29. Will Never

303 61 1
                                    

29. Will Never

Gadis itu  mengetuk pintu coklat di depannya berkali-kali. Sahutan dari dalam membuat senyumnya mengembang. Ia tidak sabar melihat ekspresi orang itu. Lebih lagi tak sabar untuk menghamburkan dirinya ke dalam pelukan seseorang itu.
   
Pintu dibukakan oleh seorang laki-laki yang kini mengenakan celana pendek dan topless. Matanya melebar sempurna melihat seorang gadis yang kini terus melebarkan senyumnya.
   
“Abang!” serunya lalu menghambur memeluk tubuh laki-laki itu.
   
Jordan mengangkat tangannya untuk membalas pelukan adiknya. Sesekali ia juga mencium puncak kepala gadis itu.
   
Beberapa saat kemudian, Jordan melepaskan pelukannya dan menatap adiknya. “Kenapa nggak bilang sama Abang kalau Naya mau datang?”
   
“Kalau Naya bilang duluan, nanti pasti abang nggak bolehin.” Gadis itu kembali tersenyum menampilkan barisan gigi putihnya.
   
Jordan mengacak rambut gadis itu. “Pinter banget emang.” Ia menarik Naya untuk masuk ke dalam kamar kosannya.
   
“Jadi tujuannya ke sini mau ngapain?” tanya Jordan. Laki-laki itu kini sibuk memilih kaos yang akan dipakainya.
   
Naya merebahkan tubuhnya di atas kasur kecil Kakak laki-lakinya. Kedua tangannya dijadikan sebagai bantalan kepalanya. Gadis itu menatap langit-langit kamar itu dan ingatannya menerawang ke masa lalu.
   
“Gue kangen sama ibu, Bang.”
   
Jordan tak berhenti sesaat ketika ia sedang memakai kaos polosnya. Laki-laki itu kemudian kembali tersadar dan segera menarik turun kaosnya. Ia berjalan mendekat ke arah Naya lalu duduk di samping gadis itu.
   
Tatapannya melemah ketika dari sudut mata gadis itu keluar cairan asin. “Masih ada gue. Lo bisa cerita apa pun ke gue.”
   
Naya bangun dan memposisikan dirinya berhadapan dengan Jordan. Kedua bibirnya mengatup rapat sembari menekuk kening. “Lo selalu bilang gitu, Bang. Tapi, lo juga selalu nolak waktu gue mau ngomong sama lo. Gue tau lo sibuk sama kayak ayah, tapi masa sedikit pun lo nggak punya waktu untuk ngangkat telpon atau balas chat dari gue.”
   
Jordan mengusap pipi Naya yang basah. Rasa sesak itu menghimpit dadanya ketika tetesan air mata itu jatuh semakin deras. Ia tak kuat melihatnya. Jordan menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
   
“Gue baru aja dioperasi bulan lalu, Bang.” Naya terisak kembali.
   
Jordan terkesiap. Tubuhnya menegang mendengar pengakuan adiknya. “Lo sakit apa?”
   
Naya mendongak. “Sekarang lo baru nanya. Kemarin gue mau cerita, tapi selalu bilang sibuk, sibuk, sibuk. Lo selalu sibuk persis banget kayak ayah. Lama-lama, lo makin mirip dengan ayah.”
   
“Lo makin cuek, lo nggak pernah tanyain kabar gue, lo nggak mau tau hari-hari gue itu gimana. Lo cuma sibuk sama diri lo sendiri.” Naya memundurkan tubuhnya.
   
Jordan bisa menangkap raut penuh kecewa pada wajah Naya. Ia merasa gagal menjadi kakak yang baik bagi gadis itu. Dan, Jordan pun merasa benar dengan ucapan Naya. Ia semakin mirip dengan ayah mereka. Sibuk dan tak pernah meluangkan waktu untuk keluarganya.
   
“Gue minta maaf. Gue janji bakal hubungin lo tiap hari.” Ia memegang kedua bahu gadis itu dan menatap dalam netranya.
   
Naya menepis tangan kakaknya. “Nggak usah ngumbar janji kalau lo nggak bisa nepatinnya, Bang. Gue bosen dengernya.”
   
“Di keluarga kita, cuma ibu yang bener-bener sayang. Tapi, Tuhan justru manggil ibu secepat itu.”
   
“Gue sayang sama lo. Lo adek gue satu-satunya dan cuma lo yang gue sayang di dunia ini, Naya.”
   
Naya mengangkat wajahnya. “Kalau lo sayang, dibuktiin, Bang. Lo sayang cuma di mulut doang. Lo nggak pernah ngelakuin apa pun yang bikin gue senang, yang bisa bikin rasa rindu gue ke ibu itu sedikit berkurang.”

Naya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Isakan gadis itu semakin jelas terdengar.

Jordan langsung memeluk erat gadis itu. “Kali ini percaya sama gue, Nay. Gue nggak akan kecewain lo lagi. Gue nggak sama seperti ayah. Gue sayang sama keluarga gue, terutama sama lo.”

Naya mengangkat wajahnya. “Apa lo bisa dipercaya lagi setelah lo selalu kecewain gue, Bang?”

“Kali ini, gue nggak akan biarin lo kecewa lagi. Lo bisa percaya sama gue untuk yang terakhir kalinya.”

His Favorite GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang