Tiga bulan yang lalu, Naruto memutuskan kembali ke kota asalnya.
Saat itu, Naruto sempat kebingungan mencari tempat tinggal.
Uang di saku celananya hanya cukup untuk menyewa satu kamar kos sepetak. Namun naasnya, tempat-tempat kos yang telah Naruto kunjungi, semua kamarnya telah terisi penuh.
Naruto menyusuri jalanan panas di siang hari, sembari menenteng kardus berisi pakaian, dan menggendong Obito yang tertidur kelelahan.
Lama Naruto berjalan, hingga peluh mulai mengalir, dan letih perlahan menghampiri.
Naruto yang juga merasa kepalanya mulai pening pun akhirnya memutuskan untuk beristirahat di sebuah halte, tepatnya di depan Sekolah Dasar Swasta.
Dalam dekapan Naruto, Obito mulai menggeliat, lalu perlahan membuka mata.
"Obito laper?" Tanya Naruto sambil mengelus lembut surai hitam anaknya.
Obito menggeleng, lalu beranjak turun dari pangkuan Naruto, kemudian mendudukan diri di kursi kosong sebelahnya.
Sejujurnya, saat itu Obito lapar dan haus. Namun, Obito tahu, Ibunya hanya memiliki uang pas-pasan.
Obito duduk sambil mengayun-ayunkan kaki, kedua netra hitamnya menatap lurus ke depan.
Naruto pun mengikuti arah pandang Obito.
Di depan sana, ada beberapa orangtua murid yang berlalu-lalang, mereka mendaftarkan anak-anak mereka pada tahun ajaran baru.
Batin Naruto terenyuh, dada Naruto semakin terasa sesak.
Sebab Naruto tahu, putranya sedari dulu ingin bersekolah. Namun, dirinya tak mampu menyekolahkan putranya di Taman Kanak-Kanak.
"Ibu capek ya?" Tanya Obito memecah lamunan Naruto.
"Ibu gak capek sayang.." Naruto berpura-pura tersenyum lebar, lalu menggenggam telapak mungil Obito yang semula mengusap peluh di dahinya.
Pemandangan tersebut pun tak luput dari Hiruzen Sarutobi, pria paruh baya pemilik kos-kosan yang sekarang Naruto singgahi, sekaligus Kepala Sekolah yang membantu menyekolahkan Obito di Sekolah Dasar.
• • •
"Obito gak boleh nakal ya sayang? Obito harus nurut sama Bu Guru.."
Obito mengangguk menanggapi nasehat Ibunya.
"Pinter!"
"Obito ganteng juga gak, Bu?"
"Ganteng dong!"
Obito tersenyum lebar, kemudian sedikit melompat mengecup pipi Ibunya.
"Obito sekolah dulu! Ibu jangan capek-capek ya kerjanya?"
"Iya, sayang.."
"Dadah Ibu.."
Naruto tesenyum, kemudian ikut melambaikan tangan pada Obito yang berjalan memasuki gerbang sekolah.
Pagi ini, Naruto mengantar Obito ke sekolah menggunakan bus.
Naruto tidak memperbolehkan Obito berangkat ke sekolah menggunakan sepeda, sebab kemarin Obito terjatuh.
Kedua kaki Naruto kembali melangkah menuju halte bus.
Naruto harus berangkat bekerja sebagai tukang cuci piring di kedai ramen.
• • •
Lampu lalu lintas merah menyala, menghentikan laju kendaraan umum maupun pribadi.
Dan di dalam salah satu mobil sedan mewah, wanita bersurai merah muda tengah menggelayuti lengan pria bersurai raven.
"Sayang, undangan pernikahan kita udah selesai dicetak, nanti siang temenin aku ngambil ya?"
Si pria yang diajak bicara tidak memberikan respon apapun, pandangannya fokus menatap arah depan.
Segala celotehan si gadis tak digubris.
Hingga kemudian sorot mata tajamnya melebar ketika melihat pemilik surai blonde yang tengah menyebrang jalan.
Sepasang netra kelamnya terus memperhatikan si surai blonde, memastikan bahwa apa yang dilihatnya tidaklah salah.
Batinnya berkecamuk, hingga tak sadar sedari tadi lampu lalu lintas telah berubah warna, bahkan bunyi klakson terus menerus bersahutan.
"Sasuke!" Panggil si gadis sembari menepuk bahu calon suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
FanfictionAksara rinai hujan menitik luka, jatuh semerbak aroma petrichor menggores sendu, dan pilu. ❝Aku harap kau tak pernah lupa pada aroma petrichor dan rinai hujan yang mempertemukan kita. Meski telah menggores sembilu, aku berjanji, kan kuhapus sendu da...