003

212 43 3
                                    

Suara gesekan yang di akibatkan oleh alas kaki dan permukaan trotoar terdengar cukup keras. Axel dan Aluna masih berlari, menghindari sekelompok orang yang berlari di belakang mereka. Sampai saat ini belum ada jawaban yang masuk akal di benak mereka, kenapa sekelompok orang itu berlari mengejar mereka.

Netra Axel menyorot pada tanaman pagar, segera ia menarik tangan Aluna agar gadis itu dapat ikut bersamanya. Aluna terkesiap ketika jemari Axel bersentuhan dengan telapak tangannya. Ternyata dugaan Axel benar, tanaman pagar itu memiliki ruang untuknya dan Aluna agar mereka dapat bersembunyi di baliknya. Axel segera berjongkok, Aluna yang melihatnya lantas mengikuti pergerakan Axel.

Deru guliran karbondioksida yang Axel keluarkan membuat Aluna menoleh ke arahnya. Saat ini mereka sudah tak lagi berlari, berkat tanaman pagar yang berada di hadapan mereka.

"Dah aman" gumam Axel,

Sepasang netra Aluna  berkedip beberapa kali. Gadis ini menatap lurus ke depan, mencoba menetralkan kembali deru napasnya.

"Sebenarnya mengapa kita lari?" Tanya Aluna, lantas menilikan pandangan ke arah Axel. Garis rahang Axel terlihat tegas ketika Aluna memperhatikannya dari samping.

Merasa tengah di perhatikan, Axel menoleh, menatap ke arah Aluna. Gadis ini segera mengalihkan pandangannya dengan kaku. Kini keduanya terdiam, entah apa yang mereka tunggu hingga berdiam diri di balik tanaman pagar itu.

Disaat Aluna hendak bangkit Axel menahan lengannya. Gadis ini merasa tidak perlu mempedulikan kehadiran Axel. Lantas gadis itu tetap berdiri dari duduknya.

"gue anter pulang" ucap Axel, lalu berdiri.

Aluna diam, napas gadis ini belum juga berfrekuensi seperti biasa. Derunya napasnya masih memburu. Kedua manik Aluna menatap seorang penjual rujak, pemandangan asing yang pertama kali ia lihat.

"Itu apa?" Tanya Aluna,

Axel mengikuti arah pandang Aluna, laki-laki ini menghela napasnya. "Itu pedagang, dia jualan rujak. Bisa-bisanya lu ngga tau. Anak tetangga gue aja tau itu apa" cibir Axel,

"Kenapa si marah-marah terus? Aluna kan emang ngga tau!"

Axel menggaruk tengkuknya yang tak gatal, laki-laki ini menarik tangan Aluna, keduanya berjalan menuju pedagang rujak di sebrang jalan. Aluna memperhatikan raut wajah Axel, rahang tegasnya kontras dengan tubuh atletis yang dimilikinya.

Mereka sampai tepat di depan pedagang itu, Axel memberikan uang pecahan lima puluh ribu padanya. "Satu ya bang" ucap Axel,

Aluna menatap intens pada buah-buahan yang sudah di potong-potong menjadi beberapa bagian. Beberapa kali Aluna terpelonjak akibat penampakan benda-benda yang baru iya lihat.

"Itu namanya cobek" ujar Axel,

Aluna menyerit gadis ini menghela napasnya. "diem brisik tau, Aluna sedang serius!"

"Orang gue kasih tau biar lu ngga bingung, ngapa ngegas sih?" Ucap Axel, tidak terima.

Rintik air mulai turun membasahi perkotaan. Axel menarik Aluna agar gadis itu tidak terkena terpaan air hujan. Kedua manik Aluna berbinar saat melihat rintik deras yang menetes. Axel menaikan alisnya, ia bingung.

"Air" gumam Aluna sembari mengulurkan tangannya ke depan, dengan tujuan agar terkena air hujan.

Axel menghela napasnya, "lu kenapa si hah? Sebentar-sebentar takjub. Padahal semua yang lu liat itu normal dan bukan hal aneh" cloteh Axel.

Aluna tersenyum senang saat air hujan berhasil mendarat pada telapak tangannya. Untuk pertama kalinya Aluna merasakan dinginnya air hujan, dan untuk pertama kalinya juga Aluna dapat menatap tetesannya secara langsung.

NiscalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang