002

282 52 6
                                    

Axel melangkahkan kakinya masuk ke pekarangan rumah. Ia melangkah dengan ragu. Netranya memindai objek yang ada di hadapannya, untuk memastikan Ayahnya sedang tidak ada di rumah. Untuk beberapa saat Axel terdiam di depan pintu rumahnya. Mencoba mempersiapkan mental sebelum masuk ke dalam.

Mungkin bagi teman-temannya, pulang ke rumah adalah hal yang paling indah. Namun tidak untuk Axel. Rasanya jika ia bisa pergi dari rumahnya, maka ia akan pergi sejauh mungkin.

Perlahan Axel menarik gagang pintu rumahnya. Sorot matanya berubah saat melihat sosok Rendra, Ayahnya yang tengah duduk sambil menyesap secangkir kopi buatan sang istri.

"Kenapa pulang?"

Axel tersentak. Baru dua langkah ia ambil dari pintu namun Ayahnya sudah bersuara dengan nada tinggi. Axel menghela napasnya beberapa kali. Ia mencoba menetralkan deru napas dan degup jantungnya yang tak beraturan. Laki-laki ini tidak menunjukan tanda-tanda bahwa ia akan menjawab pertanyaan Rendra.

Pandangan Rendra tersorot lurus, menatap Axel dengan tajam. Pria itu mengeratkan rahangnya, tanpa aba-aba ia melayangkan pukulannya pada Axel. Dalam sekali hantaman, Axel sudah jatuh tersembab ke lantai.

"Bukankah Ayah sudah pernah bilang padamu? Jangan pulang sebelum mendapat uang. Apa kamu tidak mengerti?"

Tidak cukup puas dengan satu pukulan, Rendra memukul kembali putranya dengan kuat. Kepalan tangan Rendra terlihat begitu kasar saat mendarat di wajah Axel. Rasanya saraf pada wajah Axel sudah tak bisa mengantarkan reseptor rasa sakit menuju otaknya. Terlalu sering menahan dan merasakan sakit hingga membuat setiap inci tubuhnya mati rasa.

Rendra melepas ikat pinggang yang ia pakai. Dengan keras ia mencambuk punggung Axel menggunakan ikat pinggang yang ia genggam kuat dengan tangannya. Sementara Astria, Ibunda Axel sibuk melanjutkan makan siangnya. Wanita itu sama sekali tidak bergeming mendengar suara cambukan yang di hasilkan oleh pertemuan antara tubuh Axel dan permukaan ikat pinggang milik suaminya. Merasa puas, Rendra menyudahi cambukan pada punggung putranya. Dengan langkah gontai pria ini mengambil semangkuk nasi dan melemparkan ke arah putranya.

"Makan, lalu pergi. Jangan kembali sebelum mendapatkan uang!" Bentak Rendra,

Axel meringis, punggungnya terasa panas dan sakit. Sudut bibirnya robek akibat pukulan mentah yang ia dapat dari Ayahnya. Axel bangkit, berjalan dengan perlahan-lahan menuju kamarnya. Netranya menyorot Astria yang masih menikmati makanannya. Axel terlalu berharap bisa mendapat perhatian dari Ibunya. Harapan Axel terlalu tinggi, hingga tidak bisa terjadi. Walaupun Astria mampu memenuhinya.

Belum selesai dengan rasa sakit dan panas yang ada pada luka cambuknya, kini kepalanya berdenyut sakit. Tubuhnya merasakan terpaan hawa dingin dari AC yang menyala di sudut ruangan. Bahkan udara tidak mengasihaninya di saat-saat begini. Persetan dengan rasa sakit, Axel segera menuju ke kamarnya, untuk berganti pakaian.

Astria masuk kedalam kamar saat dirinya sudah selesai membersihkan piring yang ia gunakan untuk tempat makan sebelumnya. Wanita ini duduk di tepi ranjang sembari menghitung uang hasil kerja keras suaminya.

"Apa anak itu sudah berangkat?" Tanya Rendra yang baru saja masuk ke dalam kamar. Astria menggeleng sebagai jawaban, fokus wanita ini masih tertuju pada lembaran uang di tangannya.

Untuk beberapa saat mereka terfokus pada kegiatan mereka masing-masing. Axel yang tengah bersiap-siap untuk berkerja, Astrid dan Rendra yang tengah berbincang mengenai masa depan mereka.

Setelah beberapa saat akhirnya Axel selesai berganti pakaian. Laki-laki ini melangkahkan kakinya, berjalan menuju pintu utama. Ia berhenti, telinganya menangkap suara sayup yang terdengar dari balik dinding. Axel merasa namanya tersebut dalam pembicaraan Rendra dan Astria.

"Kita bisa manfaatkan dia" suara Rendra yang berucap, masuk ke dalam telinga Axel, membuatnya menajamkan indera pendengarannya.

"Tapi mau sampai kapan anak itu tinggal bersama kita mas?" Tanya Astria,

"Astri, saya pasti akan mengatakan pada anak itu. Saat dia sudah tidak berguna untuk kita, barulah kita mengatakan bahwa dia bukanlah anak kita"

Perkataan kedua orang tua Axel menjadi tombak tajam yang berhasil menusuk dan menembus Axel secara tidak langsung. Untuk sepersekian detik laki-laki ini terkejut, ia mencoba menerima kenyataan yang orang tuanya sembunyikan selama 17 tahun lamanya. Perlahan kakinya melangkah menjauhi ruang kamar kedua orang tuanya. Tatapannya kosong namun menajam. Iris hazelnya beberapa kali berkedip berubah warna biru namun tak berlangsung lama. Hanya satu sampai dua detik saja.

###

Aluna Viorella, berdiri di hadapan gerbang berwarna hitam. Maniknya mengamati gerbang itu, sementara isi kepalanya sibuk menimbang-nimbang. Ingin keluar atau tetap di dalam rumah. Sudah 17 tahun lamanya Aluna tidak pernah melihat dunia luar. Kedua orang tuanya mengatakan bahwa dunia luar sangatlah berbahaya. Entah ada bahaya atau memang dusta belaka. Kehidupan Aluna sangat berbeda dengan kehidupan gadis remaja pada umumnya.

Aluna mendorong gerbang hitam itu, senyum manis terukir begitu indah pada wajah pucatnya. Sekilas gadis ini mengamati beberapa hal yang ia lewati. Untuk pertama kalinya ia menginjakan kaki di trotoar jalan.

Aluna berhenti saat melihat jalan raya yang di padati kendaraan. Gadis ini membuka mulutnya tanpa sadar. "Woaaahh... Ini apa" gumamnya sambil terus berjalan menyusuri trotoar.

Suara klakson bersaut-sautan akibat kemacetan lalulintas. Aluna yang merasa terkejut sontak membulatkan kedua matanya. "Hih Bisa diem ngga sih! Berisik tauuuu!" Teriak Aluna sambil menunjuk beberapa mobil yang berada di sekelilingnya.

Gadis ini terus berjalan sambil melihat ke kanan dan kekiri. Sesekali ia tersenyum saat melihat sesuatu yang ia anggap menyenangkan. Kini gadis itu berjalan mundur sambil menghitung petak trotoar yang ia lewati. Beberapa orang melihat aneh ke arah Aluna. Namun gadis itu tidak peduli dan tetap berjalan semaunya sendiri.

Aluna berhenti saat kedua matanya menangkap seorang laki-laki yang tengah duduk di kursi taman. Penasaran dengan laki-laki itu Aluna memutuskan untuk mendekatinya.

Gadis ini duduk di sebelah laki-laki yang tidak ia kenali. Aluna mengerucutkan bibirnya ketika melihat ekspresi laki-laki di sampingnya. Dia terlihat sedih. "Om kenapa?" Tanya Aluna mendadak,

Laki-laki itu menoleh, Yap dia adalah Axel. Dengan sedikit perasaan kesal saat mendengar dirinya di panggil om, Axel membuka suaranya "Apa maksud lu om?" Tanya Axel,

"Ih jelek marah-marah nanti cepet tua loh om, keriput, giginya ompong, banyak ubannya!" Seru Aluna dengan suara keras.

Axel membulatkan mata hazelnya, "kok lu ngegas heh?" Tanya Axel.

Aluna menyeritkan dahinya, gadis ini tidak mengerti dengan apa yang Axel katakan. "Ngegas? Aluna kan ngga bawa motor. Ih omnya bodoh!" Seru Aluna,

"Heh lu ngapa ngegas lagi. Ngga bisa pelan gitu? Tarik napas Weh, napas lu jadi manual kan ngga lucu" cibir Axel,

Ponsel Axel berdering membuat Aluna terkejut. Gadis itu sedikit menjauh dari Axel. Aluna tidak pernah melihat atau memegang benda bernama berbentuk persegi panjang itu.

"Lu kenapa?" Tanya Axel,

Aluna menatap dengan seksama ponsel milik Axel. "Itu apa om?" Tanya Aluna,

Axel tertawa kecil mendengar pertanyaan Aluna, "lu habis keluar dari goa atau menaranya Rapunzel? Jangan bercanda lu, balita aja tau ini namanya apa" ujar Axel,

"ITU DIA!!" suara lantang membuat keduanya terpelonjak.

Entah dari mana datangnya tiba-tiba saja sekelompok orang berlari ke arah Axel dan Aluna. Spontan membuat mereka berdua lari terbirit-birit. Aluna lari dengan lambat membuat Axel refleks memegang tangannya. Mereka berdua berlari tanpa tau apa sebab mereka berlari saat ini.

NiscalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang