(7) Mimpi yang Menjadi Nyata

14 4 0
                                    

“Bismillahirrahmanirrahim perkenalkan sebelumnya, saya Arfan Aulian Azhar adalah seorang lelaki biasa yang ingin meminang anak Bapak dan Ibu, bagaimana kiranya? Apakah berkenan?” pemuda itu berkata tanpa rasa gugup.

Aku mengangkat kepalaku kala suara beratnya berucap mengucap basmalah. Ku melihat ayah, menunggu apa yang akan ayah katakan.

“Sebelumnya saya menyambut baik akan niat kalian pada putri kami, tapi kembali lagi keputusan ada pada putri kami. Silahkan Adyra,” Semua mata kini teralih dan memandangku.

“Baiklah, jika itu yang terbaik bagi Adyra dan kak Arfan yang mau menerimaku sepenuh hatinya, bismillahirrahmanirrahim Adyra menerima lamaran kak Arfan,”

Benar, ku menerima lamarannya. Selama tiga bulan terakhir aku selalu memimpikan hal yang sama dalam mimpiku.

“Alhamdulillah,” ujar semuanya.

Ternyata, hari ini kami langsung bertunangan, dan acara pernikahan akan dilangsungkan 3 hari lagi. Para orang tua setuju, karena memang tidak baik menunda hal baik.

Selesai acara pemasangan cincin, kak Arfan mengajak berbicara berdua di taman dekat rumah. Aku menyetujuinya.

Kami berjalan beriringan, tentu saja dengan menjaga jarak. Malam ini langit begitu cantik ditemani rembulan dan bintang-bintang.

“Jadi…” ujarku memecah keheningan malam yang sunyi ini.

“Kakak hanya ingin mengajak dek Dyra jalan-jalan, untuk mencari udara segar.” Menatap lurus kearah depan.

“Boleh aku bertanya kak?” tanyaku.

“Tentu boleh,” ujarnya dengan menoleh kearahku sambil tersenyum. Kami pun berhenti. Kebetulan di bawah lampu taman dan di belakangku ada kursi duduk. Kami saling menatap.

“Boleh aku tahu umur kakak?” itulah awal pertanyaanku padanya.

“Tentu, umurku baru memasuki 25 tahun. Bagaimana denganmu?” rupanya selisih empat tahun.

“Masih umur 21 tahun kak. Mengenai lamaran kakak, mengapa kakak ingin mempersuntingku? Sedangkan, aku saja baru lulus SMA kak.” ku berpaling darinya dan menatap taman yang indah ini.

“Kakak tanya sama adek, mengapa adek menerima kakak?” ia balik bertanya.

“Emm… Jika sudah berjodoh tidak bisa menolak (?)” pernyataan yang lebih mengarah ke pertanyaan.

Ku kembali menatapnya.

“Sebenarnya… usai melaksanakan shalat tahajud, aku selalu memimpikan kakak selama tiga bulan terakhir, aku menanyakan hal itu pada Ibu jauh-jauh hari sebelum datangnya hari ini.” lanjutku.

Aku menatapnya, apakah ia akan percaya dengan ucapanku?

“Begitu juga dengan kakak. Kakak memiliki jawaban yang sama denganmu.” Ia tersenyum.

Berarti ia mengalami hal yang sama. 








------- TBC -------

Nantikan part selanjutnya ya... 😆

Jangan lupa votenya.

Hitam & PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang