KP °° 15

296 59 10
                                    

Ingin menyerah dalam hidup? Ingatlah betapa bahagianya kedua orang tuamu, saat kau lahir ke dunia.

Kegelapan Putih
-
-
-

Keluarga Abram sedang menikmati sarapan di pagi hari yang sejuk ini karena hujan baru saja berhenti turun setelah semalaman membasahi bumi.

Kali ini Putih disuapi oleh Lanang, laki-laki itu terlihat telaten dan berhati-hati dengan tatapan yang tak lepas dari wajah cantik wanita di hadapannya.

"Wah, Ibu. Apa kau yang membuat menu sarapan pagi ini? Rasanya lezat sekali," puji Putih ketika lidahnya merasakan sensasi kelezatan makanannya.

"Pelayan yang memasaknya, sayang," jawab Metha, "namun tentu saja Ibu yang memberi resep kelezatan ini."

Putih terkekeh mendengar jawaban Metha.

"Masakan istriku memang tidak pernah gagal, ini adalah salah satu alasan mengapa aku menikahinya," sambung Abram membuat Metha geleng-geleng kepala.

"Jika suatu saat nanti mataku sudah dapat berfungsi, aku ingin belajar memasak denganmu, Ibu," ujar Putih semangat.

Hal itu justru membuat selera makan Abram dan Metha menurun, mereka saling lempar pandang. Merasa kasihan dengan putri bungsunya.

"Walaupun kau tidak pandai memasak, saya akan tetap menikahimu, Nona," bisik Lanang membuat Putih hampir tersedak makanannya.

"Hentikan bualanmu itu, Lanang!" kesal Putih dengan bibir mengerucut.

Lanang ikut cemeberut, "berani sekali kau menyebut ini bualan? Nona, selagi laki-laki masih bisa memasak, maka memasak bukanlah kewajiban seorang wanita."

"Oh ya?" Kedua alis Putih terangkat.

"Iya, sesungguhnya kewajiban wanita itu adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh laki-laki. Misalnya menyusui anakmu kelak," jelas Lanang membuat Putih mengangguk paham.

"Selamat pagi, semua." Obrolan Lanang dan Putih terpaksa harus berhenti ketika seseorang baru datang ke meja makan.

"Kau telat bangun lagi, Alira?" desis Metha dengan tatapan tak percaya.

"Matamu terlihat bengkak, apa kau menangis, Nak? Siapa yang membuatmu menangis seperti ini?" Abram yang peka langsung bertanya.

Alira meneguk ludahnya susah payah, manik matanya bergerak menatap Lanang, sedangkan yang ditatap hanya memasang ekspresi datar tak terartikan.

Alira masih ingat betul betapa kasarnya Lanang memperlakukannya semalam, membentaknya dengan kata-kata menyakitkan. Hal itu membuat Alira menangis semalaman karena pada hakikatnya belum ada yang pernah membentaknya. Lanang adalah manusia pertama yang membentak Alira.

"Alira?" tegur Abram dengan tangan yang mengusap pipi Alira menyadari putri sulungnya itu melamun.

"Hm?" Alira mengerjapkan mata dan tersenyum kikuk, "tidak apa-apa, Ayah. Semalam aku tidak dapat tidur karena hujan yang lebat juga petir yang bergemuruh."

"Mengapa kau tidak tidur di kamarku saja?" tanya Putih membuat suasana semakin canggung antara Lanang dan Alira.

"Ahaha, mana mungkin bisa seperti itu, Nona. Banyak pelayan di sini, di kamar Nona Alira pun pasti terdapat beberapa pelayan. Benar begitu Nona Alira?" Lanang menatap Alira seolah tatapannya itu menuntut Alira agar menyetujui ucapannya.

Kegelapan Putih (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang