8

223 24 32
                                    

"Hari ini pulang jam berapa?" tanya Jungkook begitu dia mematikan mesin mobil setelah keduanya berada di depan gedung perusahaan dimana Jiwoo bekerja.

Jiwoo melepas sabuk pengamannya sembari mengambil tas dan payung milik Yoongi yang dia simpan pada kursi belakang mobil. "Kenapa bertanya? Seperti mau menjemputku saja." Gumamnya dengan nada ketus.

"Aku memang mau menjemputmu." Jawab Jungkook enteng sembari mengangkat kedua bahunya. Mata bulatnya mengerling seperti anak kecil tak berdosa.

"Tidak perlu. Aku pulang sendiri saja."

"Eiy, kau masih marah?" Jungkook menyandarkan kepalanya pada punggung kursi mobil ketika pria itu menatap sang puan yang masih terlihat kesal dengan senyuman tak berdosanya.

Ingin rasanya Jiwoo mencakar wajah tampan sahabatnya itu tanpa ampun. Meski sebenarnya ia mengerti bahwa pria itu tidak memiliki alasan untuk menjelaskan perihal menghilangnya selama seminggu tanpa ada kabar. Jiwoo paham jika keduanya bukan sepasang kekasih yang mengharuskannya untuk selalu saling menghubungi satu sama lain. Lagi pula, itu juga bukan pertama kalinya Jungkook menghilang begitu saja tak ada kabar setelah kencan buta. Namun, entah kenapa kali ini Jiwoo merasa sebegitu kesalnya pada Jungkook.

Di tambah lagi, di saat pria itu muncul, hanya karena dia ingin bercinta dengan Jiwoo. Apa kabar dengan gadis yang di di jodohkan ayahnya melalui kencan buta seminggu yang lalu?

Jiwoo belum menanyakan soal itu. Ia hanya tidak mau mendengar apa yang tidak ingin ia dengar. Bisa saja sebenarnya Jungkook masih berhubungan dengan gadis itu. Namun, mungkin pria itu sedang bosan dan ingin kembali bercinta dengan Jiwoo. Itu bisa saja benar karena Jungkook memang seberengsek itu.

Jiwoo menaikkan kedua alisnya. "Menurutmu?"

Ada jeda untuk beberapa detik sebelum Jungkook kembali membuka mulutnya dengan senyuman asimetris. "Tapi kau tidak terdengar seperti sedang marah ketika mendesahkan namaku tadi malam. Ah... Jungkook..." dengan suara yang di dramatisir, Jungkook menirukan desahan Jiwoo sambil terpejam.

"Ya!" Jiwoo memukul paha Jungkook hingga membuat pria itu tergelak. Lebih terhibur karena melihat wajah sang puan yang terlihat merona oleh ucapannya barusan. Semakin gemas saja, pikirnya.

Jungkook meraih sebelah tangan Jiwoo dan menggenggamnya dengan tangannya yang besar. "Aku akan memasak makan malam lagi. Apapun yang kau mau, akan kubuatkan." Tambahnya dengan lembut. Kali ini senyuman dan tatapannya terlihat begitu tulus. Berbeda dengan tatapan jenaka yang di perlihatkannya tadi. "Jangan marah lagi ya, Jiwoo sayang."

Wajahnya kembali merona merah begitu mendengar Jungkook menyebutnya dengan sebutan tadi. Kupu-kupu di dalam perutnya mulai berterbangan dengan brutal oleh perasaan senangnya.

Jiwoo terdiam. Menatap wajah tampan sahabatnya, tak habis pikir karena ia kembali luluh hanya karena tatapan dan senyuman itu. Belum lagi ketika Jungkook meraih tengkuk sang puan dan menariknya hingga membuat bibir keduanya bertemu. Memagut bibirnya dalam ciuman lembut.

Degup jantung Jiwoo bertalu dengan kencang di saat Jungkook mengelus pipinya dengan tangan yang lain. Dia sangat terbuai oleh perlakuan Jungkook hingga dengan refleks membuat kedua tangannya mengalung pada leher Jungkook. Seketika rasa kesalnya menguar tak bersisa oleh cumbuannya. Jungkook memang pandai dalam hal seperti ini.

Lumatan yang tadi terasa lembut berubah dalam begitu Jungkook memeta rongga mulut Jiwoo dengan lidahnya. Suara sengal napas dan decapan bibir keduanya mengudara. Gerakan keduanya menjadi berantakan hingga pada akhirnya Jungkook melepas ciuman untuk kembali menyibukkan bibirnya yang sudah bengkak dan basah pada ceruk leher Jiwoo.

DandelionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang