3. Memory Box

5.2K 423 17
                                    

Setelah meletakkan sepatu di rak, Rigel membuka pintu rumah. Tenaganya seperti habis terkuras. Perjalanan yang biasanya dapat ditempuh dalam waktu sekitar tiga puluh menit, molor menjadi satu setengah jam akibat adanya kecelakaan yang mengakibatkan lalu lintas menjadi tersendat.

"Bu, aku pulang!"

"Iya, Ibu sedang di dapur, Nak!"

Rigel tersenyum. Sudah menjadi kebiasaannya selalu mengumumkan kepulangannya ke rumah agar ia bisa mendengar sahutan ibunya. Rumahnya bukanlah rumah yang besar, maka jika ada seseorang yang berteriak, suaranya akan terdengar ke seluruh ruangan.

"Ibu masak apa hari ini?" Langkah Rigel terhenti tiba-tiba. Tubuhnya mematung saat melihat ada seseorang yang bukan ibunya sedang duduk di kursi makan dan melambaikan tangan padanya. Orang itu adalah Ose.

Belum sempat Rigel mengeluarkan pertanyaan, tiba-tiba ibunya keluar dari dapur sambil membawa mangkuk besar berisi masakan.

"Malam sekali kamu pulangnya. Macet parah ya tadi?" tanya Ibu. Rigel memang sudah memberi pesan akan terlambat sampai di rumah saat bus-nya terjebak kemacetan tadi. "Duduk sini. Ini ada Ose baru datang. Kamu masih ingat sama Ose, kan?" Ibu bicara sembari meletakkan mangkuk yang dibawanya di meja makan, lalu duduk.

Sorot mata Rigel seketika berubah menjadi dingin. Ia kini mengerti apa maksud perkataan Ose sebelum meninggalkannya di lobi kantor tadi. Dengan sikap yang lebih tenang, ia duduk di kursi di samping ibunya.

"Lama juga ya, kita nggak ketemu Ose. Sudah berapa tahun, Nak?" tanya Ibu pada Rigel.

"Enam tahun," jawab Rigel datar.

Ose mengangkat kedua alisnya mendengar jawaban Rigel, mungkin sedikit meledek. "Wah, betul, sudah enam tahun aku nggak pulang ke Indonesia. Nggak nyangka ternyata Kak Rigel perhatian juga ke aku, Bu."

Ibu tersenyum lalu meraih tangan Ose dan menepuknya pelan. "Tentu Rigel perhatian. Kalian kan sudah kenal dari kecil. Waktu kecil, kalian kalau pergi kemana-mana selalu berdua, udah seperti truk gandeng. Karena sekarang kalian sudah ketemu lagi, kalian ngobrol dulu, deh. Pasti ingin kangen-kangenan, kan? Sambil nunggu Ibu goreng ayam buat lauk makan malam kita. Kalian sudah lapar, belum?"

"Lapar banget, Bu. Aku kangeen masakan Ibu. Kangen berat, melebihi kangenku ke Kak Rigel," gurau Ose yang disambut tawa bahagia oleh Ibu.

Rigel melirik ibunya yang beranjak pergi ke dapur. Setelah memastikan ibunya telah berkutat dengan kesibukannya di dapur, ia kembali membuka percakapan dengan Ose.

"Jadi ini yang lo maksud dengan hadiah kejutan?"

Wanita itu hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Iya. Hadiah itu adalah gue. Surpriseeee!" Tanpa ragu Ose merentangkan tangan dan menggoyang-goyangkannya di depan wajah Rigel.

Rigel menghela napas. Tiba-tiba saja ia merasakan lelah yang teramat sangat. "Apa tujuan lo sebenarnya, Se? Kenapa lo nggak pernah capek melakukan ini?"

"Elo. Elo adalah tujuan gue," jawab Ose mantap.

"Gue nanya serius."

"Gue juga jawab serius."

Rigel mulai frustasi dengan jawaban Ose. Melihat sikap Ose yang seperti ini membuat ingatan masa kecilnya kembali hadir dalam benaknya.

"Jangan ngikutin aku terus. Aku mau main bola sama temen-temen."

"Nggak mau! Oce mau ikut Kak Gel! Oce juga mau bola!"

Rigel remaja yang saat itu masih berumur lima belas tahun hanya bisa memandang gadis kecil bermata bulat yang sedang menangis di hadapannya itu dengan putus asa.

Catch The Devil [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang