20. Keputusan.

431 82 26
                                    

Awalnya Gara berfikir ia akan baik baik saja jika memaksa Linda hidup dengan keinginannya. Jadi ia pikir selama Linda tidak terluka fisiknya ia akan baik baik saja. Ternyata hatinya memang mulai luluh. Hatinya yang egois dan kerap memaksakan pendapat pada akhirnya tunduk. Ia ingin menjadi berharga di mata Linda. Ia juga ingin diperjuangkan oleh Linda sebagaimana perempuan itu memperjuangkan keluarganya.

"Kamu hanya perlu melepaskan saya."

Jawaban Linda membuat Gara tidak bisa membendung sesak di dadanya, hingga air matanya jatuh begitu saja. Ia masih memeluk Linda, meskipun sakit kembali menyerang area pahanya karena terlalu lama dalam posisi bungkuk.

"Saya tidak ingin kamu pergi kemanapun. Cukup di sini dengan saya, dan anak anak kita nanti. Kamu tidak usah menghawatirkan papa kamu, mama kamu, adik kamu, karena mereka dalam pengawasan saya. Kamu hanya perlu mengajarkan saya, bagaimana agar saya berharga dimata kamu."
Gara mengecup kening Linda dengan perasaan campur aduk, jika bisa ia ingin membawa Linda ke tempat yang jauh.

"Saya sudah merasakan sakitnya di fitnah, di hina, di ejek. Hanya sekali ini saja, lepaskan saya. Saya akan melaluinya seperti ujian ujian sebelumnya. Kamu akan bahagia dengan pilihan keluarga kamu, pun aku akan tenang hidup jauh dari kamu." Linda menghela nafasnya, ia berusaha kuat, menjaga kewarasannya agar ia tetap bisa menjadi seorang hamba yang bersyukur. Tak perduli dengan apapun ujian yang di terimanya, semuanya akan berlalu. Mungkin sekarang masih sakit, tapi setelah sebulan, dua bulan hatinya akan baik baik saja.

"No! Kamu harus bertahan dengan saya. Saya mencintai kamu. Saya... Agh..
Gara mengeram, nyeri di pahanya sudah tidak bisa ia tahan lagi, hingga terpaksa ia melepaskan Linda dan kembali menegakkan tubuhnya. Baru sekarang rasanya ia tidak berguna karena tidak bisa berjalan, bahkan kemana mana Linda masih ia susahkan.

"Kamu baik baik saja? Apa kita perlu ke rumah sakit?" Linda mengusap air matanya kasar, ia melupakan kata katanya yang akan keluar saat melihat raut kesakitan Gara dan terlihat wajah suaminya yang sudah di penuhi keringat.

"Tidak usah ke rumah sakit. Ke kamar saja. Saya mau berbaring."

Tanpa disuruh duakali Linda mendorong kursi roda gara menuju kamar. Lalu membiarkan bahunya di peluk gara sebagai tumpuan agar gara bisa menopang kakinya naik ke atas ranjang.

"Mau aku lepaskan bajunya?"

Gara hanya mengangguk sebagai jawaban. Pahanya luar biasa nyeri, ia tidak menyangka eveknya akan sedahsyat itu.

"Saya tidak mau menggunakan baju." Gara menolak saat Linda akan memakaikannya baju kaos tipis sebagai pengganti sweater nya.

"Duduk di sini...
Gara menepuk ranjang kosong di sebelahnya. Tak mau berdebat, Linda pun duduk di samping Gara.

"Kamu harus menceritakan awal mula papa kamu tidak menyukai kamu. Nanti saya akan bantu sebisa saya."

".....

"Saya serius. Berikan saya satu kesempatan. Saya ingin berharga bagi kamu."

"Kamu mau belajar agama sama aku?" Linda bertanya pelan. Ia juga pusing jika menyangkut kekeras kepalaan Gara.

"Memangnya harus?"
Gara menautkan alisnya, lalu buru buru meralat ucapannya dengan mengatakan, "tentu saja saya mau."

"Kalau kamu tidak mau, itu kesempatan terakhir kamu. Tak lucu jika tujuan saya ke surga sementara kamu tidak pernah ingin bergerak, bergabung dengan saya." Linda memainkan tangan kanan Gara, menulis huruf abstrak di telapak tangan besar suaminya.

"Papa dulu orangnya baik. Baik banget, tapi setelah terjun ke politik semuanya berbeda. Sampai saat ini yang dia pikirkan adalah tentang tahta dan kehormatannya. Dia sanggup mengorbankan kami, keluarganya agar jalannya mulus. Kamu bukan lawannya, mama saja yang sudah menjadi direktur bisa ia otak atik, apalagi kamu." Linda hanya menuturkan secara garis besar, karena jika menyangkut papanya itu akan panjang sekali ceritanya.

Marrying Mr PoliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang