Hari yang di nanti Linda pun tiba, ia sudah bersemangat sejak subuh hari, menyiapkan segala keperluan Gara, termasuk menyiapkan sarapan sekaligus makan siang yang nantinya akan Linda bawa ke rumah sakit. Awalnya Linda ingin makan di luar, tapi mengingat skandal perselingkuhannya belum juga selesai, ia jadi mengurungkan niatnya untuk makan siang di luar.
"Nanti bagaimana saya harus bicara dengan teman teman kamu itu?" Gara mendorong kursi rodanya, mendekati Linda yang sedang menyiapkan sarapan mereka. Ia tersenyum lebar melihat isterinya yang begitu bersemangat, mempersiapkan segala keperluannya.
"Kamu tidak perlu memikirkan topik pembicaraan. Nanti juga kamu akan terbiasa dengan suasana kajian. Lagian nih, kita mau kajian, artinya kita mau mendengarkan orang berbicara, bukan kita yang berbicara." Linda terkekeh pelan, tak menyangka jika suaminya begitu mempersiapkan diri untuk hadir di kajian.
"Di sana ada Galih?" Gara memeluk lutut isterinya saat bertanya, ia takut mereka bertengkar jika kembali membawa Galih ke dalam pembicaraan mereka. Tapi apa boleh buat, Gara memang se-cemburu itu jika menyangkut dengan Galih. Karena seperti yang pernah Linda katakan sebelumnya, Galih itu jauh di atasnya. Galih bisa saja menggaet Linda dengan pesonanya, jika laki laki itu mau.
"Aku tidak tahu," Linda mengelus rambut Galih, memikirkan kembali janji janji mereka sebelumnya. Tentang dirinya yang belum mencintai Gara, lalu Gara yang mengatakan akan berjuang agar bisa berharga di matanya. "Aku tidak akan mengkhianati kamu, meskipun aku tidak mencintai kamu. Kamu harus percaya denganku, begitupun aku akan percaya kepada kamu." Linda memeluk tubuh besar Gara, mencoba meyakinkan pria itu bahwa ia tidak akan pernah mengkhianati pernikahan mereka. Meskipun berita di luaran sana menampakkan sebaliknya.
"Saya baru sadar, kamu berhenti menggunakan kata 'saya' ketika berbicara dengan saya. Terimakasih." Gara mencoba berdamai dengan rasa cemburunya, ia tidak bisa mengatakan bahwa hatinya baik baik saja, tapi setidaknya ia harus mulai mempercayai bahwa Linda adalah perempuan yang baik, yang tidak mungkin mengkhianatinya.
"Ayo sarapan, setelah itu kita siap siap kerumah sakit." Linda mencoba menetralkan degupan jantungnya, terlalu dekat dengan Gara terkadang membuatnya merasa malu. Malu karena, ....ah entahlah ia juga bingung dengan perasaannya. Mungkin karena kehidupan pernikahan mereka selalu dihiasi dengan perdebatan, jadi saat seperti saat ini, terlalu dekat membuatnya merasa malu.
Linda menyuapi Gara bergantian dengannya. Sampai nasi goreng yang tadinya satu piring penuh kini tandas tak bersisa.
"Jadi kita di sana hanya mendengarkan saja," Gara bertanya setelah menerima segelas air yang Linda berikan untuknya.
"Kamu bisa bertanya, nanti di akhir biasanya ada tanya jawab, nanti aku siapin buku sama pulpen kalau kamu mau nanya." Linda gemas dengan pertanyaan Gara yang berulang. Ia mau heran, tapi mengingat jika Gara tidak pernah samasekali mengikuti kajian secara offline, jadi ia menahan komentar di ujung lidahnya yang ingin menggoda Gara.
"Harus menulis nama?" Gara kembali bertanya. Ia lamat lamat memperhatikan wajah Linda yang mulai tersenyum.
"Jangan cantumkan nama. Nanti malu, apalagi jika pertanyaan kamu aneh, bisa bisa jama'ah memperhatikan kamu terus."
"Kamu manis kalau tersenyum." Ucap Gara, yang sukses membuat Linda menghentikan senyumnya, lalu memutuskan pergi ke dapur untuk mencuci piring.
.
.
.
"Papa tidak mau tahu, kamu harus setuju untuk menceraikan Linda!! Kamu tidak malu memiliki istri pezina seperti dirinya! Mau ditaruh di mana wajah papa jika kamu mempertahankan dia!!"
Alih alih pergi ke tempat kajian, Gara malah berakhir di apartemennya, dengan sang papa yang langsung memarahinya begitu ia memasuki apartemen. Ia memang sengaja tidak ingin di ganggu orang tuanya hingga ia menolak jika ingin di kunjungi atau sekedar berbicara melalui ponsel. Karena ia hanya ingin mencurahkan perhatiannya, juga perasaannya untuk Linda, mendengar keluh kesah istrinya jauh lebih baik bukan? Lagipula ia belum siap jika harus melawan kedua orangtuanya. Namun ternyata ketidaksiapannya membuat orang tuanya nekat menemuinya.
"Kamu ke kamar saja," Gara menyuruh Linda pergi, ia tahu ini belum berakhir. Mungkin awal dari segalanya. Karena ia tidak mau Linda terus terusan menjadi korban dari keluarganya.
"Aku tidak ingin menceraikan Linda. Lagipula aku sudah mencabut laporan gugatannya, pengadilan agama setuju. Jadi Papa dan mama tidak bisa terus menerus mengintervensi pernikahan kami." Gara berujar tegas, ia bisa melihat wajah papanya yang sudah mulai memerah.
"Kamu tahu bukan bahwa ini pernikahan politik!! Harusnya kamu sadar jika sekarang semuanya harus berakhir!! Kamu tahu alurnya bukan? Kesepakatan papa dari awal adalah kamu bisa menikahi Linda lalu berpisah jika sudah waktunya." Herlambang menarik nafas, ia tidak menyangka anaknya akan berubah melawannya.
"Itu bukan kesepakatan. Dari awal aku sudah bilang dengan papa, aku suka Linda. Aku mau dia menjadi istriku. Papa kira KENAPA aku memilih dia daripada yang lain? Karena dia berbeda. Dia mau repot-repot mengurusku, menyiapkan semuanya dari awal aku membuka mata sampai aku tidur lagi. Sementara pilihan papa yang lain akan lebih memilih menjalani hidup masing masing, karena mereka tahu ini pernikahan politik. Papa pikir aku bodoh, sebelum memilih Linda aku sudah melakukan survey, dan hampir semua pilihan papa mau membuka paha mereka tanpa ikatan pernikahan." Gara mengepalkan tangannya, ia tidak pernah membayangkan suatu hari akan melawan orang tuanya karena berbeda pandangan. Ia adalah anak yang penurut, dari awal yang menentukan hidupnya adalah papanya, sementara ia menurut tanpa menuntut. Hari ini akhirnya ia melawan papanya, dan ia menyesalkan itu.
"Lalu bagaimana dengan Linda yang mau dijadikan Lon*e oleh laki laki lain!! Kamu tutup mata?! Ini sudah cukup membuat nama keluarga kita tercemar!!" Suara Herlambang menggelar, seolah menjadi pecut yang menyakitkan bagi Gara.
"Papa tahu semuanya rekayasa bukan? Hanya saja momen nya pas saat ini, pencalonan papa dan Papa Erwin sudah dekat. Harus ada berita wah agar kalian di sorot bukan? Dulu aku memang ingin bercerai dengan Linda jika bosan, tapi aku tidak akan bisa bosan. Seminggu tanpa perhatiannya saja membuatku menggila, apalagi seumur hidup?" Gara menangis, ia tidak sanggup melawan papanya, orang yang paling diseganinya. Badannya memang kekar, suaranya memang berat, namun ia tidak akan bisa mengeraskan suaranya di depan orang yang disayanginya.
"Sialan!! ANAK KURANG AJAR!! KAMU PIKIR PAPA MENYEKOLAHKANMU UNTUK INI!!" Herlambang menampar Gara, dua kali. Saat akan melayangkan bogemnya kembali ia menahan tangannya, melihat anaknya yang duduk diam di kursi roda tanpa mau menahannya, meskipun Gara mampu. Untuk sekelas Jendral seperti anaknya, sudah terlatih melawan andai nyawa berada di menit terakhir. Namun anaknya itu diam, memandangnya dengan nanar.
"Papa bisa memukulku, tapi jangan paksa aku meninggalkan Linda." Gara bersikeras, tetap memandang papanya tanpa rasa takut sedikitpun.
"Baik, kalau begitu kamu papa akan buat Linda meninggalkan kamu!!" Ucap Herlambang kemudian meninggalkan putranya. Putra kebanggaannya, putranya yang paling dia sayangi, putranya yang paling penurut kini berbalik melawannya. Atau mungkin membencinya.
"Kamu baik baik saja?" Linda bergetar menahan tangis, dari awal ia mendengarkan apa yang dikatakan mertuanya. Ia tahu hari ini akan tiba, tapi tetap saja sangat sakit.
Gara tidak mengatakan apapun, meraih Linda agar duduk di pangkuannya, kemudian ia menangis dalam dekapan Linda.
"Semua akan baik baik saja." Linda menepuk bahu Gara, menenangkan suaminya. Meskipun Linda tidak yakin ia akan baik baik saja, pasti papanya akan berulah, mencari cara agar mereka benar-benar bercerai.
"Kamu harus percaya kepada saya." Gara mengusap air mata Linda, bahkan saat mereka ingin bersama pun terhalang kesepakatan politik. Begitu berat mempertahankan orang yang disayanginya.
.
.
.
Masih ngarep 50 komentar 😭😭Btw semoga sehat selalu ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr Police
SpiritualLinda Hermawan tak kuasa menolak perjodohan yang di usung sang papa demi kelangsungan politik. Impian Linda yang selama ini mendambakan suami yang taat hanya tinggal angan angan, saat hari demi hari ia jalani dengan rasa dilema, bahkan setelah hari...