5. Terasing

447 88 4
                                    

"Kamu tidak memiliki pilihan bukan?" Lagi, Gara menunjukkan senyum tak bersalahnya. Kepasrahan Linda membuatnya merasa di atas angin.

"Baik," Linda mengangguk. "Kamu benar, tapi saya melakukan ini semua demi papa." Lanjutnya kemudian mengikuti langkah panjang Gara.

"Assalamualaikum," Linda mengucapkan salam kepada keluarga besar Gara. Ia sangat gugup, saat tatapan mereka terarah ke arahnya. Mau tidak mau ia harus berjuang sendirian,  di saat Gara yang sebagai calon tunangannya itu tidak memperdulikannya sama sekali.

"Salam sama papa juga, nggak sopan banget, hijab doang yang gede! Akhlak minus!" Adalah Naura, ibu dari Gara yang langsung menghardiknya saat Linda akan duduk tanpa bersalaman dengan Herlambang dan beberapa laki laki lainnya yang jelas jelas bukan mahram bagi Linda.

"Maaf, bukan mahram tante." Linda menjawab dengan suara yang ia atur sedemikian lembut agar enak di dengar. Linda tentunya ingat, bahwa seseorang di tusuk kepalanya dengan besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.

Dengan alasan apapun itu, jangan bermudah mudah untuk di sentuh.

"Halah, nanti juga jadi mahram. Gaya aja ngomong mahram, kamu di sentuh laki laki lain aja mau!"
Naura dengan terang terangan tidak berusaha bersikap baik kepada Linda, bahkan di pertemuan pertama mereka.

Gara? Jangan harapkan laki laki itu, karena dia lebih asyik dengan ponselnya ketimbang mengurusi Linda yang sudah pias, menanggung malu dan sesak di dadanya.

Jika pertemuan pertama saja sudah terasa seperti ini, apalagi setelah menikah. Linda takut, tapi berusaha bersangka  baik kepada keluarga Gara. Mungkin mereka belum mengenalnya.

"Sudahlah ma, Linda jadi takut." Herlambang bersuara, menengahi perdebatan yang di lakukan istrinya.

"Biarkan saja! Biar dia sadar diri."
Kata Naura tak mau mengalah.

"Jadi pekerjaan kamu guru?" Tara , adik laki laki Gara bertanya, berusaha mencairkan suasana yang menegang. Ia memperhatikan wajah Linda dengan seksama, memang cantik seperti yang kakaknya katakan.

"Iya." Jawab Linda membenarkan. Ia mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman, namun bagaimanapun ia berusaha tetap saja dirinya seperti orang asing yang masuk ke keluarga Gara.

"Ada usaha sampingan?" Hera, adik perempuan Gara juga bertanya. Gadis itu terlihat tulus, berbeda dengan tatapan keluarga Gara yang lainnya.

"Ada, dua butik di Bandung dan di Jakarta."

"Ck, begitu saja bangga. Kamu belum melihat calon Gara yang lainnya. Jauh di atas kamu. Dan bisa di bilang kamu ada di kasta terendah." Naura berdecak, benar benar tidak tau jalan pikiran anak dan suaminya yang mau mau saja menampung Linda sebagai calon menantunya. Padahal di luaran sana masih banyak wanita yang mau dengan anaknya. Contohnya saja cucu wakil presiden, Juwita Mahameru, sudah cantik, menjadi polisi sekaligus dokter, atau sebut saja dia memiliki double degree, di tambah Naura yang begitu menyukainya.

Linda menunduk, meremas gamisnya, ia beristighfar di dalam hati. Memohon agar di kuatkan menghadapi ibu Gara.

"Assalamualaikum, om.. tante.. kak Gara... " Adalah Juwita, yang baru saja Naura agung agungkan di dalam hati.  Wanita itu masih berseragam polisi, menyalami seluruh keluarga Gara tanpa terkecuali.

Ehem, kecuali Linda yang tampak terkejut mengetahui bahwa 'saudara' tidak langsungnya itu begitu akrab dengan keluarga Gara. Jika begitu mengapa papanya bersikeras agar ia yang di jodohkan dengan Gara, bukan Juwita? Melihat betapa akrabnya wanita itu dengan Gara, Linda rasa mereka cocok.

Benar, Juwita adalah anak dari ibu tiri Linda. Atau sebut saja Juwita adalah anak tiri papanya. Atau garis miring, anaknya pelakor.

Juwita anak yang selalu papanya elu elukan, cantik pintar dan berprestasi. Berbeda dengan Linda dan Laudya yang lebih memilih melakukan apapun keinginannya. Seperti mau kuliah di mana, dan ingin bekerja seperti apa. Mereka menentukannya masing masing, meskipun harus berakhir babak belur seperti yang pernah Linda alami.

Marrying Mr PoliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang