Obito memandang hujan dari balik jendela kamar sepetak-nya, sembari menopang sebelah pipi dengan tangan kanan.
Sejujurnya, Obito ingin bertemu Ayah. Akan tetapi, dua hari yang lalu Ibu marah besar dan melarang Ayah menemuinya.
Obito tak mengerti, mengapa Ayah tak mau menceritakan kejadian saat telat menjemputnya di sekolah pada Ibu.
Obito juga tak mengerti, mengapa Ayah melarang Obito memberitahukan tentang Om seram yang tiba-tiba datang ke sekolahnya pada hari itu.
Jika saja Ayah mau cerita pada Ibu, pasti Ibu tak akan marah dan melarang Ayah bertemu dengan Obito.
"Huft!" Obito menghela nafas, lalu berbaring di atas lantai.
Obito rindu Ayah.
"Kalau Obito ke taman, Ayah ada gak ya?" Monolog Obito sembari menatap langit-langit kamar.
Ah, terserah lah nanti Ayah mau ada atau tidak. Kalau Ayah tidak ada, Obito akan mencoba ke taman lagi besok sore.
Ya, mumpung Kak Konohamaru sedang les dan belum pulang. Obito pasti aman menyelinap sebentar.
'Hup!'
Obito melompat bangun, lalu membuka pintu dan menghampiri sepeda biru orange miliknya.
"Maaf ya Ibu, Obito emang nakal. Tapi Obito janji ini beneran yang terakhir.."
Obito menghembuskan nafas panjang, membuang rasa grogi. Lalu perlahan menutup pintu.
"Ayah, tunggu Obito!" Seru Obito menaiki jok sepeda miliknya.
Tak perduli dengan rintikan hujan, tak perduli dengan baju-nya yang basah kuyup, Obito mengayuh pedal sepedanya dengan semangat menuju ke taman.
Sejujurnya, selain rindu Ayah, Obito juga penasaran dengan hutang penjelasan Ayah perihal nama dan Om seram padanya kemarin lusa.
• • •
Keringat dingin terus membanjiri dahi dan tubuh Naruto.
Meskipun sedang berada di dapur, dengan suara kran air washtafel menyala, Naruto tetap mendengar suara rintikan hujan di atap kedai.
Meskipun aroma ramen serta wangi sabun cuci piring menguar, entah kenapa Naruto seakan tetap menghirup semerbak aroma petrichor.
Tangan Naruto tremor, tubuhnya menggigil. Kejadian di malam saat dirinya di perkosa selalu menghantuinya saat hujan turun.
Naruto meletakan mangkok penuh sabun yang semula hendak di bilas-nya pada meja. Takut kembali memecahkan-nya seperti saat tempo hari.
"Nar.."
"Naruto.."
"Naruto!"
Naruto tersentak kaget, lalu menoleh.
"Lo kenapa Nar?" Tanya Kiba, teman sesama dishwasher-nya.
Naruto menggeleng, "Ngelamun dikit tadi." Jawabnya dengan senyum lebar.
"Bener? Kok keringetan banget terus pucet."
"Ben-"
"Naruto!" Panggil Shino, pramusaji yang berdiri di ambang pintu.
"Ya?"
"Ada orang kaya di depan, katanya mau nemuin lo."
Dahi Naruto mengernyit, "Siapa?"
"Makannya temuin, biar tau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
FanfictionAksara rinai hujan menitik luka, jatuh semerbak aroma petrichor menggores sendu, dan pilu. ❝Aku harap kau tak pernah lupa pada aroma petrichor dan rinai hujan yang mempertemukan kita. Meski telah menggores sembilu, aku berjanji, kan kuhapus sendu da...