36. Vice Versa 1. 1

2.6K 252 2
                                    

Rigel bersandar pada Ose.

Tubuhnya sudah tidak menyisakan kehangatan untuk melawan, tak ada kekuatan untuk menemukan jalan keluar. Ia merasakan rasa asin saat ada lelehan air turun melewati bibirnya.

Kenapa air mata ini tak kunjung berhenti padahal ia sekarang sudah tak menangis?

Rigel menengadah. Dilihatnya wajah Ose bersimbah air mata.

Ah, rupanya air mata wanita itu ....

Rigel tersenyum tipis. Kenapa Ose selalu saja bersusah payah menangis untuknya?

"Kenapa lo balik lagi?" tanya Rigel dengan suara parau.

Ose menunduk menatap Rigel. Wajah pria itu pucat, basah, dan kantung matanya begitu tebal. Matanya lalu menyusuri sekujur tubuh Rigel.

Tubuh pria itu menggigil. Tetesan muntahan masih tersisa di bawah dagunya. Dan ada luka di buku-buku jarinya. Semua itu sudah menjelaskan pada Ose tentang apa yang barusan terjadi.

Ose tersedu. "Maaf ...." Dirapatkannya pelukannya pada Rigel.

"Maaf untuk apa?"

"Untuk gue yang cuma bisa menuntut lo bahagia tanpa menunjukkan jalannya. Gue selalu menyamakan elo dengan standar gue. Gue lupa kalau cara berpikir setiap orang beda. Yang kelihatannya mudah buat gue, belum tentu mudah juga buat lo."

Rigel terdiam.

"Bukan lo yang egois. Tapi gue. Karena gue nggak pernah mau mengerti kesakitan elo. Gue selalu melihat dari sisi gue terus. Nggak pernah coba melihat dari sisi lo. Lo harus selalu terlihat kuat supaya Ibu juga kuat padahal lo punya trauma karena ayah lo. Semua yang lo bilang ke gue itu betul, Gel. Gue mana bisa ngerti, karena keluarga gue lengkap dan gue nggak pernah mengalami yang lo alami." Jemari Ose menyisir rambut Rigel dalam pelukannya. "Tapi Gel, gue mau belajar. Ajari gue untuk melihat dari sisi lo. Supaya gue bisa paham perasaan lo. Supaya gue nggak cuma bisa menghakimi, tapi juga bisa ngertiin di saat lo sedang capek." Ia menopangkan dagu pada puncak kepala pria itu lalu berbisik, "Tolong jangan menyerah. Ijinkan gue menemani lo cari kebahagiaan. Let's find happiness together. Please ...."

Rigel merapatkan tubuhnya pada Ose, membenamkan diri. Seketika tersadar akan upayanya selama ini untuk menahan diri merasakan sensasi ini. Bagai perenang yang sudah menghabiskan waktu berjam-jam melawan arus, akhirnya ia harus menyerah karena kelelahan.

Keberadaan Ose membuatnya begitu hangat dan aman.

"Kalau lo sedih, biarkan gue tahu supaya gue bisa hibur lo. Dan suatu saat kalau gue lagi sedih, gue minta tolong lakukan hal yang sama ke gue. Lo mau kan, Gel?" Ose menangkup wajah Rigel dengan telapak tangannya. Matanya berusaha menangkap bola mata pria itu. "Lo mau, kan?" tegasnya sekali lagi.

Rigel tak lagi punya kekuatan untuk menyangkal. Selubungnya robek, dan Ose telah melihat dirinya seutuhnya.

Mungkin akhirnya ia sekarang bisa keluar dari sudut gelapnya. Ia ingin terbebas dari semua ketakutan yang mengukungnya selama ini. Ia ingin menyambut harapan yang ditawarkan Ose. Ingin membiarkan wanita itu memperbaikinya.

Perlahan Rigel mengangguk. "Vice versa ...," ucapnya lirih.

Ose balas mengangguk gembira. Air matanya kembali berlinang. "Iya.Vice versa. Let's make it, two of us." Diterjangnya Rigel begitu bersemangat sampai hampir terjatuh, andai Rigel tak segera menahan beban badannya dengan sebelah lengannya.

"Berat ...," kata Rigel kemudian.

Ose buru-buru menegakkan diri dan menjerit panik. "Aduh! Maafin gue. Ada yang sakit?" Ia mengapit wajah Rigel dengan kedua tangan lalu membuat wajah itu menoleh ke kanan dan ke kiri. "Tulang lo ada yang patah?" Tangannya meraba sepanjang sisi tubuh Rigel dengan cepat. "Kepala lo nggak bocor, kan?" Ia kemudian menarik kepala Rigel untuk mengintip sisi belakangnya.

Rigel menggeleng. "Gue nggak apa-apa, cuma ...."

"Apa? Cuma kenapa? Bilang ke gue, lo cuma kenapa, Gel? " Ose menatap Rigel, khawatir.

"Cuma ... gue pasti kelihatan menyedihkan di mata lo ...."

Ose menguatkan diri saat jantungnya terasa seperti diremas. Ia bingung harus senang atau sedih dengan kata-kata pria itu.

Bagi yang tak mengenal Rigel, mungkin akan menyangka saat ini Rigel sedang mengkhawatirkan penampilannya karena imej pria itu yang selalu terlihat sempurna tanpa cacat.

Tapi Ose tahu yang sebenarnya, Rigel masih takut menunjukkan kerapuhannya.

"Gel, inget kata-kata gue ini. Gue nggak pernah memandang lo sebagai orang yang menyedihkan. Setiap orang punya kelemahan. Tak terkecuali. Itu manusiawi. Bukan salah lo kalau Ayah lo brengsek. Bukan salah lo kalau Ibu sekarang sakit. Jangan selalu merasa bertanggung jawab atas semua masalah. Wajar kalau lo merasakan takut dan sedih. Itu justru menunjukkan empati lo yang besar. Lo bukan psikopat. Lo manusia biasa. Gue juga. Dan manusia diciptakan untuk merasakan sakit dan terluka. Tapi juga diberi kekuatan untuk melewati itu semua." Ose mengusap kepala pria itu, lalu menyeka sisa air mata dan keringat di wajahnya. Ia menanti reaksi yang Rigel berikan sambil bertanya dengan harap-harap cemas, "Jadi mau nggak lo percaya dan ngikutin apa kata gue?"

Saat Rigel mengangguk, Ose tak tahan untuk tak memeluknya lagi.

***

Rigel memperhatikan Ose yang sedang menekan tombol flush di toilet dan membersihkan noda darah di permukaan keramik benda itu menggunakan tisu.

Wanita itu lalu mencuci tangannya di wastafel dan membasuh wajahnya. Setelah selesai membersihkan diri, ia berkata pada Rigel. "Lo tetap cakep walaupun penampilan lo kacau gini. Tapi kayaknya lebih baik kalau lo ganti baju sebelum ketemu Ibu lagi. Cuci muka lo dulu deh, sini."

Rigel menurut. Ia ikut mencuci wajahnya. Lewat sudut matanya, diliriknya Ose sedang menggeser ember besar berisi beberapa tongkat pel yang ternyata digunakan wanita itu untuk menahan pintu masuk ruang toilet agar tak terbuka.

"Soalnya tadinya gue takut kalau ada orang yang masuk terus lihat kita. Ini kan toilet cowok. Gue udah deg-degan tadi waktu masuk, takut gue dikira orang mesum. Untung toilet ini sepi. Jadi gue ganjel aja pintunya pakai ember ini biar dikira orang yang mau masuk, toiletnya dikunci karena sedang rusak," jelas Ose tanpa dipinta ketika disadarinya Rigel memperhatikannya.

Tetapi pria itu masih saja memperhatikannya walau ia sudah memberikan penjelasan.

Ose kemudian menegakkan tubuh dan bertanya, "Kenapa merhatiin gue terus?"

Mata Rigel berubah menjadi sayu. "Kaki lo ...," katanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.

"Hah? Kaki gue kenapa?" Ose menunduk memperhatikan kakinya.

Saat itulah baru disadari oleh Ose bahwa ternyata bagian bawah roknya sobek. Kedua lututnya juga berdarah.

"Kaki lo luka karena jatuh waktu gue dorong lo ...," sesal Rigel.

"Ooh ini? Perasaan tadi nggak kerasa apa-apa, tapi kok sekarang lumayan perih, ya? Hahah-hah." Ose sengaja tertawa agar memberi kesan bahwa ia tak terganggu oleh lukanya pada Rigel.

Perasaan bersalah langsung menyeruak di hati Rigel, karena telah menjadi penyebab Ose sampai harus mengalami semua kesulitan ini.

"Nggak usah ngelihatin gue dengan mata sedih gitu. Lo tahu sendiri kalau gue ini kuat. Luka dikit kayak gini doang sih, keciiilll." Ose menjentikkan jarinya sembari mencibir Rigel.

Ketika tak ada perubahan pada ekspresi wajah pria itu, Ose lalu menggandeng tangan Rigel. "Udahlah, yuk, kita ke mobil aja. Biar lo bisa ganti baju, lalu kita ke kamar Ibu. Lo nggak jadi pergi, kan?" tanya Ose takut-takut.

Saat Rigel menggeleng, Ose tersenyum lega. Sambil berjalan terpincang-pincang, ia lalu membimbing Rigel kembali menuju mobil Leon terparkir.

***

Vice Versa : istilah latin yang diterjemahkan secara literal ke dalam bahasa Inggris menjadi "the other way around" atau "the position being reversed" atau bisa juga berarti "saling" dalam bahasa Indonesia.

Catch The Devil [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang