Malam ini, gemintang tak berserak tinggi di atas cakrawala. Langit redum hingga rinai hujan menciptakan semerbak aroma petrichor.
Uzumaki Naruto, menapaki jalanan trotoar di kesunyian malam dan rintik hujan.
Surai blonde miliknya tampak sedikit basah, pun baju lusuhnya tak luput dari tetesan gerimis.
Naruto menggosok-gosokan kedua telapak tangannya, mencoba mengusir hawa dingin menusuk kulit.
Jika saja Naruto mempunyai kedua orangtua, Naruto tidak akan khawatir besok mau makan apa, dan mungkin Naruto akan meliburkan diri dari acara kerja paruh waktunya menjadi kasir di sebuah mini market.
Namun apa mau dikata, semua hanya perandaian. Delapan belas tahun hidupnya, Naruto tak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki kedua orangtua.
Bahkan saat di panti asuhan, setiap harinya Naruto selalu membuat origami lipatan bangau sambil berharap suatu saat akan ada pasangan suami-istri yang bersedia menjadi orangtua sambungnya.
Namun lagi-lagi semua hanya perandaian, dirinya selalu gagal di adopsi semenjak masih menjadi bayi merah, hingga tujuh belas tahun lamanya.
Dan berakhirlah Naruto pada enam bulan yang lalu, dirinya dianggap sudah mampu hidup mandiri oleh pihak panti asuhan yang tidak lagi mau menampungnya.
Kini Naruto telah lulus Sekolah Menengah Atas, sambil mencari nafkah sebagai pekerja paruh waktu di beberapa tempat, mengumpulkan beberapa lembar uang sebagai biaya makan sehari-hari serta uang sewa kos.
Kendati demikian, ditengah hidup yang begitu berantakan, sejujurnya Naruto masih menyimpan impian dalam sudut kalbu terdalam.
Impian menjadi seorang Dokter.
Impian yang selalu membuatnya menjadi bahan olok ketika menyebutnya.
"Impian muluk si Yatim-Piatu." Cerca berbagai mulut padanya.
Ya, tak perlu diingatkan pun Naruto sadar dirinya Yatim-Piatu, miskin, berotak pas-pasan, bahkan berkuliah pun tidak lantaran terhalang biaya.
Impiannya memang tampak seperti mimpi konyol di siang bolong.
'Tap! Tap!'
Suara langkah kaki menyadarkan Naruto dari lamunan.
Naruto sedikit menoleh ke belakang, kemudian sepasang netra sapphire miliknya melirik sisi kanan dan kiri.
Gerimis membuat malam ini begitu hening dan sunyi. Tak ada kendaran berlalu-lalang, pun tak ada pejalan kaki selain dirinya dan seseorang di belakang.
Seseorang dengan postur tubuh tegap menjulang, mengenakan jaket dan topi hitam, serta masker yang menutupi wajah.
Naruto mempercepat langkah kakinya, takut setengah mati ketika suara langkah kaki di belakang seperti mengikutinya.
Jantung Naruto berdetak dengan begitu cepat, bulir keringat dingin mulai membasahi dahi, potongan-potongan adegan pembunuhan dalam film bermunculan di kepala Naruto.
Terlebih kala Naruto mengingat, tangan kanan orang tersebut masuk ke dalam saku jaket seperti menyembunyikan sesuatu.
"Hmp!"
Naruto berteriak tertahan, ketika tiba-tiba dirinya dibekap sapu tangan dari arah belakang.
Naruto mencoba menyikut, dan memberontak.
Namun reflek orang dibelakangnya begitu bagus, hingga perlawanan Naruto tak berefek sedikitpun padanya.
Perlahan-lahan Naruto mulai merasa tubuhnya melemas, matanya serasa mengantuk, dan kesadarannya seakan menghilang.
• • •
Entah sudah berapa lama terlewati, dan apa yang telah dilalui.
Yang jelas, kini Naruto tersadar dari acara tak sadarkan dirinya.
Namun, penglihatan Naruto tetap gelap.
Naruto merasa hawa dingin semakin menusuk kulit, matanya tertutup kain, serta kedua tangannya seperti terborgol di atas kepala.
Naruto tidak cukup bodoh dan naif untuk menyadari bahwa dirinya kini tengah digauli oleh seseorang yang semula mengikuti dan membekapnya.
"Berhenti, tolong lepas.." Ucap Naruto dengan suara serak dan bergetar karena isak tangis.
Sendu dan pilu, hati dan perasaannya serasa dikoyak sembilu.
"Sakit.." Sakit yang Naruto rasakan bukan hanya dari bagian bawah, melainkan seluruh tubuhnya pun terasa sakit.
Namun bukannya berhenti, orang yang sedang menindih tubuhnya justru semakin kasar menggauli.
Di malam itu Naruto terus berteriak, menangis, dan memohon untuk dilepaskan.
Dan balasan yang bisa Naruto dengar hanya suara gemertak rahang menyahut.
• • •
Hujan kembali membawa sendu di gelapnya mendung.
Langit biru yang seharusnya terlukis sinar mentari, menitikan buliran air hujan mengguyur bumi.
Langit seakan ikut menangis, serupa dengan sepasang netra sapphire yang terus mengalirkan air mata.
Naruto berjalan dengan langkah terseok dan baju sobek, keluar dari bangunan motel reot dengan ketidaktahuan akan siapa yang menodainya semalam.
Aroma petrichor terasa menyesakan dada. Membawanya dalam rasa sendu dan pilu.
Naruto menangis dibawah guyuran hujan, tak lagi peduli dengan pasang mata yang menatapnya iba maupun hardik.
Naruto merasa harga diri dan hidupnya jatuh meluruh bersama tetesan hujan.
Ditengah pikiran kalut dan batin berkecamuk, muncul sebuah pertanyaan dalam benak Naruto, "Untuk apa dirinya dilahirkan? Dan untuk apa dirinya hidup jika hanya kepahitan yang terus dialami?"
Langkah kaki Naruto terhenti pada jembatan dengan aliran sungai yang mengalir deras.
Naruto merasa melompat dan mati tenggelam jauh lebih baik, toh hidup pun tidak satu orang pun ada disisinya, dan tidak ada yang pernah bersyukur dengan kehadirannya.
Naruto naik pada besi pembatas, pandangannya memburam menatap aliran sungai yang mengalir deras di bawah.
Naruto hendak melompat turun sebelum seseorang menahan pergelangan tangannya.
"Thank you for being alive. You are an amazing person, and you deserve to be here."
Diambang batas kesadaran, Naruto mendengar bariton yang berucap lembut, sebelum penglihatannya menggelap, sebelum dirinya kembali jatuh tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
FanfictionAksara rinai hujan menitik luka, jatuh semerbak aroma petrichor menggores sendu, dan pilu. ❝Aku harap kau tak pernah lupa pada aroma petrichor dan rinai hujan yang mempertemukan kita. Meski telah menggores sembilu, aku berjanji, kan kuhapus sendu da...