mulai merasa bosan. Saat ini dirinya sedang berada di ruangan PKS, seperti biasa mencari aman dari orang-orang yang memungkinkan akan mengganggu waktu santainya.

Suara pintu terbuka membuat Azka melirik sekejap dan kembali fokus pada layar handphone. Ada Aurellia yang baru saja masuk dan Azka sejujurnya tidak peduli adik sepupunya itu datang untuk apa.

"Kak, gue mau ngomong sama lo. Masalah Kaila!" Azka menghela nafasnya, benar-benar tidak peduli dengan pembicaraan yang akan di awal pada siang ini. Kemungkinan akan sangat melelahkan dan menguras tenaganya.

"Kak, gue pengen lo cabut surat pernyataan kalo dia dikeluarkan dari sekolah. Kak, gue mohon sama lo. Kaila itu bukan orang yang seperti kita kak, yang mampu buat sekolah dimana aja, lo juga harus tau dia anak beasiswa dan mestinya lo paham gimana usaha dia buat terus bertahan di sekolah punya orang tua lo," jelas Aurellia.

"Kalo memang dia bisa berusaha buat bertahan di sekolah ini, seharusnya dia juga paham gimana menjaga tata karama. Lo bilang dia anak beasiswa kan? Itu artinya dia anak yang dipercaya sama guru bahkan dewan sekolah, karena sikap dan prestasinya. Lo pikir sendiri aja, gimana bisa ada anak yang berprestasi tapi nggak bisa menjaga ucapannya untuk orang lain?" Azka menghela nafasnya.

Aurellia diam, menundukkan kepalanya. "Gue bisa aja nggak minta dia buat keluar dari sekolah, kalo memang dia bisa jaga omongannya, atau kalo dia berurusan dengan orang lain. Tapi, lo tau sendiri gimana bencinya gue sama orang yang sejenis kayak dia dan ngurusin kehidupan gue? Lo pikir aja sendiri," ujar Azka.

Azka yang sudah emosi sangat terlihat, bahkan tadi ia dengan sengaja menendang kaki meja membuat suara yang cukup kuat menggema di dalam ruangan. Aurellia semakin menundukkan kepalanya, paham apa masalah yang dihadapi oleh temannya, tapi ia merasa itu tidak adil sampai harus dikeluarkan dari sekolah.

"Satu lagi Aurel, gue sama sekali nggak kepikiran buat keluarin dia dari sekolah. Gue cuman minta sama kepala sekolah buat skorsing dia selama 1 bulan," ucap Azka.

Aurellia menatap kakaknya dengan terkejut, tapi Azka yang sudah emosi memilih pergi dengan membanting pintu cukup kuat, dan mengundang tatapan terkejut dari siswa/i yang berjalan didekat depannya.

"Kak. Kak Azka! Ih, kak tunggu dulu." teriak Aurellia yang sama sekali tidak digubris oleh Azka.

Azka memasuki kelasnya dengan raut wajah tidak bersahabat. Membuat teman sekelasnya saling menatap satu salam lain, ingin bertanya tapi ragu untuk mengeluarkan suara.

"Oi, Azka. Mau kemana?" tanya Lino. Sepertinya Lino sudah mewakili isi pikiran dan hati semua teman sekelas Azka, ketika melihat gadis itu sedang mengambil tasnya.

"Pulang," jawab Azka tanpa minat dan berlalu begitu saja. Lino memperhatikan teman satu tim basketnya dengan pandangan heran, dan memperhatikan tatapan teman sekelasnya yang juga sama bingung seperti dirinya.

"Memangnya sudah jam pulang ya?" tanyanya entah pada siapa.


~'🌺'~


Azka yang sudah berlalu dari perkarangan sekolah, kini menghentikan mobilnya dipinggir jalan karena tidak ada tujuan untuk pergi saat ini. Jika ia kembali ke rumah, disaat jam masih berada sekitar 1 siang, ibunya akan bertanya panjang lebar dan ia malas untuk menanggapi hal tersebut.

"Sial, dimana gue bisa mendapatkan tempat damai untuk sehari saja," ujar Azka pelan. Helaan nafas yang terdengar sangat berat membuat siapa saja akan mengerti bagaimana lelahnya seorang Azka.

Azka melirik minimarket yang ada disebrang tempatnya menghentikan mobil. "Makan siang dengan mie instan sepertinya enak," guman Azka.

Tanpa pikir panjang, Azka segera memutarkan mobilnya menuju parkiran yang ada didekat minimarket. Dengan langkah semangat Azka masuk ke dalam untuk memilih rasa mie instan yang memenuhi seleranya.

Minimarket tempat Azka memilih mie instan kebetulan memiliki sistem Xmart atau Iseller yang kebetulan tidak memakai kasir lagi. Dengan santai Azka membayar belanjanya dan membawanya keluar dari minimarket.

Di luar minimarket, terdapat tempat duduk dan mesin untuk membuat mie instan, semua sudah disediakan di tempat tersebut yang membuat Azka merasa ia benar-benar akan hidup jika dibiarkan tinggal di dalamnya.

Setelah selesai membuat, tentu saja ia mencari tempat ternyaman dan duduk di sana. Oh tenang saja, Azka tidak tahu jika di tangkap oleh satpol PP yang tiba-tiba datang untuk merazia anak sekolah yang berkeliaran. Soalnya dia masih memakai baju basketnya, bukan seragam sekolah.

Sesekali Azka akan memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang, atau melihat handphonenya yang sudah penuh dengan notifikasi pesan dari teman-teman dekat.

"Kak Azka, kenapa ada di sini?" sebuah suara yang belum Azka hapal, namun terdengar tidak asing membuatnya mengalihkan pandangan.
"Kakak bolos ya? Ini kan masih jam pelajaran kedua kak," ujar Kaila membuat Azka mendengus kesal.

"Itu urusan gue," jawab Azka seadanya. Kaila menganggukkan kepalanya, paham jika Azka masih marah terhadapnya.

"Yaudah kak, kalo gitu aku izin duluan ya kak." ujar Kaila dan kembali berjalan. Azka menghela nafasnya, ia memang masih marah tapi rasa kasihan tiba-tiba muncul ketika melihat gadis belia itu terlihat begitu lelah.

"Oi," panggil Azka membuat Kaila menghentikan langkahnya, menatap Azka bingung. Ia menunjuk dirinya, untuk memastikan apa Azka memang memanggilnya.

"Iya, lo ke sini sebentar." teriak Azka pelan. Kaila kembali menghampiri Azka dengan wajah bingung. Saat ingin bertanya ada-apa, tapi kakak seniornya lebih dulu memberikan semangkuk mie instan yang baru kepadanya.

"Waktunya makan siang, buat sendiri di sana," ujar Azka dan kembali terlihat tidak peduli. Kaila menggelengkan kepalanya, mencoba ingin menolak tapi ada rasa takut yang lebih kuat dan itu membuatnya menerima perintah Azka.

Selagi menunggu Kaila membuat mie instan, Azka memilih untuk mendengarkan musik dengan headphone nya sambil meminum satu kaleng minuman rasa.

"Kak, aku makan di tempat lain aja ya, takut buat kakak nggak nyaman kalo aku duduknya juga disini." ujar Kaila pelan.

"Bukannya lo yang bakalan nggak nyaman, kalo duduk di dekat gue? Lo kan benci orang-orang kayak gue, kalo itu memang alasannya yaudah sana cari bangku lain," sahut Azka dengan tawa pelan.

Kaila segera menggelengkan kepalanya. Tidak setuju dengan ucapan Azka. "Nggak begitu kak, bukan maksud aku seperti itu. Aku beneran nggak benci kakak, maaf kak ucapan ku waktu itu." sanggah Kaila.

Azka tidak lagi mendengarkan ucapan tersebut dan fokus membaca pesan dari Barra yang baru saja ia dapat. Kaila yang tidak ingin kesalahpahaman terus berlanjut, ia segera menarik kursi di hadapan Azka dan duduk di sana.

Mulai fokus memakan mie instannya yang panas dengan perasaan campur aduk, merasa malu karena terus berhadapan dengan Azka yang waktu itu tidak sengaja ia lecehkan dengan kata-kata. Merasa marah pada diri sendiri, mengapa begitu mudah mengucapkan kata-kata yang menyakiti perasaan orang lain.

"Pelan-pelan, gue nggak bakalan rebut mie punya lo," sahut Azka membuat Kaila tersedak karena terkejut. Azka memberikan kaleng minumannya, karena sejujurnya ia memang hanya beli satu dan baru ia minum sedikit.

"Minum, daripada lo mati karena tersedak itu nggak lucu, apalagi masalah lo sama gue belum selesai. Jadi jangan mati dulu," ujar Azka saat Kaila meminum kaleng minuman miliknya.

"Kak, maaf." cicit Kaila pelan. Azka yang terlihat kembali fokus pada handphonenya tidak terlalu mendengarkan ucapan tersebut, karena terlalu pelan.

"Besok, lo datang ke sekolah seperti biasa." ujar Azka membuat Kaila menatapnya dengan terkejut. Merasa tidak percaya ia, membuat Azka menghela nafasnya.

"Gue beneran nyuruh lo datang ke sekolah besok. Skorsing lo udah selesai, lo nggak mau kan ke tinggilan pelajaran atau beasiswa lo dicabut karena tiba-tiba lo jadi bodoh," sambung Azka dan saat itu juga Kaila menangis tersedu-sedu.

"Heh, kenapa lo nangis? Oi, berhenti jangan buat gue kelihatan jadi penjahat di sini!" pekik Azka kebingungan ketika suara tangis Kaila terdengar cukup kuat. Bahkan beberapa orang yang melewati mereka saling tatap dengan pandangan sulit ditebak.

"Makasih kak, maaf ya kak. Aku bakalan nggak ulangi lagi kesalahan waktu itu, makasih banget kak." lirih Kaila.

𝐂𝐚𝐦𝐚𝐫𝐚𝐝𝐞𝐫𝐢𝐞 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang