15. Lose

339 58 0
                                    

★ ada di kiri bawah, cukup sekali tekan

★ Happy reading Besties ★


15. Lose



Naya mendorong kening laki-laki dengan telunjuknya. “Gue serius bego.”

“Iya, iya. Lo mau ngomong apa? Tapi ngomongnya jangan lembut-lembut ya, gue merinding dengernya,” pintanya lalu diakhiri dengan kekehan ringan.

Naya menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Sesekali melirik ke arah kaca mobil dan memperhatikan langit gelap yang biasa bersamanya. Naya mengusap sudut matanya karena perasaannya tiba-tiba berubah.

“Gue mau cerita bentar,” beritahu Naya.

“Dulu gue pernah nanya sama ibu gue apa semua manusia itu bakal mati. Gue takut dengan kematian, tapi gue lebih takut orang-orang yang gue sayang mati.”

Masih mengemudikan mobilnya,  Rudy masih memasang telinga  untuk mendengar cerita gadis itu. Ia tahu Naya sekarang ada di posisi sedang serius. Gadis itu tidak ingin disela apalagi dibercandain.

Dari mulut gadis itu terdengar helaan napas sebelum ia kembali melanjutkan ceritanya. “Lo tau apa jawaban nyokap gue pas gue tanya dia bakal mati atau nggak? Dia bilang dia nggak bakal mati kalau gue nurut sama dia. Tapi ... dia tetap pergi ninggalin gue meski gue udah jadi anak penurut.”

“Biarpun ibu gue ingkar janji dengan bohongin gue, gue tetap sayang banget sama dia. Tapi gue tetap aja juga kecewa. Setiap nemenin ibu di rumah sakit, dia selalu bilang akan tetap ada di samping gue. Dia janji akan jadi orang pertama yang ngucapin selamat ulang tahun ke gue.”

Naya mengusap pipinya yang basah. Hidungnya mulai memerah dan kedua matanya sembab.

“Tapi ternyata nyokap juga bohongin gue lagi. Dia tahu kalau hidupnya nggak akan lama, tapi dia selalu bilang kalau dia bakal sembuh.” Isakan kecil itu mulai keluar dari bibir tipis Naya.

Rudy segera menepikan mobilnya dan meraih tubuh Naya ke dalam dekapannya. Ia membiarkan Naya menumpahkan segala perasaannya padanya. Sebelah tangannya dipakai untuk mengusap punggung kecil itu agar perasaan gadis itu membaik.

Naya melepaskan pelukannya dan mengusap jejak airmatanya. Gadis itu berusaha bernapas dengan baik. Setelah cukup tenang, Naya menatap  Rudy.

“Gue kok nangis sih tadi? Apalagi di depan manusia lidi kek lo. Hancur harga diri.” Naya menangis tapi juga tertawa.

Rudy berhasil dibuat melongo. Tak tahu harus membalas dengan kata-kata apa. Ia melihat gadis itu sedang ada di antara sedih dan konyol.

“Soal tadi, jangan lo inget-inget, ya. Apalagi kalau sempet bocor, gue buat lo makin lempeng.”

Menggeleng kecil dengan bibir yang menipis,  Rudy menjawab, “Iya. Tapi lo kalau mau curhat lagi, hubungi gue ya.”

“Buat apa gue hubungin lo?” tanya Naya.

Rudy mendengus. “Ya, buat dengerin curahan hati lo dong, Naya. Gimana sih?”

“Tapi kalau lo mau denger gue curhat, lo harus siapin gue bakso beranak-cucu-cicit, yang level pedesnya membara.”

Rudy mengusap kepala Naya dengan sayang. “Iya, tapi buat apa, ya?”

“Buat dimakan lah, kan enak tuh curhat sampai mewek sambil ngebakso.”

Mendengar jawaban Naya,  Rudy sontak memutar bola matanya jengah. Tadi nangis sekarang malah udah balik lagi sifat aslinya. Gadis itu sangat ajaib.

His Favorite GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang