44. Bullshit

292 62 0
                                    

44. Bullshit



Gadis itu memperhatikan siluet laki-laki yang berdiri di dekat meja makan. Ia berjalan mendekat, baru berhenti ketika pria itu membalik tubuhnya.

Meski lelah setelah melakukan operasi, Damaris tetap memberikan senyum kepada putrinya itu. Pria itu sadar bahwa selama ini hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Seperti ada tembok pemisah di antara mereka.

Dan Damaris ingin memperbaikinya mulai malam ini.

"Naya kenapa belum tidur?" tanyanya lembut.

Sesaat Naya hanya diam. Ayahnya bersikap berbeda kali ini.

"Naya haus," balas Naya.

Damaris tersenyum lalu mengambil gelas dan mengisinya. Pria itu menyodorkannya kepada putrinya yang sampai saat ini Masih bingung dengan perubahan dadakan sikap ayahnya.

Damaris bukan orang yang terang-terangan menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya.

Naya tahu itu.

"Ayah kenapa? Aneh banget."

"Aneh kenapa?" tanya Damaris balik.

"Ya, aneh lah. Tiba-tiba aja peduli."

"Salah ayah peduli sama putri ayah?"

Naya memutar matanya. Kenapa Damaris harus menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan. Naya butuh jawaban, bukan pertanyaan.

"Sini," ajak Damaris.

Naya menurut. Ia menduduki kursi di sebelah pria itu. Perasaannya tiba-tiba berubah. Ia tak biasa ada dalam keadaan canggung seperti ini. Benar-benar tidak mengenakkan.

Ia canggung dengan ayahnya sendiri.

Naya tak percaya, ia benar-benar merasakan itu.

"Ayah tadi beli sate, kamu waktu kecil suka banget makan sate." Damaris membuka bungkusnya, mendorongnya ke depan Naya.

"Ayah tau makanan kesukaan Naya sekarang apa?" Gadis itu menatap miris sate di depannya.

"Sate, kan?"

Payah! Ayah bahkan gak tau Naya sukanya apa. Bisa-bisanya om Satria lebih tau soal Naya. Ayah gak kenal Naya.

Naya memilih mengabaikan ucapan ayahnya. Ia menggigit sate itu. Syukur rasanya enak, sehingga Naya bisa sedikit tenang.

"Belinya di mana?"

Damaris tersenyum. "Di dekat supermarket."

Naya mengangguk-angguk. Gadis itu kembali diam. Tidak tahu harus bicara apa lagi dengan ayahnya. Kalau ia membahas ibu tirinya itu, urat ayahnya pasti langsung menegang.

"Ayah boleh nanya sesuatu?" tanya Damaris.

"Ayah mau nanya apa?"

"Abang gimana kabarnya? Ayah telpon nggak pernah diangkat."

"Abang baik-baik aja," sahut Naya pelan. Meski ia tahu sebenarnya bahwa Jordan tidak dalam keadaan baik-baik saja di sana. Apalagi setelah ia memberitahukan kehamilan ibu tiri mereka.

"Bilangin sama sbang, kalau butuh apa-apa kasih tau Ayah. Abang kayaknya masih nggak mau ngomong sama Ayah." Damaris mengusap sudut matanya.

Ayah kenapa?

Kenapa baru sekarang tanyain Abang?

Ayah, sakit ya?.

"Abang masih marah sama ayah. Ayah sih terang-terangan banget nggak sayang sama ibu, sama Naya, sama Abang juga."

His Favorite GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang