6. The Distance Between Us

3.2K 404 19
                                    

Ose menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Saat ini ia sudah berada di depan pagar rumah Rigel dan sedang mempersiapkan diri menghadapi amukan pria itu. Sepulang kantor tadi ia sengaja tak langsung pulang, melainkan berdiam diri dulu di Starbucks selama satu jam dan menghabiskan dua jenis minuman yang berbeda hanya untuk menenangkan perasaan.

Jika ditanya kenapa, jawabannya tak lain tak bukan adalah, karena Rigel.

Setelah apa yang ia lakukan di hadapan semua rekan kerja Rigel dan ia masih berharap bisa selamat?

Ose menghembuskan napas panjang seolah dengan begitu sesak di dadanya ikut terangkat.

Terkadang sifat impulsifnya ini sungguh menyulitkan diri sendiri.

Penyesalan memang selalu datang paling akhir. Padahal waktu tak dapat diulang, dan ia tak mungkin bisa menarik kata-katanya lagi.

Tangannya kemudian membuka gerendel pagar sepelan mungkin. Setelah menutupnya kembali, matanya menatap sekeliling dan telinganya berkali lipat menjadi lebih siaga.

Kakinya setengah berjinjit lalu mulai bergerak maju. Selangkah ... demi selangkah. Perlahan ..., dan hati-hati.

Yak, padahal sedikit lagi sampai ke pintu, tiba-tiba terdengar sebuah perintah yang sukses membuat kakinya membeku.

"Jangan masuk dulu."

Ose mengernyit mendengarnya. Sekujur tubuhnya langsung terasa berat. Dengan enggan ia memutar dirinya, menghadap ke arah asal suara tersebut.

"Sini lo."

Bahkan walau kini sedang menunduk, hanya dari nada suaranya saja ia bisa membayangkan ekspresi marah Rigel dengan jelas.

Meski enggan, ia paksakan kakinya bergerak mendekat ke arah pria itu.

Rigel sedang berdiri di teras samping rumah, di sebelah sebuah kursi ayunan panjang berwarna hijau tua. Ternyata Ose tadi tak melihatnya karena sosok Rigel tersembunyi oleh bayang-bayang pohon.

Ketika Ose sudah mendekat, Rigel mengedikkan dagunya ke arah kursi, memberi perintah Ose untuk duduk di situ.

Dan masih dengan kepala tertunduk, Ose mendudukkan dirinya sesuai perintah Rigel.

"Lihat gue."

Ose mengangkat wajah takut-takut. Setelah jarak mereka begitu dekat, kini ia bisa melihat ekspresi Rigel yang seperti ingin mencekiknya.

"Gue ngijinin lo tinggal di sini karena gue menjaga hubungan Ibu dan Mama lo. Tapi bukan berarti lo bisa berbuat seenaknya dan meremehkan gue."

"Gue bukannya mau meremehkan lo, Gel ...."

"Kalau bukan pingin meremehkan gue lalu apa? Lo udah ngomong di depan semua anak buah gue kalau Ibu menitipkan pesan lewat lo seakan-akan lo sama gue akrab sampai bisa saling menitipkan pesan dari orang tua. Gue tanya sekarang, apa Ibu benar-benar minta lo menyampaikan pesan itu?"

Jawaban yang keluar dari bibir Ose terdengar lemah. Begitu lemahnya sampai hampir-hampir tak sampai ke telinganya sendiri. "Nggak .... Gue bohong ...."

"Berani-beraninya lo bawa-bawa Ibu dalam kebohongan lo! Lalu menurut lo, Ibu bakal suka kalau sampai tahu lo udah memakai namanya untuk perbuatan kekanak-kanakan seperti itu?"

"Gue paham kalau lo marah, tapi tolong jangan laporkan gue ke Ibu. Gue takut Ibu juga akan ikut marah ke gue ...."

"Kalau gitu berhenti bikin gue kesal!"

Bentakan Rigel sukses membuat Ose kembali menunduk.

"Jadi ...." Rigel berkata lambat.

Tubuh Ose seakan mengerut ketika kedua tangan pria itu mengukungnya, berpegang di sandaran besi kursi ayunan di kedua sisi tubuhnya.

Catch The Devil [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang