013

101 24 2
                                    

Kedua manik Aluna terus menatap Axel. Ia menggigit bibir. Gadis ini sungguh bingung, bagaimana cara mengatasi degup jantungnya yang semakin lama semakin cepat. Setelah semalaman memikirkan tentang sesuatu dalam hatinya, kini Aluna mengerti. Bahwasanya ia telah mencintai seorang Axel. Setelah semua yang ia lalui bersama Axel, bukankah mungkin jika ia melabuhkan hatinya pada Axel.

"Kenapa lu?" tanya Axel.

Aluna berdiri, lalu menundukkan badannya 90 derajat. Pertama kalinya ia memberi salam kepada Axel seperti yang lainnya. Sebelum ini ia sudah berlatih bersama Kipel, pelayan yang di tugaskan menjaganya.

"Apaan sih lu, santai aja kali" cloteh Axel,

Axel duduk di sebelah Aluna. Termangu di tempat, Aluna tidak mampu menyuarakan apapun untuk saat ini. Jantungnya tidak bersahabat dengannya, bahkan ujung jemarinya pun mendingin.

"Kenapa lu diem? Biasanya cerewet"

Aluna memegang dadanya saat indera pendengarannya berhasil menangkap suara berat Axel yang mengalun di tengah keheningan ini.

"Lu kenapa?" tanya Axel lagi.

Ketukan pintu terdengar menggema ke seluruh penjuru ruangan. Mengalihkan perhatian kedua insan yang tengah duduk berdampingan. Axel berdiri, berjalan ke arah pintu. Laki-laki ini melihat dari lubang kecil di daun pintu. Rupanya Ellisha yang datang. Tanpa menunggu lagi Axel membukakan pintu itu.

Ellisha tersenyum saat mengetahui sang putra yang membukakan pintu untuknya.

"Nak kita semua tidur di sini saja. Ini tempat paling aman, karena ayahmu pernah merapalkan mantra untuk membuat perisai pelindung di kamar ini"

Danu, Farrell dan Arga saling melempar tatapan. Setelah masalah pembunuhan menggunakan sihir, indera pendengaran mereka kembali menangkap kata-kata yang tidak logis. Mereka merasa sudah kehilangan akal mereka saat ini. Entah sampai kapan mereka mampu bertahan di dunia ini.

"Axel ayo temani Ibu" tutur Ellisha,

Axel mengangguk, tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Ada yang ingin ia sampaikan pada ibunya. Laki-laki ini menatap ke arah Aluna sesaat, sebelum akhirnya mengikuti Ibunya.

Mereka berdua duduk di kursi rotan yang berada di balkon. Keduanya diam tak bersuara. Akhirnya Axel memutuskan untuk bersuara terlebih dahulu.

"Ibu" serunya,

"Ada apa nak?" tanya Ellisha,

Axel menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. "Axel menyukai seseorang"

Ellisha tersenyum lalu menangkup kedua pipi putranya ini, "Anakku sudah besar, siapa yang sudah memikat hatimu nak?"

"Aluna"

Ellisha terkejut, lalu menghela napasnya, wanita ini memegang tangan putranya dengan lembut. "Dengar Axel, kau adalah putra mahkota kerajaan ini. Jika kau mencintai manusia maka itu merupakan sebuah kesalahan. Kami para penyihir tidak di ijinkan mencintai manusia. Itulah mengapa kami tidak pernah berada di sana"

"Ibu, aku mohon padamu. Akan aku lakukan apapun perintah ibu, asalkan aku bisa bersama Aluna. Aku mencintai Aluna Bu"

Terbesit ide di dalam benak Ellisha, wanita ini menganggukan kepalanya sebagai persetujuan atas permintaan Axel.

"Baiklah, akan aku ijinkan. Tapi dengan satu syarat" kalimatnya menggantung, membuat Axel penasaran dengan apa yang akan Ibunya katakan.

"Kamu harus pergi ke Castlegar Academy dan menjadi putra mahkota yang layak untuk kerajaan ini"

Axel membuka mulutnya, ia tidak tau bahwa Ibunya secerdas ini dalam memanfaatkan keadaan. Castlegar Academy, apapun itu mendengarnya saja sudah melelahkan.

"Bagaimana Axel?"

Axel menghela napasnya dengan pasrah, "iya Bu, Axel setuju"

Ellisha tersenyum senang, akhirnya ia tidak perlu menahan malu lagi ketika Axel berulah di depan anggota kerajaan. Dengan begini Ellisha tidak perlu susah-susah membujuk Axel masuk ke Academy itu. Kebiasaan Axel sebagai manusia sulit di terima oleh seluruh anggota keluarga.

###

Di bawah cahaya lampu temaram, Aluna  berjalan, menyusuri sungai yang berkilauan diterpa cahaya bulan. Malam ini Aluna ingin berjalan-jalan di sekitar kastil, awalnya ia ingin sendirian namun Ellisha memerintahkan beberapa orang untuk melakukan pengawasan yang ketat pada Aluna.

Aluna menepuk pipinya berkali-kali untuk menyadarkan dirinya, tentang rasa yang menggebu dalam hatinya. Mungkin sudah lima jam sejak Axel pergi dari pandangannya. Entah kemana laki-laki itu pergi. Yang pasti Aluna terus mengkhawatirkannya.

Aluna menghentikan langkahnya saat maniknya menangkap iris hitam pekat  yang menyorot ke arahnya. Mengerikan. Satu kata yang terlintas di benak Aluna.

"Lindungi nona Aluna" titah seorang pria yang bertugas mengawal Aluna.

Pria dengan iris hitam pekat itu berlari, namun bukan ke arah Aluna. Merasa penasaran dengan apa yang pria itu lakukan, Aluna lantas menatap ke arah pria itu berlari. Kedua matanya membulat saat melihat Axel tengah duduk di sebuah kursi. Tak salah lagi, pria itu mengincar Axel.

Aluna berlari ke arah Axel, kedua kakinya melakukan tolakan pada tanah. Detik berikutnya Aluna sudah jatuh dan berada di atas tubuh Axel. Sementara Axel, ia terdiam detik itu juga. Pemandangan yang baru saja ia lihat membuat otaknya berhenti beroperasi.

Pria dengan iris hitam pekat itu pergi, rencananya untuk membunuh Axel gagal hari ini.

"Ma-maaf Yang Mulia" ucap Aluna,

Gadis itu berdiri sambil merapikan gaunnya yang berantakan. Para pengawal kerajaan dan beberapa pelayan menghampiri mereka. Beberapa pengawal Axel menodongkan pedangnya pada Aluna. Hal itu membuat gadis ini terkejut.

"Yang Mulia tidak apa?" Tanya Zack,

Axel bangkit, kedua maniknya menatap ke arah Aluna yang sudah ketakutan. Gadis itu diam tanpa bergerak sedikitpun.

"Lepaskan dia" titah Axel. Seluruh pengawal menurunkan senjatanya, menuruti perkataan Axel.

"Lu-ah maksudku kamu. Apa yang kamu lakukan tadi?" Tanya Axel,

Aluna terkejut dengan penuturan Axel yang mulai berubah. Rupanya laki-laki ini perlahan-lahan mulai bersikap layaknya pangeran mahkota. Aluna merasakan perasaan aneh dalam dirinya. Axel berbeda dari biasanya. Dari caranya bicara, dan caranya berjalan.

"Ma-maafkan hamba Yang Mulia" ucap Aluna sembari merendahkan tubuhnya.

"Saya melihat seseorang ingin membunuh Anda Yang Mulia" lanjutnya,

Axel menyeritkan dahinya, membunuh? Yang benar saja. Bagaimana bisa ada pembunuh yang menerobos pertahanan kastil ini. Terlebih beberapa penjaga adalah orang-orang terbaik yang kerajaan miliki.

NiscalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang