Jiwoo mengembuskan napasnya dengan keras sembari memijat keningnya ketika kepalanya terasa berdenyut oleh pening yang gadis itu rasakan. Dia juga menutup kedua matanya begitu pandangannya mulai terlihat berpendar karena terus menatap layar tanpa henti. Pasalnya di saat istirahat yang lainnya di gunakan untuk makan siang, hari ini Jiwoo sengaja melewati makan siang untuk terus bekerja di depan komputernya.
Sudah seminggu ini jam tidur Jiwoo tidak begitu teratur oleh pikiran yang menghantui benaknya. Setelah obrolannya dengan Haneul, Jiwoo jadi lebih banyak terdiam dan tidur terlambat. Dia seperti itu karena memikirkan apa yang di sarankan Haneul untuk menyudahi hubungan rumitnya bersama Jungkook. Di satu sisi, Jiwoo memang ingin mengakhirinya karena dia tidak mau lagi merasakan sakit yang sama jika hubungan keduanya berlanjut. Mau sampai kapan Jungkook terus mempermainkan perasaannya?
Namun di sisi lain, Jiwoo enggan untuk melepasnya begitu saja.
Bukan hanya karena Jiwoo sudah terlalu mencintai Jungkook, namun juga karena Jiwoo tak pernah membayangkan bagaimana nantinya tidak ada Jungkook di hidupnya.
Tidak hanya Jungkook yang selalu membutuhkan presensi Jiwoo di sampingnya, namun gadis itu juga membutuhkan presensi sahabatnya yang sudah menemaninya dari dulu.
Bisa dikatakan keduanya sudah saling bergantung.
Di tambah dengan janji yang pernah gadis itu ucapkan tanpa tahu bahwa untaian katanya akan menjadi sebuah ikatan kuat untuk keduanya hingga sulit untuk di lepaskan. Sekarang gadis itu benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi situasi seperti ini.
Dan lagi setelah kembalinya Jungkook dari New York, pria itu menjadi bersikap lebih manis. Biasanya Jiwoo yang akan membuatkan sarapan atau makan siang untuk di bekal, namun sudah seminggu ini pria bermarga Jeon itu yang membuatnya.
Setiap malam Jungkook juga akan tertidur sambil memeluk Jiwoo. Seakan-akan pria itu takut sang puan akan menghilang begitu saja.
Jika begitu, apa yang harus Jiwoo lakukan untuk menghindari orang yang paling di cintainya itu? Karena gadis itu yakin, tidak akan mudah melupakannya meskipun pria itu sering kali membuat perasaannya hancur berkeping-keping.
Karena rasa peningnya tak kunjung mereda, Jiwoo menyandarkan punggungnya pada kursi. Mencoba mengistirahatkan tubuhnya yang sedari tadi duduk tegak di saat bekerja.
"Nona Kim?"
Merasa terpanggil, Jiwoo membuka kedua matanya dan menoleh ke arah sang atasan yang baru saja memanggilnya. "Ya, Chief?"
Yoongi tidak langsung menjawab. Yang pria itu lakukan hanyalah memperhatikan wajah gadis di hadapannya dengan pandangan menelisik. Kedua mata monolitnya seakan sedang mencari jawaban yang di carinya tanpa bertanya terlebih dulu.
Dan jujur saja, sorotan matanya membuat Jiwoo tidak tahu harus bereaksi apa selain rasa canggung dengan degupan jantungnya yang mulai berdebar. Agak sedikit keanehan oleh perasaannya saat ini. kenapa juga Jiwoo harus berdebar di atas normal ketika Yoongi hanya menatapnya? Jiwoo tidak mengerti. Ada sorotan yang membuatnya terlihat berbeda dari sebelumnya.
"Hari ini kau tidak perlu lembur." Katanya, lalu kembali menatap layar komputernya. Melirik Jiwoo sebentar seperti ingin melihat reaksi sang puan sebelum kembali menatap ke depan.
Jiwoo mengerjap. Agak sedikit terkejut dengan ucapan atasannya yang tak terduga. Pasalnya sekarang jam sudah hampir menunjukkan pukul empat dimana jam normal pulang tanpa lembur. Apa itu artinya sekarang Jiwoo bisa bersiap untuk pulang?
"Sekarang masih awal bulan," Yoongi kembali bersuara. Kini tanpa menatap Jiwoo. Sepuluh jarinya dengan lihai mengetikkan surel yang sedang di buatnya untuk melaporkan hasil pekerjaan yang selesai ia kerjakan. "Manfaatkan waktu luang tanpa tumpukkan dokumen untuk beristirahat di rumah." Lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelions
Fanfiction"Dia mengingatkanku akan bunga dandelion. Meski terlihat rapuh, namun sebenarnya bunga itu memiliki arti pengharapan, keceriaan dan cinta. ketiga kategori itu merangkap menjadi satu pada dirinya. membuatku tak begitu takut untuk kembali berharap aka...