001

589 64 3
                                    

Axel tidak pernah bosan, duduk selama mungkin di bangku sudut perpustakaan. Terpojok dan sendirian, itu tempat strategis baginya untuk membaca puluhan buku-buku bertemakan sihir. Saat bel istirahat berbunyi, Axel sudah duduk bersama buku-buku yang menumpuk di hadapannya. Pikirannya hanya terfokus pada buku yang tengah ia baca.

Di usianya yang sudah menginjak 17 tahun, ia masih memiliki keinginan untuk menjadi seorang penyihir. Memang terdengar konyol dan tidak mungkin. Namun, bagi seorang Axel Steward itu bukan sebuah ketidak mungkinan. Sudah sejak kecil ia memiliki cita-cita ini. Berbagai ejekan dan hinaan sudah sering ia terima. Tapi itu tidak membuatnya jatuh dan mengurungkan niatnya.

Kepala Axel bergerak bersandar pada sandaran kursi kayu yang ia duduki, Kala sinyal nyeri yang dimulai di titik stimulasi berlanjut ke saraf, kemudian menuju sumsum tulang belakang hingga sampai ke otak. Membaca dengan posisi yang sama terlalu lama membuat beberapa bagian tubuhnya berdenyut sakit.

Sepasang manik Axel bergulir, netranya menangkap sosok Danu yang berjalan menghampirinya. Melihat Danu berada di perpustakaan merupakan hal yang mustahil. Bukan apa-apa, pasalnya Danu menanggap perpustakaan adalah tempat keramat yang pantang ia masukin. Maklum saja, Danu menganggap begitu karena rasa bencinya terhadap semua hal yang berkaitan dengan perpustakaan.

"Baca buku penyihir lagi?" Suara rendah milik Danu menelusup keheningan yang beberapa saat lalu sempat menguasai indera pendengaran Axel.

"Lu masih terobsesi jadi penyihir?" Tanya Danu lagi,

Axel mengulum senyum sembari menatap pada buku yang tengah ia baca. Danu selalu menanyakan pertanyaan yang sama dan yang sudah dia ketahui dengan jelas apa jawabannya.

"Xel-xel, penyihir itu cuma ada di dongeng Xel" timpal Arga yang baru saja datang,

Axel menghela napasnya, sudah kesekian kalinya Arga dan Danu mengusiknya. Sejak mereka saling mengenal, tidak pernah sehari pun mereka melewatkan kesempatan untuk mengusik Axel. "kalian kalo mau hujat gue mending diem dari pada nambah dosa. Dah tau dosa banyak malah hujat orang" ujar Axel.

Untuk beberapa saat mereka terdiam, bergelut dengan isi kepalanya masing-masing. Sebelum akhirnya bell masuk memecah keheningan diantara mereka. Ketiga laki-laki ini membereskan buku yang berada di hadapan mereka. Lalu, beranjak pergi, kembali ke kelasnya.

Axel mendengus kesal, waktu membacanya berkurang seperempat jam. Waktu istirahat hanya 30 menit, dan kedua temannya itu menghampirinya saat waktu kurang lima belas menit. Axel sudah menjadwalkan bahwa hari ini ia selesai membaca satu buku. Namun siapa sangka. Kurang dari dua halaman lagi buku itu selesai dibaca, kedua temannya datang dan mengusiknya.

Arga dan Axel berada di satu kelas yang sama. Sedangkan Danu berada di satu kelas yang sama dengan Farrel. Mereka berempat sudah bersahabat sejak mereka kecil. Entah keberuntungan atau kesialan, kini mereka berada di satu sekolah yang sama.

Axel menghela napasnya, kala manik hazelnya menangkap tulisan pada papan tulis di depan kelas. "tugas, Bu guru sedang rapat" ucap Axel yang membaca setiap kata yang tertulis di sana. Untuk beberapa alasan ia menyesal kembali ke kelasnya dengan tepat waktu. Jika tau tidak ada guru yang mengajar, lebih baik ia menghabiskan waktu di perpustakaan. Membaca buku-buku yang ia sukai.

Axel melangkahkan kakinya menuju bangku, tempat ia duduk. Langkahnya terhenti saat seorang gadis menyodorkan beberapa lembar kertas ukuran A4. Rona wajah pada gadis itu membuat dahi Axel menyerit, kebingungan.

'asik dapet surat cinta' ucap Axel dalam hati,

Gadis remaja itu menyodorkan spidol papan tulis, Axel kembali menyeritkan dahinya. Mungkinkah gadis ini meminta Axel menerima spidol itu kalau Axel menerima pernyataan cintanya? Axel yang merasa dirinya paham dengan apa maksud gadis itu, lantas menyunggingkan senyumnya.

"maaf ya gue belum bisa jawab sekarang, gue baca dulu ya" ujar Axel,

Gadis itu terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka. Rupanya Axel dan gadis ini berbeda pengertian. Kedua manik Axel membulat saat ia membaca apa isi tulisan pada lembaran kertas itu. Axel diam untuk beberapa saat. Gadis itu bukan mau memberi surat cinta padanya, melainkan mau memberi kertas tugas dari Ibu guru.

"Harga diri gue" gumam Axel saat menyadari kebodohannya, seperti pemantik yang memancarkan api dan membakar habis harga dirinya.

Axel bangkit, berjalan menuju papan tulis di depan untuk melakukan tugasnya sebagai sekertaris kelas. Ia menghela napasnya saat berhasil melewati gadis yang memberikan kertas berisi tugas padanya. Hal memalukan ini membuat Axel merasa tidak nyaman. Ia bahkan mendadak diserang gugup, ketika tengah menulis di papan tulis. padahal sebelumnya ia juga sering menulis di papan tulis. Sepertinya kegugupannya di sebabkan oleh pandangan gadis itu. Sorotnya seperti singa yang tengah mengawasi mangsanya.

"Xel, tugas apa?" Salah satu dari 34 siswa bersuara, mengalihkan atensi Axel yang sempat terpaku pada sosok gadis yang masih belum ia ketahui namanya itu.

"Biologi" jawab Axel,

Hening, tidak ada satupun orang yang bersuara. Mereka fokus menulis apa yang Axel tulis di papan tulis. Kini Axel berhenti menulis. Ia berbalik badan, iris berwarna hazel miliknya menyapu setiap sudut ruang kelas ini. Aneh. Ia sama sekali tidak menemukan apa yang ia cari. Yap gadis itu, gadis yang masih belum Axel ketahui namanya. Dia menghilang, pergi entah kemana. Padahal Axel ingin bertanya pada gadis itu apa tugasnya harus di kumpulkan sekarang, namun yang ia cari menghilang. Bahkan Axel tidak mendengar ada yang melangkah melewatinya menuju pintu.

Sayup-sayup terdengar suara sepatu pantofel yang menapak pada ubin di koridor kelas. Rapat guru sudah berakhir, tugas ini tidak jadi di kerjakan di rumah. Ekspetasi mereka terlalu tinggi ketika mendapat sebuah tugas tanpa sebuah tuan. Mereka pikir bisa bersantai karna tidak ada yang mengawasi. Kenyataan menampar kuat ekspetasi, sang tuan kembali, mereka tidak dapat bersantai lagi.

Daun pintu terbuka, menampilkan wanita setengah baya yang tengah tersenyum sambil menatap muridnya penuh harap. "Sudah selesai?" Tanyanya,

Diam, tidak ada yang menjawab. Axel meletakan kertas dan spidol yang ia pegang di atas meja guru. Ia segera membanting punggungnya sendiri pada senderan kursi yang tertutupi tas punggung. Cukup melelahkan menulis 10 soal bercabang, kini ia harus menyalin kembali tulisannya pada buku tulis yang berada di hadapannya. Inilah konsekwensinya menjadi murid teladan dengan jabatan sebagai sekertaris kelas.

NiscalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang