13. Lalisa

612 126 11
                                    

"Apa? Lisa hilang?" Jisoo berdiri dari duduknya saat mendapat kabar tersebut dari ayah sang kawan.

"Bagaimana ini bisa terjadi paman?"

"Paman sudah melapor dan setelah dilacak, ponsel Lisa ditemukan didalam selokan yang jaraknya jauh sekali dari tempat mobilnya ditemukan pertama kali dengan keadaan ban kempes."

"Apa Paman yakin? Masalahnya apa motif pelaku menculik Lisa?"

Jennie melirik dari bawah, Lisa hilang? Siapa yang punya masalah dengannya? Yang dia tahu Lisa sering bertengkar dengan Rosé, tapi tidak mungkin gadis itu melakukannya mengingat dia yang ramah dan terkadang mengacuhkan Lisa.

"Jangan-jangan dia diam-diam membunuh dari dalam." gumam Jennie.

"Siapapun pelakunya, dia pasti sudah merencanakan ini dengan matang, tidak ada bukti yang tersisa seakan semuanya terjadi secara tidak disengaja."

"Baiklah paman, aku akan bertanya pada teman-teman yang lain. Siapa tahu dapat petunjuk."

Rosé meneguk minumannya, "ada apa?"

"Lisa hilang."

Senyum Rosé terbit, "syukurlah."

Jennie dan Jisoo terkejut dengan ucapan Rosé barusan. "Kau jangan begitu sayang, Lisa kan sahabatku."

"Tapi dia selalu galak padaku sayang, aku tidak suka."

"Aish jangan begitu. Aku kan milikmu."

Jennie mengerlingkan matanya malas, dia kembali fokus pada ponselnya, "Tapi aku rasa si penculik ingin meminta tebusan sayang, Lisa kan kaya."

Jennie melirik Rosé, "bisa gibah juga dia."

"Sayang,"

"Hehe iya. Tapikan si penculiknya untung nanti kalau berhasil menguras dompet keluarga Lisa."

*
*
*

"Mmhh sudahlah Rosie."

Rosie melepaskan pelukannya dari Jennie yang sedang memasak. "Wae?"

"Bantu kekasihmu sana. Dia sedang mencemaskan sahabatnya."

Rosé mengerlingkan matanya malas, "untuk apa aku membantunya? Aku lebih suka Lisa tidak ada di muka bumi ini."

"Agar hubunganmu dengan Jisoo aman dan tentram?"

"Agar tidak ada yang menghajarku lagi."

Jennie mematikan kompor lalu menuangkan apa yang dia masak kedalam mangkuk. "Makanlah."

Rosé tersenyum, "suapi."

Jennie mengambil alih sendok dan sumpit di tangan Rosé. "Buka mulutmu."

Senyuman Rosé semakin lebar, dia menerima suapan itu dengan senang hati. Tangan Jennie terulur mengusap noda dibibir Rosé.

Pandangan Rosé jatuh pada sepasang mata kucing itu, sorot matanya terlihat sedih, Rosé akui ini memang salahnya karena terlalu egois dan ketidak mampuannya menceritakan semua itu pada Jennie.

Tapi Rosé juga belum mampu menerima resiko terburuk saat Jennie memilih meninggalkannya saat semuanya telah terungkap. Rosé tidak siap.

"Apa yang kau fikirkan?"

Rosé menggeleng, "hanya memikirkanmu."

"Cih, sudahi kata-kata manismu itu."

"Wae? Aku memang sedang memikirkanmu."

"Iyakan saja."

Keduanya kembali dilanda hening, Jennie yang sibuk menyuapi Rosé dan sesekali menyuap untuk dirinya sendiri. Dan Rosé yang sibuk memikirkan hidupnya kedepan.

RoseanneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang