Íkosi tría

2.3K 235 30
                                    

Selama acara inti di mulai, Kaila hanya duduk di bangkunya. Sesekali memperhatikan yang lain sedang bercanda dan tertawa, ia sendiri memilih untuk memainkan handphone dan menghela napas.

Masalahnya, Azka sedang bersama dengan teman basketnya menghampiri kakak senior/alumni basket mereka. Ya, berbincang-bincang layaknya sudah lama tidak bertemu (memang) seperti itu pada kenyataannya.

“Oh, enak juga ya jadi lo. Setelah mencaci Azka sekarang malah jadi duduk di bangku bareng Azka,” ujar seseorang dari belakang bangku Kaila.

“Eh? Eum..” Kaila hanya diam, tidak membalas ucapan mereka. Karena ia tidak terlalu mengenal siapa saja orang-orang di belakangnya.

“Kaila ya, anak beasiswa kan? Lo habis ngasih apaan sih sama kak Azka, sampai itu orang bisa nggak marah lagi sama lo? Ehh, jangan bilang lo jual diri..” bisik mereka.

“Bisa jadi, pasti sih menurut gue“ sahut yang lain.

Kaila tetap diam, ia ingin melawan hanya saja waktunya tidak tepat. Yang ia kenal di sini hanya Azka, tapi seniornya itu sedang pergi entah kemana.

“Aku nggak jual diri, aku tetangga kak Azka.” balas Kaila pelan.

“Hah, apa? Lo bilang apa, pelacur?” bisik salah satu dari mereka

“Aku bukan pelacur, aku nggak kaya gitu!” bentak Kaila.

“Lo dah berani bentak-bentak gue ya, belum tau siapa gue, hah!” balas salah satu dari mereka.

Mereka itu penggemar Keisha dan Azka, jelas saja ketika melihat Azka pergi ke pesta perpisahan bukan bersama Keisha mereka sangat kecewa, sampai-sampai harus menjadikan Kaila sebagai target untuk meredam rasa tersebut.

“Aku nggak peduli kalian siapa, aku cuman kenal sama kak Azka. Aku nggak ngejual diri ke dia, atau seperti yang kalian pikirkan. Kita tetangga, tadinya aku mau pergi sama Aurel. Tapi, dia nggak bisa pergi karena orang tuanya baru aja pulang dari luar kota. Karena itu dia minta aku pergi sama kak Azka,” cerca Kaila dengan kesal.

Suara Kaila dapat didengar oleh Azka yang tadinya sedang bercanda dengan beberapa alnya yang ia kenal. Ia hanya diam, sambil sesekali menyesap minuman yang ada di gelasnya.

“Alasan! Lo cuman ngasih alasan nggak masuk akal kaya gini? Mana mungkin kak Azka mau nerima tawarin Aurelia, cuman karena orang tua dia baru pulang dari luar kota,” balas Denise.

“Selama lo jadi pelacuran bakalan tetap jadi pelacur, apa jangan-jangan orang tua—”

Sebuah tamparan yang cukup kuat diberikan oleh Keisha pada pipi Denise. Cukup membuat yang lain terkejut dan menatap Keisha dengan wajah tidak percaya.

“Lo tuh kalo di maki sama dia jangan balas pakai mulut, pukul aja bibirnya biar dia diem. Ini coba, siram pakai sirup biar anaknya pulang!” balas Keisha sambil memberikan segelas sirup ditangan Kaila dan menarik tangan tersebut untuk menyiramkan segelas sirup tepat di atas kepala Denise.

Kaila sendiri terkejut akan sikap yang dimiliki oleh Keisha, wanita itu terlihat membencinya tapi juga mau membantu ia.

“Udah sana lo semua pulang, udah basah gitu. Mandi-mandi biar nggak lengket,” ujar Keisha membiarkan Denise dan yang lain berlalu pergi dengan terburu-buru, merasa malu akan perbuatan Keisha.

Keisha menghela nafasnya, meletakkan dengan kasar gelas tersebut ke atas meja bahkan sampai pecah. Tentu saja itu, membuat anak-anak yang melihatnya terkejut dan Kaila sendiri sampai menghindar agar tidak terkena pecahan kacanya.

*****

Azka yang sedari tadi memperhatikan mereka dari tempatnya kini berdiri, sambil meletakkan gelas yang ia pegang dan berjalan ke arah Keisha. Barra dan Reihan sendiri saling menarik pakaian, merasa bingung dengan sikap teman karibnya.

Azka menghampiri Keisha yang kembali duduk di bangku, menarik tangan tersebut untuk melihat apakah ada luka yang tertinggal dari pecahan kaca yang akan melukai gadis tersebut. Setelah ia melihat tidak ada yang terluka, Azka mengelus kepala Keisha dan tersenyum tipis.

Kaila sendiri diam di tempatnya berdiri, entah mengapa ketika melihat keduanya Kaila merasa sangat bersalah. Apakah karena dirinya, siswi tadi marah akibat tidak melihat Azka dan Keisha bersama? Atau karena dia terlalu dekat dengan Azka, sampai-sampai membuat Keisha menjauh.

“Keisha tangannya nggak apa, kan?” tanya Gibran ikut mendekat. Keisha tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

“Nggak kak, lagian gelasnya pecah pas aku letak. Jadi tangan aku nggak apa-apa,” jawabnya dengan lembut.

Gibran menganggukkan kepalanya, memperhatikan Azka yang kini melangkahkan kakinya menghampiri gadis yang berdiri diam sambil menatap lurus.

“Nggak ada yang luka,” jawab Kaila dengan percaya diri, bahkan sebelum Azka menanyakan hal tersebut.

Azka menaikan satu alisnya, menyampirkan poni yang menutupi sedikit kening Kaila dan kembali menatap gadis lugu di hadapannya.

“Pelipis lo berdarah,” ujar Azka.

Saat itu juga, Kaila refleks menyentuh pelipisnya dan hampir berteriak, namun karena ramai ia lebih memilih untuk bertanya entah pada siapa.

“Kok, bisa?”

Azka menarik sapu tangannya yang ada di dalam saku untuk membersihkan luka yang ada di pelipis Kaila dengan pelan.

“Kak, kalo lukanya di sini aku nggak bakalan mati, kan ya?” tanyanya pada Azka.

Sedangkan yang ditanya menatap Kaila sambil menaikan salah satu alisnya, ia ingin menjawab  pertanyaan tersebut, tetapi Kaila menghentikan tindakan itu dengan mengangkat tangannya tepat di depan bibir Azka.

“Eh, jangan dong kak. Kan aku belum tamat sekolah, terus cita-cita aku buat bahagia aja belum ke sampean. Nanti dulu dong,” mohonnya.

Dan saat itu, semua orang yang tidak sengaja memperhatikan keduanya terkejut, saat melihat Azka yang kembali fokus membasuh luka Kaila dengan sapu tangannya sambil tersenyum.

“yang bilang lo bakalan mati siapa, bego?” balas Azka sambil mendorong pelan dahi Kaila.

“Eung! Tapi, beneran nggak mati kan, kak?” tanyanya lagi untuk memastikan.

“Kalo lo kenanya di sini, baru mati. Tapi, lukannya juga cuman kaya kena pisau, santai aja. Paling mati suri,” sahut Azka menunjukkan bagian jantung Kaila, tidak menyentuhnya sama sekali. Ia bahkan sambil tertawa mengucapkan hal tersebut.

“Kak Azka, yang benar aja!” pekik Kaila.

Barra dan Reihan saling menatap satu sama lain, tersenyum tipis ketika kembali memperhatikan Kaila dan Azka yang kini berlalu menjauh. Sepertinya Azka akan membawa gadis itu untuk diobati lebih dulu dan kembali setelah itu.

“Gue pikir adik tingkat itu akan cocok dengan Azka,” bisik Reihan dan dibalas anggukan oleh Barra.

“Pertama kalinya gue lihat Azka ketawa sama senyum tanpa beban,” sahut Barra.








































































Hai,
aku penasaran sama satu hal, gimana alur ceritanya? Kalian suka kah? Aku pengen kalian jawab pertanyaan ini, sekalian ya kita bisa interact (satu sama lain). Tapi, aku nggak memaksakan kalian juga, intinya yang mau jawab silahkan atau kalo mau nanya juga boleh, tanya aja di sini nanti aku jawab pertanyaan kalian. Thank you —🥀

𝐂𝐚𝐦𝐚𝐫𝐚𝐝𝐞𝐫𝐢𝐞 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang