Gara menatap laptop di depannya dengan gamang, ia tidak tahu harus memulai dari mana. Tapi melihat wajah sembab Linda membuatnya mengeraskan tekad, ia harus melakukan sesuatu agar istrinya tidak hidup dalam ketakutan. Ketakutan menghadapi Erwin, laki laki yang begitu berharga di mata istrinya.
Gara tahu, ada banyak luka yang istrinya lewati sampai sebesar sekarang. Ada banyak luka dan air mata yang Erwin torehkan untuk Linda. Mungkin Linda tidak pernah mengeluh kepadanya, tapi ia tahu di setiap sujud istrinya selalu menyebut nama Erwin di dalamnya. Bukan cemburu, namun ia tak pernah suka dengan cara ayah mertuanya yang selalu mengontrol Linda.
"Lagi ngapain?" Linda bertanya sambil lalu, membawa setumpuk pakaian kotor yang akan di cucinya.
"Ke sini sebentar." Gara mengibaskan tangannya, menyuruh Linda mendekat. Ia gemas melihat wajah polos istrinya yang tanpa hijab. Dengan piyama terusan berwarna Milo, lalu rambut istrinya itu tercepol asal, membuat wajah istrinya yang oval terlihat begitu mempesona di matanya.
"Mau cium," Gara benar benar mencium pipi Linda, lalu tertawa karena Linda memukul bahunya.
"Terimakasih sudah mencuci." Ucap Gara, mencium tangan Linda dengan paksa."Udah, aku mau nyuci ini. Nanti telat mau jenguk Rosa juga." Linda menggerutu, melepaskan diri dari cekalan tangan Gara. Bisa bisa pekerjaannya tidak akan selesai jika terus meladeni keisengan Gara.
"Arti Saranghae apa sih?" Gara belum putus asa, ia melihat seluit istrinya yang sedang memasukkan cucian ke mesin cuci.
"Aku cinta kamu," Linda menyahut sambil menakar detergen, lalu memasukkannya ke dalam mesin cuci.
"Sama, saya juga cinta sama kamu!"
"Terserah..." Linda menahan senyumnya. Meskipun gombalan Gara receh, tapi ia cukup terhibur. Awalnya ia memang tidak sadar kalau Gara mencoba menggombal, itulah sebabnya ia menjawab sambil lalu. Kalau ia tahu Gara menggombal, pasti ia tidak akan menjawabnya.
"Jadi kamu itu suka Korea dari kapan?" Gara bertanya sambil mengetik sesuatu di laptopnya. Ia melirik istrinya yang mulai membersihkan dapur.
Memang apartemennya tidak bisa dikatakan luas, karena terdiri dari dua kamar tidur berukuran enam kali lima, lalu dapur dan ruang tamu yang hampir menyatu. Hanya minibar setinggi satu meter yang menjadi penyekatnya. Lalu di dapur ada kulkas, oven, kompor, serta mesin cuci baju dan mesin cuci piring yang bersisian. Setelah menikah perabot dapurnya sudah bervariasi, tidak seperti dulu yang kosong melompong.
Maklum saja, dulu ia lebih senang hidup di kantor daripada di apartemennya."Mungkin sekitar enam tahun yang lalu. Kenapa?"
"Kenapa kamu suka Korea?" Gara kembali bertanya, kini tangannya sudah berpindah mengambil kue kering di atas meja. Memakannya lamat lamat sambil memperhatikan Linda yang berlalu lalang.
"Karena mereka berbeda. Hal hal yang mereka raih tidak gampang. Seperti contohnya untuk menjadi seorang idola mereka harus mau di training bertahun tahun, berlatih ini itu dan banyak hal lainnya. Lalu dramanya bervariasi, jika temannya tentang dokter, para aktor dan aktrisnya serius mempelajari tentang ilmu kedokteran, pun dengan peran pengacara, polisi, chef dan sebagainya. Jadi istilahnya itu mereka totalitas banget. Aku sedikit tahu istilah istilah medis dari drama Korea.
Hal yang nggak pernah aku lihat di televisi Indonesia. Contohnya jika di Indonesia adegan kecelakaan terjadi, padahal kakinya yang ditabrak, herannya kepalanya yang di perban." Linda memaparkan sambil mengelap mini bar, memindahkan barang barang yang sekiranya tidak ia butuhkan."Tapi mereka bukan muslim." Ucap Gara, ia tahu bahwa istrinya menyukai Korea tapi ia tidak menyangka bahwa istrinya sangat menyukai Korea.
"Yap, makanya kami hijrah. Kami mencoba mengalihkan rasa cinta kami kepada Islam. Memfokuskan hal hal yang menjadi vital bagi seorang muslim. Setelah melaluinya kami senang." Jawab Linda, ia melihat Gara yang kembali sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.
"Hal apa yang membuatmu senang? Aku tidak merasakannya saat belajar agama dulu."
"Banyak, contoh aku yang sebelumnya menyukai Korea, aku tahu semuanya hanya fatamorgana semu yang menjanjikan kenikmatan palsu. Karena faktanya banyak orang Korea yang bunuh diri. Jika di dramanya amat sangat romantis, realitanya di Korea sana banyak sekali kekerasan kepada perempuan, pembulyan dan hal hal yang bikin aku membuka mata. Jika dengan memainkan musik hidup ini bahagia, berapa banyak pemain musik yang overdosis obat obatan terlarang lalu meninggal dunia. Pun seseorang yang mengaku beriman lalu mencintai musik, dan selogan mereka adalah hidup ini nggak seru tanpa musik. Mereka yang mengatakan demikian tidak BERANI mengklaim bahwa mereka yang meninggal dunia dalam keadaan memainkan musik, mati dalam keadaan Husnul khatimah.
Lalu ada banyak sekali yang membuatku terkejut setelah belajar agama, contohnya kisah romantis Ummu Sulaim Rodiallahu Anha, beliau menolak laki laki yang super kaya raya, gagah dan terpandang karena laki laki itu tidak beriman. Lalu ada kisah sahabat, Umar, Utsman, Ali, Abu bakar, Zaid, Sa'ad, dan banyak kisah mereka Rodiallahu anhum wa'ardho. Kisah heroik mereka mengharu biru, mencintai nabi Muhammad shalallahu alayhi wasallam dengan segenap cinta, mengorbankan harta dan juga jiwa mereka demi agama ini. Hal yang wajar adalah mencintai mereka, karena kelak kita akan di kumpulkan dengan orang yang kita cintai. Kan nggak lucu banget kalau aku cita citanya masuk surga, terus cintanya sama orang yang ahli neraka." Linda tertawa, menertawai kebodohannya di masa lalu yang membela mati matian idola yang disukainya. Padahal kelak tidak satupun dari mereka bisa menolongnya. Jangankan mereka yang orang asing, anak dan orangtua pun tidak bisa saling menolong kelak di yaumul hisab.
"Drama Korea itu diciptakan untuk memupuk angan-angan, karena realitanya kehidupan di sana tidak seindah drama Korea. Teman saya bertugas dulu malah mengeluhkan masalah anak anak, katanya dia ingin punya anak, tapi pasangan tidak ingin memiliki anak."
"Aku tahu sih sedikit, isunya populasi penduduk mulai menurun di sana."
"Saya mau ke kamar," Gara melipat laptopnya, kemudian berusaha memakai tongkatnya. Lelah rasanya duduk meskipun sofanya empuk.
"Pakai kursi roda saja!" Linda buru buru melepaskan lap di tangannya, membantu Gara yang terlihat kepayahan menggunakan tongkatnya. Dokter memang menyarankan Gara menggunakan tongkat agar kakinya terbiasa bergerak. Tapi masalahnya bahu Gara juga tertembak, jadi Linda merasa sangat kasihan ketika melihat suaminya yang menahan sakit.
"Saya harus berlatih, nanti juga terbiasa." Gara menerima bantuan Linda hingga ia bisa berdiri tegap, lalu berjalan dengan tongkat yang menyangga tubuhnya. Langkah demi langkah memang terasa menyakitkan, bahunya sakit, lalu perutnya merasakan hal yang sama, hingga akhirnya ia bernafas lega karena sampai di kamar dengan selamat. Ya, memang seberharga itu nikmat sehat kala sakit menyerang tubuhnya.
"Aku tinggal ya, kamu istirahat saja. Nanti aku bangunin kalau sudah azan." Linda mencium pipi Gara, lalu meninggalkan suaminya yang sedang tersenyum lebar.
Gara menarik selimutnya, lalu menarik meja berbentuk L terbalik, sangat mudah ia gunakan ketika bekerja di atas ranjang seperti ini. Meja ini dibelikan isterinya seminggu yang lalu di salah satu situs belanja online. Baru saja Gara mengetik satu dua kata di laptopnya, dering ponsel milik istrinya berdering nyaring. Gara melihat id penelepon lalu tersenyum penuh arti melihat bahwa itu adalah ayah mertuanya.
"KURANG AJAR! KAMU BERANI MENENTANG PAPA SEKARANG! LIHAT SAJA IBU DAN ADIK KAMU AKAN MERASAKAN AKIBATNYA!!"
Gara menjauhkan ponsel dari telinganya, ia tidak terkejut saat langsung mendengar cacian ayah mertuanya. Karena sebelumnya ia pernah melihat chat chat yang lebih sadis daripada itu.
"KAMU MAU MELIHAT IBU KAMU MENDEKAM DI PENJARA!! SIALAN HARUSNYA SAYA MUSNAHKAN KAMU!!"
"Sebelum papa melakukannya, langkahi dulu mayat saya." Gara berucap tenang, ayah mertuanya memang lebih kejam dari ayah tiri karena benar benar tega mengorbankan anaknya demi kepentingan politik.
.
.
.
Assalamualaikum, masih nunggu keajaiban 50 vote 🤭
Btw sehat selalu ya shalihah....

KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr Police
SpiritualeLinda Hermawan tak kuasa menolak perjodohan yang di usung sang papa demi kelangsungan politik. Impian Linda yang selama ini mendambakan suami yang taat hanya tinggal angan angan, saat hari demi hari ia jalani dengan rasa dilema, bahkan setelah hari...